Babak Baru Maraton Indonesia
Lomba lari maraton sering digelar di kota-kota di Indonesia dan mendukung pariwisata olahraga, tetapi gagal melahirkan atlet-atlet lari yang andal.
Maybank Marathon Bali atau MMB naik kelas. Presiden Direktur Maybank Indonesia Taswin Zakaria beberapa waktu lalu mengumumkan kabar baik bahwa maraton yang diselenggarakan Maybank Indonesia itu kini berlabel bronze (alias perunggu) dari World Athletics. Sebuah pencapaian untuk MMB sebagai lomba lari maraton pertama di Indonesia yang memenuhi standar internasional.
”Dengan demikian, diharapkan MMB juga mengangkat Indonesia di kancah lomba lari maraton Indonesia,” kata Taswin dalam jumpa pers, awal Februari lalu. Butuh waktu sembilan tahun hingga penyelenggaraan MMB mendapatkan label bronze tersebut. Maybank Marathon bisa dikatakan sebagai pelopor penyelenggaraan maraton di Indonesia.
Kini hampir sejumlah daerah juga mencoba mengikuti kesuksesan Maybank Marathon Bali—sebelumnya bernama BII Maybank Bali Marathon tersebut. Provinsi Jawa Tengah berbangga karena memiliki Borobudur Marathon yang edisi reborn-nya kini memasuki tahun ketiga. Sejak tahun lalu, Borobudur Marathon malah menerapkan sistem ballot untuk pelari yang ingin menjadi peserta event tersebut.
Demikian juga Jawa Barat, kembali mempersiapkan Jabar International Marathon untuk ketiga kalinya yang akan berlangsung Desember mendatang di kawasan wisata Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Demikian juga dengan DI Yogyakarta dengan Yogya Maraton maupun Jawa Timur dengan Surabaya Marathon atau daerah lainnya, seperti Toraja Marathon di Sulawesi Selatan. Sementara Jakarta sudah kedelapan kalinya menyelenggarakan maraton yang ”dibenci tapi dirindu” oleh para penggemar lari (maraton) Indonesia.
Selain Maybank yang menyelenggarakan sepenuhnya Maybank Marathon Bali, sejumlah bank dan korporat menerakan namanya dalam event maraton seperti Bank Jateng, Mandiri, sampai perusahaan Samsung di Surabaya atau air isotonik Pocari di Bandung.
Tren menjamurnya maraton di Indonesia sejalan dengan semakin banyaknya ajang lomba lari di Indonesia. Kini, hampir tiap akhir pekan, ajang lomba lari berlangsung di kota-kota. Pada tahun 2019 tercatat ada 352 perlombaan lari diselenggarakan di seluruh Indonesia.
Bahkan, bukan hal aneh lagi jika di sebuah kota dalam satu pekan berlangsung 2-3 ajang lomba seperti yang akan berlangsung pekan ketiga Maret mendatang di Jakarta berlangsung MRT Run yang diselenggarakan di kawasan GBK dan Sudirman Jakarta pada Sabtu (21 Maret 2020), serta pada hari Minggunya akan berlangsung BAF Lion Run di kawasan BSD Serpong, Tangerang Selatan, serta Bogor Half Marathon di kota Bogor.
Bogor yang menyebut diri sebagai kota pelari (City of Runners) pun ingin ”membayar” sebuah ajang lomba yang diharapkan pelari setelah tahun sebelumnya Bogor HM berlangsung tidak seharusnya.
Sejumlah pemain asing pun mulai memasuki Indonesia untuk meramaikan event lari di Indonesia, termasuk ajang lari virtual. Sebuah aplikasi pendaftaran lari dari Malaysia rajin memasarkan produknya untuk digunakan dalam event lari Indonesia.
April mendatang, Liverpool FC misalnya akan menggelar event lari The Kop Run presented by AXA. Ajang lari yang digagas oleh tim sepak bola papan atas dari Liga Primer Inggris, Liverpool, tersebut akan mengajak para fans mereka dan para pemain legendanya untuk berlari bersama di Jakarta.
Maraknya ajang maraton (baca: lari) di daerah-daerah, ditempuh pemerintah daerah sebagai upaya untuk menghidupkan sport tourism (pariwisata olahraga). Setiap ajang lomba setidaknya diikuti oleh 4.000 pelari atau lebih.
Maybank Bali Marathon dan Borobudur Marathon bahkan menghadirkan peserta hingga 10.000 orang lebih. Para pelari itu tidak melulu datang sendiri. Mereka diharapkan membawa keluarga atau teman-teman pendukungnya untuk datang ke kota tempat mereka akan berlari.
