Ketika ketertiban, perdamaian, kerukunan, keselarasan, dan harmoni itu diterjang, disingkirkan, dan dibuang, itu berarti tanda-tanda runtuhnya rumah toleransi sebagian masyarakat Yogyakarta.
Oleh
Trias Kuncahyono
·6 menit baca
Pisowanan hari itu sangat istimewa. Biasanya, dalam pisowanan, yang sowan menghadap raja adalah para kerabat raja, para nayaka praja, pejabat—dari pusat hingga daerah—para pemimpin daerah taklukan, dan para prajurit. Tetapi, kali ini ada tokoh penting yang hadir dalam pisowanan yang digelar Raja Kerajaan Mataram Kanjeng Panembahan Senopati (berkuasa 1587-1601): Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Kali ini, Kanjeng Panembahan Senopati meletakkan pusakanya, tombak Kyai Pleret, di atas batu tempat duduk, persis di bawah pahanya. Ketika itu, Adipati Tanah Perdikan Mangir (sekarang masuk wilayah Kabupaten Bantul, Yogyakarta), Ki Ageng Mangir Wanabaya, yang sebelumnya tidak mau tunduk dan mengakui kekuasaan Mataram, menghadap untuk menghaturkan sembah bekti kepada Kanjeng Panembahan Senopati. Ki Ageng Mangir menghadap sebagai menantu setelah memperistri R.Ay Pembayun, putri Panembahan Senopati.
Djoko Surya dalam Kisah Senapati-Ki Ageng Mangir dalam Historiografi Babad menulis ada tiga versi Babad Mangir, yakni Serat Babad Mangir susunan Raden Ngabehi (R.Ng) Soeradipoera (Suradipura), Babad Mangir alih aksara Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, dan Babad Bedhahing Mangir dari Museum Sonobudoyo Yogyakarta.
Kisah dalam Babad Mangir pada dasarnya berkisar pada masalah pembangkangan Ki Ageng Mangir terhadap raja Mataram. Ki Ageng Mangir tidak mau datang menghadap ke istana di Kota Gede sekalipun daerah-daerah lain telah tunduk menyerah kepada Panembahan Senopati, seperti daerah Kedu, Bagelen, Pati, Jepara, Kediri, Pajang, dan Semarang.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam drama tiga babak Mangir (1976) yang ditulisnya menggambarkan Ki Ageng Mangir sebagai seorang pemimpin yang lemah, lengah dengan kehadiran wanita di sampingnya. Tetapi ia tetap seorang pemimpin yang tangguh ketika menghadapi Mataram. Karena itu, ia tidak mau begitu saja tunduk pada kekuasaan Mataram.
Akan tetapi, Ki Ageng Mangir tidak melihat dengan saksama bahwa Mataram memiliki kekuatan politik yang kuat. Panembahan Senopati tidak segan-segan melakukan berbagai cara untuk mengalahkan Mangir, salah satunya dengan mengorbankan putri kandungnya sendiri, R.Ay Pambayun, demi ambisi kekuasaannya.
Panembahan Senopati menjebak Ki Ageng Mangir beserta pasukannya masuk ke Mataram. Dengan politik ”halus dan tersembunyi”, Panembahan Senopati mengundang Ki Ageng Mangir untuk diresmikan sebagai menantunya. Ki Ageng Mangir pun menghadap dan sungkem menghaturkansembah. Namun, Panembahan Senopati tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Begitu Ki Ageng Mangir menyembah dan menundukkan kepalanya, Panembahan Senopati mengambil tombak Kyai Pleret dan segera menusuk dada Ki Ageng Mangir. Meski dada sudah tertusuk tombak, Ki Ageng Mangir masih mempunyai daya. Ia berusaha menubruk Panembahan Senopati. Tetapi Panembahan Senopati dapat menghindarinya. Ki Ageng Mangir jatuh terantuk batu singgasana raja. Tewas. Setelah itu, bumi Mangir dibagi menjadi tujuh bagian dan dibagikan kepada prajurit-prajurit yang telah berjasa membinasakan Ki Ageng Wanabaya (Babad Bedhahing Mangir).
Cerita tentang Ki Ageng Mangir Wanabaya itu, tiba-tiba, kembali diingat orang setelah peristiwa pembubaran upacara keagamaan di Desa Mangir, Bantul, Selasa, 12 November silam. Peristiwa itu seperti mengulang Bedhahing Mangir, hanya saja sekarang yang dibedhah, dijebol, semangat dan roh toleransi, nilai-nilai toleransi dan persaudaraan sesama umat beragama di Mangir.
Persaudaraan dan toleransi yang hidup di tengah masyarakat dan sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat itu mendadak terganggu ketika sebuah prosesi upacara agama yang dipimpin Padma Wiradharma, pandita Buddha Tantrayana Kasogatan, untuk menghormati alam semesta seisinya, seperti bumi, air, tanah, udara, matahari, bulan, hari Selasa lalu dihentikan.
