Perang Dagang Menggigit AS, Segera Amankan Posisi Utang
Perusahaan-perusahaan berutang besar melebihi batas kewajaran agar segera mengamankan diri. Tidak masalah apakah itu utang dalam mata uang asing atau mata uang domestik, pengamanan posisi utang kini urgen dilakukan. Masalahnya ancaman resesi pada perekonomian global sedang menguat, dan pasti mengimbas ke domestik Indonesia.
Perusahaan-perusahaan berutang besar melebihi batas kewajaran agar segera mengamankan diri. Tidak masalah apakah itu utang dalam mata uang asing atau mata uang domestik, pengamanan posisi utang kini urgen dilakukan. Masalahnya ancaman resesi pada perekonomian global sedang menguat, dan pasti mengimbas ke domestik Indonesia. Ini fakta empiris.
Laporan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Juli 2019 sudah menyimpulkan ekonomi global tumbuh 3,2 persen pada 2019 dan tumbuh 3,5 persen pada 2020. Proyeksi ini sama-sama turun 0,1 persen dari perkiraan IMF pada April 2019. Penurunan terjadi karena ada risiko akibat eskalasi dagang AS-China.
“Jika AS mempertahankan tarif untuk impor asal China, jika eskalasi dagang AS-China berlanjut, maka setengah angka pertumbuhan global pada 2020 akan lenyap,” kata Gita Gopinath, ekonom IMF.
Isu resesi ekonomi global mencuat sejak 2018. AS di bawah Presiden Donald Trump menggempur Kanada, Meksiko, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa hingga China lewat tarif impor. Resesi ekonomi secara empiris muncul dari kekacauan di sektor keuangan dan gangguan pada perdagangan global.
Baca juga: Ingatlah Selalu Pahitnya “Annus Horribilis”
Namun Trump dan tim serta pendukungnya yang nasionalis bergeming. Kubu yang sedang memimpin AS ini bertahan dengan program “America First”. Bahkan Trump senang dengan kenaikan indeks saham Dow Jones, yang memang naik dari kisaran 18.000 poin sejak jadi Presiden menjadi ke kisaran 27.000 poin. Ini dia katakan sebagai hasil kinerjanya.
Trump berilusi seraya mengatakan perang dagang global mudah dimenangkan. Tidak demikian kenyataannya. Indikator justru menunjukkan sinyal bahaya siginifikan.
Indikator resesi
Pada Rabu, 14 Agustus, dunia terhentak. Indeks Down Jones anjlok 800 poin menjadi 25.479 poin. Ini bukan kejatuhan indeks terbesar. Indeks jatuh 1.032 pada 8 Februari 2019 dan jatuh sebesar 1.175 poin pada 5 Februari 2018.
Bedanya, kejatuhan di hari Rabu itu terjadi karena pasar khawatir akibat munculnya sebuah indikator penting. Indikator itu adalah, keuntungan investasi dari obligasi berjangka panjang lebih rendah dari keuntungan dari investasi obligasi berjangka pendek. Ini tidak lazim. Padahal yang lazim justru keadaan sebaliknya.
Hal itu pertanda para investor melarikan modalnya dengan meyerbu obligasi berjangka panjang. Ini didorong kekhawatiran kuat, resesi segera menjelang. Maka pada hari itu juga merebaklah istilah "inverted yield curve" (kurva hasil yang terbalik). Ini mengagetkan pasar walau fenomena itu sudah terjadi sejak Mei 2019.
Perebutan obligasi berjangka panjang membuat harga obligasi kategori itu naik, yang artinya menurunkan yield (hasil atau keuntungan). Yield obligasi berjangka 10 tahun mencapai 1,574 persen dalam satu sesi pada hari Rabu itu, atau di bawah yield obligasi berjangka dua tahun.
Ekonomi AS selalu diikuti resesi setelah muncul fenomena, dimana yield obligasi berjangka pendek lebih tinggi dari yield obligasi berjangka panjang.
