Apa yang mendorong seseorang nekat melakukan terorisme bunuh diri? Pertanyaan itu selalu muncul setiap terjadi aksi bom bunuh diri, seperti yang beberapa hari silam terjadi di Polrestabes Medan, Sumatera Utara.
Oleh
Trias Kuncahyono
·6 menit baca
Apa yang mendorong seseorang nekat melakukan terorisme bunuh diri? Pertanyaan itu selalu muncul setiap terjadi aksi bom bunuh diri, seperti yang beberapa hari silam terjadi di Medan, Sumatera Utara. Orang, masyarakat banyak, ingin mengetahui latar belakang pelaku: mengapa orang itu mencari mati?
Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut di atas. Menurut Robert A Pape dalam Dying to Win, The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005), salah satu rintangan untuk mengetahui alasan seseorang melakukan aksi terorisme bunuh diri adalah kecenderungan berpikir bahwa semua pelaku terorisme bunuh diri memiliki alasan yang sama. Dengan kata lain, sebenarnya, para pelaku terorisme bunuh diri memiliki alasan berbeda-beda mengapa mereka melakukan aksi serangan bunuh diri; mengapa mereka mencari mati seperti itu.
Ada yang kesulitan ekonomi (kemiskinan) menjadi alasan melakukan terorisme bunuh diri. Ada pula yang karena dorongan keyakinan agama. Ada lagi yang karena alasan ideologi. Ada juga karena balas dendam atau juga karena keputusasaan hidup atau merasa diperlakukan tidak adil. Berbagai alasan bisa menjadi pendorong seseorang melakukan tindakan terorisme bunuh diri: bisa faktor internal ataupun eksternal.
Yang menarik, apa pun alasan yang mendorong mereka melakukan tindakan itu adalah mereka mau menjadikan dirinya sebagai senjata. Pilihan ini adalah langkah pertama untuk memasuki wilayah kematian. Sebab, menurut seorang analis terorisme Israel, Boaz Ganor, dalam Suicide Attacks in Israel’ in Countering Suicide Terrorism (2000), ”serangan bunuh diri adalah metode operasional, di mana tindakan serangan sangat tergantung setelah kematian pelaku”.
Apakah yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk pengorbanan diri? François Géré dalam Suicide Operations: Between War and Terrorism (2007) berpendapat, filosofi sukwan bunuh diri melampaui pengorbanan diri tentara (pengorbanan diri adalah bagian tradisi militer) karena tindakan mereka didasarkan pada sebuah paradoks: di satu sisi, tindakan pengorbanan diri seperti itu adalah altruistik; di disi lain mereka perlu menegasikan kemanusiaan dirinya sendiri dan orang lain.
Di sinilah unsur kemanusiaan ditiadakan, ditinggalkan. Dengan kata lain, mereka para pelaku penyerangan (bom) bunuh diri tidak mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan, nilai-nilai kemanusiaan mereka langgar begitu saja. Mereka tutup mata. Yang penting, dia mati dan orang lain juga mati demi tercapainya tujuan. Karena itu, pilihan ini merupakan langkah pertama memasuki domain kematian.
Dengan melakukan tindakan itu, ”mereka meninggalkan kehidupan mereka dan sekarang menjadi bagian dari gudang senjata yang tersedia untuk operasi masa depan yang dirancang dan direncanakan para pemimpin mereka. Bentuk kedua reifikasi adalah target manusia. Musuhnya diperlakukan sebagai sesuatu (thing), hama, tanpa jenis kelamin (tak peduli lagi laki atau perempuan), tak peduli tua atau muda (François Géré: 2007).
Di luar kewajaran
Bahwa terorisme bunuh diri muncul di negeri ini, Indonesia, sebenarnya ”aneh”. Sebab, lingkungan yang memungkinkan munculnya terorisme bunuh diri, menurut Leonard Weinberg dan Ami Pedahzur dalam Suicide Terrorism (2010), adalah masyarakat yang terbelah dan terpolarisasi menurut garis etnis dan agama.
Lebanon dapat menjadi contoh. Bahkan, di kalangan para ahli terorisme, Lebanon dipandang sebagai titik awal lahirnya gelombang terorisme bunuh diri, yakni pada awal tahun 1980-an. Terorisme bunuh diri di Lebanon pada waktu itu lebih dikaitkan dengan pendudukan tentara asing: AS dan Perancis. Jadi, di sini, faktor pendudukan tentara asing juga menjadi pendorong aksi terorisme bunuh diri.
Masyarakat Irak, misalnya, terpecah belah menjadi komunitas Shiah, Arab Sunni, dan Kurdi. Mereka tidak bisa bersatu. Setelah runtuhnya kekuasaan Presiden Saddam Hussein dan semasa pendudukan pasukan koalisi pimpinan AS terjadi saling serang, juga menggunakan serangan bom bunuh diri, di antara komunitas itu.
