“Shichinin no Samurai”

Nilai-nilai kaum samurai, nilai-nilai kesatria, mulai pudar. Semua serba transaksional, bahkan menang-menangan. Demikian pula nilai-nilai solidaritas, saling menghormati, dan saling toleran terasa semakin menipis.

INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Akira Kurosawa (1910-1998) sutradara film kondang dari Jepang. Dia adalah sutradara pertama Jepang yang memperoleh sambutan sekaligus pengakuan internasional. Menyebut nama Akira Kurosawa segera ingat kisah akan samurai.

Sebab, salah satu film Kurosawa adalah Seven Samurai (1954) yang dalam bahasa Jepang adalah Shichinin no Samurai. Film-film Kurosawa lainnya misalnyaRashomon (1950), Ikiru (1952), Throne of Blood (1957), Kagemusha (1980), dan Ran (1985).

Ada banyak film tentang samurai selain karya Kurosawa, misalnya Harakiri, Yojimbo, Humanity and Paper Balloons, Lone Wolf and Cub: Sword of Vengeance, The Hidden Blade, 13 Assassins, Samurai Assassin, 47 Ronin, Samurai Rebellion, Ghost Dug: The Way of Samurai, The Last Samurai, dan The Twilight Samurai. Film Kurosawa tentang samurai selain Seven Samurai adalah Throne of Blood, yang berkisah tentang seorang komandan samurai, Jenderal Washizu Taketoki, yang diramal oleh seseorang bahwa suatu ketika akan menjadi raja. Dan, benar ramalan itu.

Kisah tentang para samurai (Arts of The Samurai, Asian Art Museum Education Department, 2009), bisa ditelusuri hingga ke abad ke-8 dan ke-9. Pada masa itu, kepemilikan tanah—tentu yang luas—berpindah ke tangan para keluarga kekaisaran dan anggota aristokrasi atau kaum bangsawan. Pada periode Heian—mengacu pada nama tempat ibu kota dari Nara pindah ke Heian-kyō atau Kyoto—(794–1185), istana dan bangsawan yang tinggal di Kyoto menggantungkan hidup mereka pada sektor pertanian dan kepemilikan tanah, terutama yang dijadikan sebagai perkebunan.

KOMPAS/NASRU ALAM AZIZ

Berbagai jenis kostum samurai dipamerkan di Museum Denshokan, kota Kakunodate, Prefektur Akita, Jepang.

Kebutuhan untuk mempertahankan perkebunan melahirkan orang-orang yang mahir olah senjata dan memiliki keberanian. Inilah yang melahirkan samurai yang secara literer artinya ”orang yang melayani”. Melayani para bangsawan pemilik tanah. Mereka, para samurai, kemudian membangun kekuatan, baik lokal maupun regional, dengan menciptakan milisi yang disebut sebagai ”kelompok prajurit”.

Akhir abad ke-8 menyaksikan kebangkitan kesatria samurai Jepang. Ketika itu, para tuan tanah, yang dilayani para samurai, mengonsolidasikan basis kekuatan mereka sampai pada panglima perang yang paling kuat. Panglima perang ini disebut ”shogun” (jenderal penakluk kaum barbar), bahkan mampu mengendalikan kaisar. Menurut legenda samurai, Keiko adalah orang pertama yang memegang gelar shogun dan anaknya, Pangeran Yamato Takeru, yang kemudian dijadikan contoh bagaimana seorang prajurit samurai itu seharusnya: tak memiliki rasa takut dalam bertempur, setia, dan berhati mulia (Andrew Griffiths, 2009)

Baca juga : Cerita Ki Ageng Mangir

Kallie Szczepanski (2019) menjelaskan, samurai adalah kelas prajurit berkemampuan tinggi yang muncul di Jepang setelah reformasi Taika tahun 646. Reformasi Taika (Taika no Kaishin) atau Reformasi Besar Era Taika, adalah serangkaian reformasi politik setelah kudeta tahun 645 yang  dipimpin oleh Pangeran Nakano Ōe (kemudian Kaisar Tenji) dan Nakatomi Kamatari melawan Klan Soga.

Reformasi ini memperluas dominasi langsung keluarga kaisar di seluruh Jepang. Di zaman ini terjadi penghapusan kepemilikan tanah secara pribadi; tanah dinyatakan sebagai milik publik (kaisar). Kebijakan itu memaksa banyak petani kecil menjual tanah mereka dan bekerja sebagai petani penyewa.