Fenomena ini jarang terjadi dan ini pertama kali sejak Juni 2017. Kejadian pada hari Rabu itu hanya berlangsung sebentar karena yield obligasi berjangka 10 tahun naik lagi menjadi 1,596 persen dan yield obligasi berjanga 2 tahun ditutup di level 1,592 persen.
Dua ekonom peneliti dari Bank Sentral AS San Fransisco, Michael D Bauer dan Thomas M Mertens menuliskan, ekonomi AS selalu diikuti resesi setelah muncul fenomena, dimana yield obligasi berjangka pendek lebih tinggi dari yield obligasi berjangka panjang.
Hanya satu periode sejak 1955, yakni pada 1960-an, AS tidak mengalami resesi setelah fenomena serupa itu terjadi. Namun meski resesi tidak terjadi, pada 1960-an ekonomi AS benar-benar mengalami penurunan.
Pada umumnya kurva yield yang terbalik itu menjadi pertanda kuat resesi akan terjadi beberapa bulan kemudian. “Resesi biasanya terjadi 6 hingga 24 bulan sejak kurva yield terbalik itu terjadi,” demikian Bauer dan Mertens.
Situasi memburuk
Fakta-fakta di AS menunjukkan jalan menuju resesi ada. Investasi AS di China terhenti, seperti dinyatakan Stephen Orlins, Presiden National Committee on U.S. China Relations. “Investasi China di AS yang biasanya pada kisaran puluhan miliar dollar AS menjadi nol,” Kata Orlins.
Laporan Bank Sentral AS tertuang dari “Beige Book” dikutip kantor berita Xinhua, edisi 6 Juni 2019. Laporan Bank Sentral AS itu menunjukkan wilayah New York ditandai dengan keprihatinan pebisnis terkait perang dagang AS-China. Hal serupa terjadi untuk wilayah Richmond dan Chicago. Keadaan ini memberi kontribusi pada sentimen negatif pasar.
“Beige Book” itu menyebutkan investasi anjlok dan lapangan pekerjaan pun demikian. “Akibat perang dagang, sejumlah bisnis transportasi menurunkan pengeluaran karena penerimaan anjlok,” demikian Bank Sentral AS Divisi Atlanta melaporkan. Bank Sentral AS Divisi Boston menuliskan, “Manufaktor telepon seluler China adalah konsumen besar semi konduktor buatan AS. Jadi menghambat mereka (Huawei), memberi dampak negatif pada perusahaan semi konduktor AS.” Bank Sentral AS Dallas juga menyatakan keprihatinan bisnis.
Laporan ini keluar setelah Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell mengumumkan penurunan suku bunga inti AS menjadi kisaran 2,25 – 2,50 persen pada 31 Juli lalu.
China membalas?
Pengenaan tarif oleh AS atas impor asal China tampaknya dibalas. Kedatangan turis asal China, sumber turis terbesar AS, juga menurun. Ini sangat kritis terhadap jasa turisme di AS sebagaimana dikatakan Chris Thompson, President dan CEO Brand USA. Ini pukulan lain pada AS, selain jeritan para petani AS yang terpukul penghentian impor pertanian oleh China.
China menurunkan kepemilikan obligasi terbitan pemerintah AS. Sejak Juni 2019 China kurang agresif membeli obligasi pemerintah AS. Jepang menjadi pemegang obligasi AS terbesar sejak 2019 dengan jumlah 1,12 triliun dollar AS dan China memegang 1,11 triliun dollar AS.
China juga menurunkan besaran kurs yuan menjadi 7,0321 per dollar AS. Ini pukulan lagi bagi ekspor AS ke China. “Pengenaan tarif tambahan pada impor asal China merusak kepentingan konsumen AS,” kata Guan Tao dari Wuhan University. Merusak karena konsumen AS ketiban beban tarif, dan juga karena dugaan pembalasan dari China atas tindakan AS.
Baca juga: China Bermain Cantik lewat Yuan
“Data ekonomi melemah dan sedang mengirimkan sinyal resesi, khusus dari sisi industri,” kata Michelle Meyer, ekonom dari Bank of America Merrill Lynch.