Kalau mengacu pada pendapat Leonard Weinberg dan Ami Pedahzur, kecil kemungkinan terorisme bunuh diri muncul di Indonesia. Sebab, masyarakat Indonesia—sekalipun kadang terjadi konflik bernuansa etnis, sektarian—secara umum tidak terpecah-pecah, tidak terbelah, dan tidak terpolarisasi seturut garis etnis dan agama.
Apalagi, budaya martyrdom (kemartiran, kesyahidan), seperti diungkapkan oleh Leonard Weinberg dan Ami Pedahzur, tidak ada di negeri ini. Beda dengan masyarakat Shiah di Irak, misalnya, yang merayakan kehidupan individu dengan mengorbankan diri untuk tujuan yang lebih tinggi.
Di daerah konflik, kematian akibat kekerasan adalah hal biasa, yang bisa ditemui setiap hari. Orang yang hidup di lingkungan seperti itu, di beberapa negara Timur Tengah, cenderung menerima kematian secara lebih alami. Tetapi, budaya semacam itu cenderung dimanfaatkan oleh para pemimpin kelompok militan dengan balutan agama untuk keuntungan kelompok.
Akan tetapi, mengapa terorisme bunuh diri terjadi di Indonesia? Sejumlah bom bunuh diri terjadi di Indonesia: bom Bali I (2002) dan II (2005), bom JW Marriott (2003), bom Kedubes Australia (2004), bom Masjid Az-Dzikra Cirebon (2011), bom Sarinah (2016), bom Mapolresta Solo (2016), dan Bom Kampung Melayu (2017). Aksi-aksi bom bunuh diri tersebut dilakukan oleh pelaku pria, baik sendiri maupun berkelompok.
Radikalisasi keluarga
Aksi bom bunuh diri tidak hanya terjadi di Indonesia. Tetapi, yang lebih menarik adalah muncul pola baru dalam pelaksanaan bom bunuh diri di negeri ini. Serangan bom bunuh diri di Surabaya (2018) tidak seperti serangan-serangan sebelumnya yang dilakukan oleh pria, tetapi dilakukan bersama keluarga: suami, istri, dan anak. Sebelumnya, seorang perempuan, yakni Dian Yulia Novi, pernah akan menyerang Istana di Jakarta pada 2016, tetapi aksinya digagalkan pihak kepolisian.
Pada 2018, terjadi penyerangan terhadap Gereja Santa Maria Tidak Bercela, Gereja Kristen Indonesia Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Dalam serangan ini, Dita Oepriyanto sebagai pelaku utama melakukan aksinya bersama istri dan empat anaknya. Aksi berikutnya ialah ledakan bom yang terjadi di sebuah unit rusunawa di Sidoarjo dan di Polrestabes Surabaya. Aksi-aksi tersebut juga dilakukan oleh satu keluarga bersama istri dan anak-anaknya.
Apa yang terjadi di Surabaya itu adalah sebuah fenomena baru: serangan bom bunuh diri dilakukan oleh sebuah keluarga. Pola Surabaya itu ditiru—meski belum terlaksana oleh pelaku bom bunuh diri di Medan; istri berencana menyerang Bali. Ini membuktikan bahwa teroris mampu meradikalisasi seluruh anggota keluarga. Sungguh sangat membahayakan. Terorisme masuk keluarga.
Pelibatan perempuan dalam aksi teror dilakukan karena perempuan cenderung tidak dicurigai ataupun diperiksa secara teliti oleh aparat ketika memasuki sasaran. Sementara pelibatan anak-anak merupakan suatu cara untuk memanipulasi karena orang tua yang membawa anak lebih jarang diperiksa oleh aparat keamanan. Cara-cara baru seperti itu perlu diantisipasi lebih jauh agar tidak berulang. Apalagi, kecil kemungkinan bahwa peradikalisasi keluarga tidak hanya menyasar satu keluarga; bisa jadi sudah terbentuk sebuah jaringan.
Para pelaku teror, teroris, selalu mencari cara-cara baru untuk mewujudkan keinginannya, termasuk pelibatan keluarga dalam aksi serangan bom bunuh diri. Serangan bom bunuh diri pun tidak muncul mendadak, tetapi merupakan sebuah proses dalam mencari cara-cara penyerangan baru.
Sebagai sebuah taktik teror, serangan bom bunuh diri merupakan salah satu serangan yang paling mematikan dan mengerikan. Secara strategis, serangan bom bunuh diri merupakan cara yang relatif murah dan efektif untuk mengacaukan situasi politik, ekonomi, dan militer suatu wilayah dan telah menjadi salah satu ancaman utama bagi upaya pemeliharaan perdamaian dan kedamaian.
Dan, kalau serangan berhasil, sulit dilacak. Sebab, pelaku tewas dalam serangan itu dan tidak seperti dalam aksi teror lainnya, tidak memerlukan sumber daya atau risiko yang didedikasikan untuk rencana pelarian. Begitu terbunuh, ia tidak dapat ditangkap dan diinterogasi kemudian mengungkapkan siapa yang mengirimnya. Karena itu, terorisme bunuh diri sungguh sangat membahayakan.