Upacara dimulai pukul 14.00 WIB. Seharusnya, setelah upacara yang dipimpin Padma Wiradharma, dilanjutkan dengan upacara Hindu yang dipimpin Ida Begawan Manuaba. Lalu, dipimpin perwakilan Sunda Wiwitan, Kerinci Kuno, dan Talaut. Namun, upacara terhenti dan baru sampai pada pandita Buddha Tantrayana Kasogatan. Satu jam setelah prosesi upacara berlangsung, puluhan polisi dan warga dusun setempat mendatangi acara itu. Setidaknya 10 warga Dusun Mangir Lor berteriak meminta agar peserta menghentikan upacara tersebut pukul 15.30 WIB. ”Saya trauma. Mangir yang dikenal sebagai desa wisata spiritual tidak aman,” kata Padma Wiradharma (Tempo.co).
Sungguh, sulit memahami bahwa peristiwa semacam itu terjadi di Bantul, Yogyakarta. Apalagi, ini bukan yang pertama kali. Bukankah Yogyakarta (juga Surakarta) adalah pusat budaya Jawa? Budaya yang menekankan pada keselarasan dan pemeliharaan ketertiban. Hasrat, ambisi, dan nafsu pribadi dianggap mengancam harmoni. Menjadi orang Jawa adalah menjadi berbudaya. Itu artinya, mengetahui cara-cara beradab dan sepenuhnya sadar akan posisi sosial. Seorang Jawa yang ”diakui” adalah sosok yang tahu tatanan (Niels Mulder: 2007).
Bagi orang Jawa, begitu Niels Mulder, budaya bukanlah suatu pengertian antropologi yang kabur. Budaya mengandung makna menjadi beradab, dengan kata lain bijaksana: menyadari diri, tempat, dan tata cara; menyadari diri dan orang lain. Oleh karena itu, masyarakat lebih memilih memegang teguh prinsip menjaga keselarasan. Etika duniawi masyarakat dirumuskan secara sederhana sebagai ”tidak merugikan sesama”. Orang harus bersikap baik satu sama lain, saling membahagiakan, dan menahan diri agar tidak saling mengusik ketenangan pikiran.
Hubungan, dalam masyarakat, yang terjalin haruslah menyenangkan, damai, dan ramah memperlihatkan kesatuan tujuan. Pendeknya, menurut Niels Mulder, hubungan itu harus dicirikan dengan semangat rukun. Konsep itu dikemas menjadi ”berada dalam harmoni”, ”tenang dan damai”, ”bagaikan hubungan ideal persahabatan”, ”tanpa pertikaian dan perselisihan”, ”ramah”, ”bersatu dalam tujuan seraya saling tolong-menolong”.
Idealnya, kehidupan komunal harus dijiwai oleh semangat rukun yang mengimplikasikan penghalusan perbedaan, kerja sama, saling menerima, dan kesediaan berkompromi. Akhirnya, kehidupan dalam masyarakat bisa menyamai kehidupan dalam komunitas ideal. Yang dalam konsep sufi dirumuskan sebagai Sulh-e-Kuhl, atau ”damai untuk semua”. Ini prinsip dasar hukumnya.
Akan tetapi, mengapa semua itu dilanggar begitu saja? Bahkan dianggap tidak ada? Bukankah menjadi orang Jawa adalah menjadi berbudaya? Apakah mereka, yang mengusik ketenteraman itu, tidak mengetahui, tidak memahami bahwa masyarakat Indonesia, termasuk Yogyakarta, adalah multikultural?
Multikulturalisme bertujuan luhur untuk mengekspresikan rasa hormat sekaligus perayaan atas perbedaan. Di sini ada toleransi. Toleransi, meminjam pendapat Gur Dur, bukan sekadar membiarkan orang lain menjalankan identitas kulturalnya, sekadar tidak melarang, sekadar tidak menghambat, sekadar tidak mengganggu, atau sekadar tidak merecoki orang lain menjalankan serta menghayati identitas kulturalnya.
Namun, toleransi itu harus berarti membela kelompok mana saja, terutama minoritas, yang dihambat melaksanakan identitas kulturalnya. Bahkan, mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat kelompok lain.
Apakah warga yang melaksanakan upacara keagamaan itu mengganggu ketertiban bersama? Tentu tidak! Tetapi mengapa dilarang? Kalau dahulu, Ki Ageng Mangir ”disingkirkan” oleh penguasa Mataram, Panembahan Senopati, karena dianggap mbalelo, membangkang karena tidak mau tunduk. Tentu, kini ceritanya tidaklah demikian. Justru rakyat hendak menunaikan kewajibannya sebagai umat beragama dan umat beriman. Bukankah buah dari tindakan orang beriman adalah ketertiban, perdamaian, kerukunan, keselarasan, dan harmoni?
Ketika ketertiban, perdamaian, kerukunan, keselarasan, dan harmoni itu diterjang, disingkirkan, dan dibuang, itu berarti tanda-tanda runtuhnya rumah toleransi sebagian masyarakat Yogyakarta.***