Rivalitas Klasik Arab Saudi dan Iran
Bukan tidak mungkin ”perang dingin” antara Arab Saudi dan Iran pada tahun-tahun mendatang bisa meningkat. Masyarakat dunia harus mencegah agar rivalitas kedua negara itu tak kian panas dan berubah menjadi perang terbuka.
Kawasan Timur Tengah, hingga kini dan entah sampai kapan, tetap menjadi pusaran konflik. Berbagai kepentingan—baik antarkelompok dalam sebuah negara, antar-negara, maupun antar-kekuatan asing serta perpaduan antara kekuatan lokal dan asing—saling berbenturan, bertabrakan.
Suriah, misalnya, menjadi medan pertarungan antar-kekuatan, antar-aliran, antarnegara, dan juga antar-kekuatan asing.
Dalam geopolitik regional Timur Tengah, suatu gerakan aktor politik, baik itu negara maupun non-negara, selalu memanifestasikan dirinya sebagai pemicu, bagian, dimensi, atau hasil dari persaingan. Timur Tengah adalah subsistem politik internasional di mana setiap aktor memiliki setidaknya satu pesaing dan beberapa aktor hanya dapat hidup dengan setidaknya satu pesaing. Persaingan antar-aktor di Timur Tengah melibatkan persaingan untuk berbagai tujuan yang sejauh ini memuncak, antara lain, dalam aliansi, perang proksi, operasi rahasia, dan menimbulkan banyak kehancuran (Eyüp Ersoy: 2013).
Tentang persaingan antarbangsa, Hans J Morgenthau dalam Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (1993) menyatakan, sekalipun terdapat banyak manifestasi, pada dasarnya ada dua bentuk persaingan dalam hubungan internasional. Bentuk pertama adalah kompetisi aktor melawan satu atau lebih aktor, yang melibatkan mekanisme hubungan zero-sum yang berarti bahwa keuntungan satu aktor adalah kerugian aktor lain, yaitu agar aktor menang, aktor lain harus kalah.
Perang Iran-Irak (1980-1988) adalah salah satu contoh tentang hal tersebut di atas. Meskipun hasil akhirnya bisa berupa kebuntuan atau kehancuran total, yang artinya sama dalam banyak kasus.
Bentuk kedua adalah kompetisi aktor dengan satu atau lebih aktor, lebih mengenai akhir yang diinginkan. Diktum klasik Hans J Morgenthau bahwa ”politik internasional, seperti halnya semua politik, adalah perjuangan untuk kekuasaan” adalah pernyataan terkenal untuk bentuk kompetisi kedua. Meskipun, selain kekuasaan, akhir kompetisi yang diinginkan bisa menjadi ”kebebasan, keamanan, [atau] kemakmuran.”
Arab Saudi dan Iran
Dalam konteks Timur Tengah, menurut Casey L Addis et.al pada ”Iran Regional Perspectiveand US Policy”, Congressional Research Service (2010), dua negara yang bersaing memperebutkan kekuasaan dan pengaruh di kawasan ini adalah Arab Saudi dan Iran. Kedua aktor—kedua negara itu—bersaing satu sama lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan, ”sebagai dua negara yang paling berpengaruh secara politik dan agama di wilayah Teluk. Arab Saudi dan Iran sudah lama masing-masing berusaha memaksimalkan posisinya relatif terhadap yang lain dan relatif terhadap pemain luar yang penting” (Eyüp Ersoy: 2012).
Rivalitas keduanya, yang memiliki latar belakang sejarah dan agama, telah berkembang menjadi kompetisi geopolitik. Meskipun, sebenarnya, Arab Saudi dan Iran tidak selalu memiliki hubungan yang buruk.
Hingga 1970-an, Arab Saudi dan monarki pro-Barat Iran berfungsi sebagai ”pilar kembar” tatanan regional setelah AS mengambil alih peranan Inggris di Teluk Persia. Setelah Revolusi Islam Iran (1979) yang mengantar lahirnya pemerintahan Syiah teokratis di bawah pimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini, dinamika regional mengambil nada yang lebih religius. Dan, hubungan kedua negara pun dari waktu ke waktu memburuk.
Hubungan kedua negara dapat dikatakan berubah sangat nyata setelah tragedi 9/11 di AS yang disusul dengan perang terhadap terorisme serta invasi AS dan sekutu-sekutunya ke Afghanistan, kemudian pecah Revolusi Musim Semi Arab (2011). Peristiwa-peristiwa tersebut memiliki efek berjenjang pada hubungan antara Arab Saudi dan Iran.
Baca juga: NIIS Setelah Abu Bakar al-Baghdadi
Peran Iran di kawasan semakin menonjol setelah Irak tak lagi banyak berperan seusai tumbangnya Presiden Saddam Hussein dan negara itu dibelit konflik dalam negeri yang sangat parah. Surutnya perang Irak, ditambah Mesir yang berubah dalam hal pengaruh dan perannya setelah Revolusi Musim Semi serta Suriah yang hingga kini belum bisa keluar dari krisis dan bahkan cenderung menjadi negara gagal, telah ”menaikkan” posisi dan peran Iran.