Dengan demikian, jika sebuah event maraton seorang pelari rata-rata membawa empat anggota keluarga atau temannya maka akan hadir 30.000-an wisatawan ke sebuah kota tempat ajang berlangsung. Hitungan sederhana tinggal dikalikan saja berapa miliar rupiah yang mereka datangkan ke sebuah kota untuk penginapan, transportasi, akomodasi, kuliner, hingga belanja oleh-oleh, misalnya.
”Dampak lanjutan dari kegiatan maraton adalah penerbangan penuh, hotel-hotel dan restoran juga mendapat imbasnya. Sebab, mereka butuh penginapan dan pasti belanja makan dan minum selama berada di sini (Bali),” kata Taswin.
Borobudur Marathon yang didukung Bank Jateng seperti dilansir Kompas (15/10/2019) menunjukkan, ajang tersebut mendongkrak sektor pariwisata. Tercatat kunjungan wisatawan, termasuk wisatawan dan pengunjung luar daerah, di Kabupaten Magelang tahun 2018 mencapai 7,45 juta orang atau sekitar 15 persen dari total 49,6 juta orang yang berwisata ke Provinsi Jawa Tengah pada periode yang sama.
Kunjungan wisatawan itu meningkat 65 persen dari tahun 2017 sebanyak 4,51 juta orang. Hal tersebut secara signifikan membuka peluang mendongkrak perekonomian daerah setempat.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil yang menyebut, pariwisata sebagai ”bisnis atau ekonomi kegembiraan” juga mengatakan sport tourism merupakan salah satu sektor yang giat dikembangkan olehnya. Untuk itulah, pihaknya akan terus mengembangkan Jabar International Marathon (JIM) di Pangandaran semakin lebih baik.
”Ke depannya, JIM akan terus kita tingkatkan dan kita harap setiap tahun akan semakin membaik. Saya tahu sejumlah lari utama di sejumlah kota dunia juga butuh waktu lama untuk menjadi eksis seperti saat ini,” kata Ridwan, saat jumpa pers JIM, akhir September lalu.
Chicago Marathon, yang tahun lalu saya menjadi salah seorang pesertanya, bisa menjadi contoh. Lomba maraton yang tahun ini akan berlangsung ke-43 kalinya, tahun 2019 mencatatkan dampak ekonomi hingga 378 juta dollar AS (sekitar Rp 5,170 triliun). Ajang yang mendatangkan 45.000-an pelari dari 140 negara tersebut mendatangkan dampak langsung terhadap industri pariwisata setempat hingga 154 juta dollar AS (Rp 2,106 triliun).
Demikian juga dengan Tokyo Marathon yang dua tahun lalu saja mencatatkan dampak ekonomi hingga total hingga 28,42 miliar yen (sekitar Rp 3,541 triliun) untuk seluruh Jepang dan 16,59 miliar yen (sekitar Rp 2,067 triliun).
Perlu waktu
Tentu saja jalan masih panjang dan perlu waktu untuk menjadikan sebuah ajang maraton kelas dunia. Masih banyak hal yang harus dibenahi bersama oleh para pemegang kepentingan, baik penyelenggara lari maupun pemerintah.
Untuk dapat naik kelas dan meraih World Label ”Bronze Label” Road Race dari World Athletics (sebelumnya International Association of Athletics Federations/IAAF) saja, seperti yang kini disandang Maybank Marathon Bali tidaklah mudah. Dengan label itu, seperti diungkapkan Taswin, Maybank Marathon Bali ingin semakin menegaskan diri sebagai lomba lari yang telah memenuhi standar internasional.
”Kita juga ingin mengangkat Indonesia di kancah lomba lari maraton internasional,” kata Taswin.
Sebagai pelopor, sejak 2013 Maybank Marathon menjadi lomba maraton pertama di Indonesia yang secara konsisten masuk dalam official race directory Boston Marathon. Maybank Marathon juga telah meraih berbagai penghargaan termasuk dalam satu dari sebelas ”Remarkable races in the world that one must participate before you die” by The Active, salah satu dari ”The 52 Best Races on Earth 2016” oleh Runnersworld, Best Marathon 2016, dan the Most Popular Sport Event 2018 oleh majalah The Venue.
Pencapaian lain Maybank Marathon adalah hajatan tersebut kini juga termasuk dalam lomba lari Abbott World Marathon Majors (WMM) Wanda Age Group World Rankings. Para peserta Maybank Marathon mendapat poin/ranking sesuai kriteria World Marathon Majors.
Penghormatan kepada pelari
Walaupun masih ada level yang lebih tinggi di label maraton dunia—silver, gold dan terakhir platinum seperti disandang Tokyo Marathon (yang tahun ini dibatalkan penyelenggarannya karena virus korona)—bukan hal mudah untuk mendapatkan label bronze marathon. Label-label itu hanya dapat diraih setelah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan dan diverifikasi oleh World Athletics.
