logo Kompas.id
OpiniCerita Ki Ageng Mangir
Iklan

Cerita Ki Ageng Mangir

Ketika ketertiban, perdamaian, kerukunan, keselarasan, dan harmoni itu diterjang, disingkirkan, dan dibuang, itu berarti tanda-tanda runtuhnya rumah toleransi sebagian masyarakat Yogyakarta.

Oleh
Trias Kuncahyono
· 6 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/UWy050Wu55RtWauRTJh0fFIFPGM=/1024x1196/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2Ftrias-kuncahyono-baru2012_1545311337-e1561452416555-69.jpg
INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Pisowanan hari itu sangat istimewa. Biasanya, dalam pisowanan, yang sowan menghadap raja adalah para kerabat raja, para nayaka praja, pejabat—dari pusat hingga daerah—para pemimpin daerah taklukan, dan para prajurit. Tetapi, kali ini ada tokoh penting yang hadir dalam pisowanan yang digelar Raja Kerajaan Mataram Kanjeng Panembahan Senopati (berkuasa 1587-1601): Ki Ageng Mangir Wanabaya.

Kali ini, Kanjeng Panembahan Senopati meletakkan pusakanya, tombak Kyai Pleret, di atas batu tempat duduk, persis di bawah pahanya. Ketika itu, Adipati Tanah Perdikan Mangir (sekarang masuk wilayah Kabupaten Bantul, Yogyakarta), Ki Ageng Mangir Wanabaya, yang sebelumnya tidak mau tunduk dan mengakui kekuasaan Mataram, menghadap untuk menghaturkan sembah bekti kepada Kanjeng Panembahan Senopati. Ki Ageng Mangir menghadap sebagai menantu setelah memperistri R.Ay Pembayun, putri Panembahan Senopati.

Editor:
prasetyoeko
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000