Trump harus berdamai
Jeremy Siegel dari Wharton School pada hari Kamis (15/8/2019), mengatakan Trump harus berdamai dengan China soal perdagangan, jika dia ingin terpilih lagi. Tidak ada pilihan bagi Trump selain mencapai hal itu.
Keadaan sangat serius. Mantan Menteri Keuangan AS Lawrence Summers mengatakan, AS berada dalam situasi keuangan paling berbahaya sejak 2009. Pasar sudah dalam posisi aksi jual sejak 23 Juli 2019. Indeks Dow Jones anjlok dari ketinggian 27.349 poin pada tanggal itu menjadi 25.579 pada penutupan Kamis (15/8). Summers menyebut eskalasi dagang AS-China sebagai penyebab. “Pasar sekarang terpikir bahwa ada risiko terbesar sejak 2011,” katanya.
Trump menyudutkan China sekaligus menyindir Powell karena kurang cepat menurunkan suku bunga. Akan tetapi di Gedung Putih, menurut pejabat AS, hanya Trump dan Navarro yang menyalahkan Powell. Selebihnya lingkaran Gedung Putih menyalahkan Trump dan penasihat dagangnya, Peter Navarro, atas semua kemelut ekonomi ini.
Elise Jordan, orang kepercayaan saat Presiden George W Bush berkuasa, mengatakan resesi ekonomi akan menjadi pukulan besar bagi Trump. “Ini politik bunuh diri. Soalnya kekuatan politik Trump terletak pada premis, bahwa dia membuat ekonomi kuat,” kata Jordan.
Baca juga: Tidak Ada Logika dalam Taktik Dagang Trump
Trump berharap Bank Sentral AS menurunkan lagi suku bunga untuk mencegah resesi. Namun ancaman resesi ini bukan soal suku bunga, ini soal China. “Raihlah kesepakatan dengan China,” demikian saran Michael Ivanovitch, ekonom senior yang pernah menjadi penasihat di OECD, Federal Reserve Bank of New York, dan dosen di Columbia Business School.
Kebijakan kacau
Akan tetapi China hanya salah satu solusi, itupun jika China bisa diajak berkompromi. Asumsi China bisa berkompromi, tidak juga bisa mengatasi ekonomi AS. Masalahnya terletak juga pada defisit anggaran pemerintah AS yang membesar, mencapai 867 miliar dollar AS sejak Oktober 2018. Ini kenaikan drastis dari kisaran 400 miliar dollar AS di akhir era Presiden Barack Obama.
Pajak diturunkan padahal itu adalah sumber penerimaan negara. Akibatnya utang negara AS naik terus mencapai 22,3 triliun dollar AS. Situasi ini mirip dengan era Presiden George W Bush, dan kontras dengan era Obama. Penumpukan utang ini juga merupakan risiko lain dari perekonomian AS.
Penumpukan utang memunculkan keprihatinan soal kesinambungan pembayaran di kemudian hari. Demikian kesimpulan dari para analis The Institute of International Finance (IIF), dipimpin Emre Tiftik, Wakil Direktur Global Policy initiatives.
Trump adalah sebuah risiko dari sisi keuangan, sebagaimana dikatakan mantan anggota kongres (Republikan-South Carolina) Mark Sanford. Bayang-bayang krisis kuat jika posisi utang tidak ditangani segera. Oleh sebab itu muncul perbincangan agar Republikan tidak menominasikan Trump sebagai calon dari Republikan pada pemilu 2020.
Dari itu semua, kewaspaan wajib ditingkatkan. IMF menyebutkan Asia relatif lebih aman dari segi pertumbuhan. Hanya saja banyak bisnis global termasuk di Indonesia memiliki kaitan dengan AS, terutama soal modal. Saat krisis menimpa AS pada 2008 dan Eropa pada 2009, hal yang terjadi adalah keengganan saling meminjamkan di pasar uang internasional. Ini menaikkan suku bunga hingga menghentikan urat nadi pinjaman internasional. Hal ini terasa sampai Indonesia walau tidak separah di daerah asal resesi. (AFP/AP/REUTERS)
Baca juga: Mengapa Negara Wajib Memiliki Kestabilan