Sejak itu, rivalitas di antara kedua negara tersebut semakin nyata, semakin jelas, dan bisa jadi ke depan akan menjadi lebih keras lagi. Persaingan antara Arab Saudi dan Iran semakin menjadi parameter penentu dalam perjalanan perkembangan politik, ekonomi, militer, dan sosial di Timur Tengah. Perjuangan untuk kekuasaan dan pengaruh, serta dilema keamanan, sebagai sumber dasar persaingan di antara dua negara.
Masa depan
Banyak yang memperkirakan rivalitas Arab Saudi dan Iran kemungkinan akan meningkat dalam lima tahun ke depan. Sangat mungkin hal seperti itu akan terjadi, mengingat dan mempertimbangkan situasi saat ini.
Apa yang terjadi saat ini bisa menjadi gambaran semakin kuat dan nyatanya rivalitas kedua negara. Misalnya, dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok proksi dalam konflik Timur Tengah (terutama di Irak dan Suriah, dan diduga di Bahrain), tentu membuat Arab Saudi gerah.
Iran secara tidak langsung berperang melawan Arab Saudi, Suriah, Yaman, dan Bahrain. Meskipun dukungan Arab Saudi terhadap kelompok-kelompok proksi tidak sekuat dukungan Iran, hal itu meningkatkan ketegangan di antara kedua negara.
Sebuah studi yang dilakukan oleh sebuah lembaga think tank militer (The Guardian, 7 November 2019) mengungkapkan, Iran sekarang memiliki keunggulan militer yang efektif atas AS dan sekutunya di Timur Tengah. Hal itu karena kemampuan Iran untuk berperang menggunakan pihak ketiga, seperti milisi Syiah dan kelompok pemberontak.
Dalam salah satu penilaian (assessment) paling rinci tentang strategi dan doktrin Iran di seluruh Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman, Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS) menyimpulkan, ”kemampuan pihak ketiga” Iran telah menjadi senjata pilihan Teheran. Ini yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain di kawasan.
Studi IISS selama 16 bulan yang disebut Jaringan Pengaruh Iran mengklaim bahwa jaringan ini lebih penting bagi kekuatan Iran daripada program misil balistiknya, program nuklir, atau pasukan militer konvensionalnya.
Meski demikian, menurut laporan itu, secara keseluruhan, keseimbangan militer konvensional masih berpihak kepada AS dan sekutu-sekutunya di kawasan tersebut. Namun, keseimbangan kekuatan efektif kini mendukung Iran.
Iran dan Arab Saudi, menurut Helia Ighani dalam Managing the Saudi-Iran Rivalry (2016), telah secara aktif mendukung kelompok-kelompok proksi yang bertempur di pihak yang berlawanan di Suriah. Ini termasuk dukungan Iran untuk Hezbollah Lebanon dan dukungan Saudi untuk sejumlah milisi jihad salafi yang secara formal atau tidak resmi bersekutu dengan Jabhat Fateh al-Sham (sebelumnya Front al-Nusra), sebuah afiliasi Al-Qaeda.
Afiliasi Iran mengirim anggota Pengawal Revolusi ke Suriah, sementara Arab Saudi mengirim senjata dan amunisi ke kelompok pemberontak. Di Yaman, bagaimanapun, pasukan Pemerintah Arab Saudi melancarkan serangan militer terhadap Houthi dukungan Iran yang mengambil alih negara itu pada awal 2015.
Bahwa Iran memiliki jaringan proksi di kawasan yang memudahkan bergerak ditegaskan oleh Ahmad Alamolhoda dalam pidatonya di Provinsi Razavi Khorasan, mewakili Pemimpin Tertinggi, setelah penyerangan fasilitas minyak Abqaiq, September 2019.
”Iran saat ini tidak memiliki kendala geografis di masa lalu. Hari ini, Iran juga merupakan Pasukan Mobilisasi Rakyat Irak, Hezbollah Lebanon, Ansarullah di Yaman, Front Nasional Suriah, Jihad Islam Palestina, dan Hamas. Semua ini datang untuk mewakili Iran dan karena itu Iran tidak lagi hanya kita. Pemimpin Hezbollah Hassan Nasrallah menyatakan bahwa perlawanan di kawasan itu memiliki satu pemimpin dan pemimpin itu adalah pemimpin tertinggi Revolusi Islam Iran.”
Jaringan proksi tersebut, yang menyebar di sejumlah negara di Timur Tengah, sudah mulai dibangun Iran setelah Revolusi Iran 1979. Setelah revolusi, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini mulai membangun jaringan rezim non-negara. Khomeini menyerukan kepada ”orang-orang tertindas” di dunia untuk bersatu, mendorong kaum Syiah di kawasan untuk bangun melawan para penguasa dukungan Barat dan memimpin rezimnya untuk bekerja sama dengan mitra-mitra non-negara, terutama kelompok Syiah di Lebanon dan Irak (Becca Wasser dan Ariane M Tabatabai, Mei 2019).
Bukan tidak mungkin ”perang dingin” antara Arab Saudi dan Iran sekarang ini pada tahun-tahun mendatang bisa meningkat. Hal itu, antara lain, karena perang dan konflik di kawasan Timur Tengah (misalnya di Suriah dan Yaman) masih juga berlanjut. Tentu masyarakat dunia, pencinta damai, harus mengambil langkah-langkah pencegahan agar rivalitas di antara kedua negara itu tidak semakin memanas, dan bahkan menjadi perang terbuka. Sebab, jika hal itu terjadi, pasti akan merusak tatanan regional dan berdampak negatif, buruk terhadap keamanan internasional.