Selain itu, dibentuk pula organisasi militer dan pemerintahan baru, baik di ibu kota maupun provinsi, yang bertanggung jawab langsung kepada kaisar. Seiring dengan berjalannya waktu, beberapa pemilik tanah yang luas mengumpulkan kekuatan dan kekayaan, menciptakan sistem feodal yang mirip dengan Eropa abad pertengahan. Untuk mempertahankan kekayaan mereka, para penguasa feodal Jepang merekrut prajurit samurai pertama atau bushi (orang bersenjata).

KOMPAS/FRANS SARTONO

Menjadi ninja atau samurai di Chonmage World, taman bertema di kota Ise, Prefektur Mie, Jepang.

Samurai adalah istilah untuk perwira militer kelas elite sebelum zaman industrialisasi di Jepang. Kata ”samurai”, menurut S Turnbull (1996) dalam The Samurai: A military History, berasal dari kata kerja samorau asal bahasa Jepang kuno, yang berarti ”melayani”, tetapi secara bebas diterjemahkan menjadi ”mereka yang melayani”. Kata subarau memiliki akar dari bahasa China, dan memiliki arti ”berjaga sambil menunggu” atau ”menemani bangsawan atau kalangan atas”. Namun, kata itu kemudian menjadi saburai. Dari sinilah, kemudian muncul kata ”samurai”; yang di Eropa pada abad pertengahan disebut knight, juga lazim disebut sebagai cavalier atau rider.

Baca juga : Dongeng Kheiron

Dalam perkembangannya, samurai menjadi kelas sosial tersendiri dan mengembangkan kode etiknya sendiri pula. Kode etik itu dibangun berdasarkan gagasan tentang apa artinya berperilaku seperti pejuang yang ideal. Awalnya bernama Kyuba no Michi (Jalan Kuda dan Busur), ia berkembang menjadi Bushido (Jalan Pejuang) yang terkenal.

Etika bushido memberikan standar bahwa semua samurai diharapkan untuk mencoba hidup sesuai ketentuan. Samurai diharapkan setia penuh kepada tuan mereka dan bersedia mati untuknya; bahkan siap untuk melayaninya di kehidupan selanjutnya, kehidupan setelah kematian.

KOMPAS/FRANS SARTONO

Perlu bantuan petugas untuk mengenakan pakaian tradisional samurai dan ninja.

Samurai menghargai nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keberanian, rasa hormat, pengorbanan diri, pengendalian diri, kepatuhan terhadap tugas, dan kesetiaan (seorang kesatria menjaga nilai-nilai keimanan, kesetiaan, keberanian, dan kehormatan. Kesatria bertempur untuk ”melindungi” yang lemah dan yang tidak berdaya, mereka termasuk pelayan seorang raja yang paling setia karena tugas utama mereka adalah menjaga dan melindungi seorang raja, juga rakyatnya). Dalam bentuknya nanti, bushido dianggap membawa stabilitas ke organisasi sosial. Samurai memegang teguh prinsip bun dan bu, atau budaya dan bela diri.

Tentang hal itu—bun dan bu—seorang sarjana abad pertengahan menulis demikian: budaya dan senjata ibarat dua sayap burung. Tidak mungkin seekor burung dapat terbang dengan satu sayap yang hilang. Hal itu sama jika Anda memiliki budaya tetapi tanpa senjata, orang akan melukai Anda tanpa rasa takut, sementara jika Anda memiliki senjata tetapi tidak memiliki budaya, orang akan terasing oleh ketakutan. Karena itu, ketika belajar mempraktikkan budaya dan senjata, Anda menunjukkan intimidasi dan kemurahan hati sehingga orang-orangnya ramah tetapi juga mengintimidasi, dan mereka akan taat.

Akira Kurosawa lewat filmnya, Shichinin no Samurai (Tujuh Samurai), berusaha menghidupkan kembali etika dan budaya samurai di masa lalu. Ia berkisah tentang kehidupan masyarakat dan samurai pada abad ke-16. Kisah epik Akira Kurosawa ini mengisahkan kehormatan dan tugas di Jepang zaman dulu yang rusak karena hancurnya tatanan tradisional, adat istiadat, dan budaya. Cerita dimulai dengan master samurai Kambei menyamar sebagai seorang biksu untuk menyelamatkan anak petani yang diculik.

Sekelompok petani sangat terkesan pada pengorbanan, kepedulian, keberanian, dan ketidakegoisan Kambei. Karena itu, mereka bersepakat meminta Kambei mempertahankan desa mereka yang diteror para bandit. Kambei setuju meskipun tidak mendapatkan keuntungan materi atau kehormatan yang bisa didapat dalam upaya ini.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Pria berpakaian ninja berdiri di atas tumpukan salju, di pintu masuk Noboribetsu Date Jidaimura, di Noboribetsu, Hokkaido, Jepang, Selasa (12/2/2019). Noboribetsu Date Jidaimura merupakan taman rekreasi yang banyak menggambarkan kehidupan di zaman samurai.

Segera Kambei merekrut dua samurai: seorang samurai muda bernama Katsushiro, yang dengan cepat menjadi murid Kambei, dan Kikuchiyo, anak seorang petani yang menyamar menjadi samurai. Kambei mengumpulkan empat samurai lain, termasuk Kyuzo, seorang ahli pedang, untuk melengkapi kelompok itu. Kambei juga mengajak seorang samurai pandai dan baik hati Gorobei Katayama, Heihachi yang bisa main pedang meski tidak jago, teman lama Kambei, yakni Shichirōji, dan Kyūzō yang kondang sebagai samurai jagoan main pedang.

Bersama-sama, mereka mengatur dan memperkuat pertahanan desa, termasuk membangun benteng, dan mengajari penduduk untuk menggunakan senjata, menjadi milisi. Ketika para bandit akhirnya datang menyerang, penduduk desa bersama para samurai menghadapinya dengan penuh kegigihan. Pecahlah pertempuran seru.

Sebagian besar bandit penyerang terbunuh, empat samurai tewas juga. Ketiga samurai yang masih hidup lega bisa menyaksikan penduduk desa dapat kembali menanam di sawah mereka lagi. Meskipun telah memenangi pertempuran, mereka telah kehilangan teman-teman. ”Pemenangnya adalah para petani itu. Bukan kita,” kata Kembei.

Kisah Tujuh Samurai karya Akira Kurosawa seakan diputar ulang di negeri ini ketika presiden mengangkat ”tujuh anak muda milenial” menjadi penasihat khusus. Apakah pengangkatan ”tujuh anak muda milenial” itu terinspirasi dari Shichinin no Samurai, sekurang-kurangnya dari segi jumlah? Atau hanya kebetulan jumlahnya sama: tujuh?

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Pengunjung berjalan di kompleks Noboribetsu Date Jidaimura, taman rekreasi di Noboribetsu, Hokkaido, Jepang, Selasa (12/2/2019). Taman rekreasi tersebut banyak menggambarkan kehidupan di zaman samurai. Ada juga pertunjukan ninja, oiran, dan samurai.

Mengapa tujuh? Orang bisa mengatakan, ”apa arti sebuah angka” sama dengan ”apa arti sebuah nama”. Meskipun demikian, angka tujuh sering dianggap sebagai simbol ”sesuatu yang lengkap” atau ”keseluruhan” atau ”totalitas”. Bahkan, dalam agama pun, angka tujuh juga memiliki makna. Bukankah hari berjumlah tujuh?

Apa pun maknanya, ”ketujuh samurai milenial” itu diharapkan akan membawa semangat bushido baru (khas Indonesia) di zaman banyak orang tidak lagi memegang teguh nilai-nilai luhur. Misalnya, kejujuran, keberanian, rasa hormat, pengorbanan diri, pengendalian diri, kepatuhan terhadap tugas, kerja keras, profesional, kesetiaan (tidak hanya kepada pimpinan kelompok, tetapi kepada bangsa dan negara), dan membela kepentingan bersama, bukan kepentingan kelompok.

Nilai-nilai kaum samurai, nilai-nilai kesatria, mulai pudar. Semua serba transaksional, bahkan menang-menangan. Demikian pula nilai-nilai solidaritas, saling membantu, saling menghormati, dan saling toleran terasa semakin menipis. Apalagi nilai-nilai keragaman. Itu pun mulai luntur, ambyar, karena mulai diingkari. Bahkan diingkari atas nama agama!