Persyaratan tersebut antara lain meliputi jarak tempuh serta rute yang telah disertifikasi oleh official course measurer dari Association of International Marathons and Distance Races (AIMS), road closure, sistem pencatatan waktu, kehadiran pelari elite internasional, medikal, liputan media, standardisasi kenyamanan dan keselamatan pelari serta kepatuhan terhadap seluruh regulasi lomba yang ditetapkan oleh World Athletics.
Kehadiran pelari elite internasional misalnya, lomba maraton dimaksud setidaknya harus dihadiri sejumlah atlet maraton dunia dengan ranking tertentu di peringkat dunia. Jadi kata international bukan melulu hanya diikuti pelari dari sejumlah negara saja, tanpa kualifikasi khusus.
Sudah menjadi rahasia umum, sejumlah ajang lari di Indonesia yang menyajikan hadiah fulus dalam besar bagi para juara dan posisi podium menjadi incaran para pelari Kenya. Para pelari dari Benua Afrika itu seperti ”mengamen” berlari dari satu event lari ke event lari lainnya untuk pulang menggondol hadiah fulus yang besar.
Demikian juga menyangkut pengukuran rute atau lintasan lari untuk mendapatkan sertifikasi AIMS, jarak harus diukur seakurat mungkin. Upaya mendapatkan jarak yang persis seperti itu, menurut saya, merupakan penghormatan terhadap pelari agar mereka bisa berlari sesuai dengan jarak yang mereka latih dan mereka inginkan.
Saya pernah mendampingi measurer Association of International Marathons and Distance Race (AIMS), Dave Cundy (Vice AIMS) saat itu, Juli 2017 untuk rute maraton Borobudur Marathon. Terlihat betul bagaimana sebuah jarak rute lari maraton harus terukur persis. Cundy melengkapi dirinya dengan alat ukur yang presisi, memperhatikan suhu dan kelembaban setempat, bahkan ”mekanikal” seorang pelari bermanuver di lintasan pun diperhatikan betul.
Coach Andri Yanto yang menangani sejumlah pelari untuk mencatatkan hasil terbaik perlariannya mengatakan, persis atau akuratnya jarak sebuah race kini menjadi perhatian mereka. Walaupun mereka dikategorikan sebagai pelari rekreasional alias pelari kantoran, jarak yang persis menjadi salah satu acuan sebuah lomba lari diselenggarakan dengan serius atau tidak.
Jadi tidak bisa lagi, para penyelenggara lari asal-asalan menyelenggarakan lomba lari dalam kategori-kategori tertentu 5K (Kilometer), 10K, 21K, dan maraton mengurangi atau melebihkan jarak dengan berbagai pertimbangan. Pernah sebuah penyelenggara lomba lari menulis di race guide (panduan lomba) untuk kategori 10K ”jarak sesungguhnya berdasarkan pengukuran 10K+200 meter”.
”Bayangkan untuk mereka yang pace 4 saja 200 meter itu, kan, artinya harus mereka tempuh 48 detik. Padahal mereka sudah hitung 10K persis akan mereka tempuh dalam waktu 40 menit untuk bisa PB (personal best). Kalau lebih begitu, ya, gagal dong pelari itu mencatatkan PB-nya,” kata Andri.
Ironi
Sejalan dengan semakin maraknya lomba lari (maraton) di daerah-daerah yang diharapkan bisa mendorong pertumbuhan sektor sport tourism di Indonesia, sebenarnya di dalamnya terkandung sebuah ironi.
Sebuah event lari yang berlangsung hampir setiap pekan di kota-kota, setidaknya diikuti 2.500- 3.000 pelari. Bahkan ajang seperti Maybank Bali Marathon, Borobudur Marathon, atau Bandung Pocari Marathon lebih dari 10.000 slot lari habis dalam waktu singkat. Akan tetapi dari belasan event lari dengan ribuan peserta itu tidaklah serta-merta melahirkan atlet-atlet andalan nasional yang akan menjadi penerus atau pengganti atlet-atlet lari senior.
Rekor maraton Indonesia sudah 29 tahun pun belum ada yang dapat merebutnya dari tangan Eduardus Nabunome dengan catatan waktu rekor PON maraton, 2 jam 19 menit 27 detik; serta rekor SEA Games maraton, 2 jam 20 menit 17 detik.
Eduardus yang kini menjadi pelatih sejumlah pelari muda dan pelari rekreasional itu total mencatat 14 rekor lari jarak menengah pada periode 1980-2000. Bahkan, hingga kini lima rekor nasional masih bertahan atas namanya, termasuk rekor lari 10.000 meter jalan raya, yakni 29 menit 25,10 detik.
Di tengah hiruk pikuknya berbagai event lari di daerah-daerah, dunia lari Indonesia masih menunggu lahirnya pelari-pelari penerus Agus Prayogo, Triyaningsih, atau Odekta Elvina Naibaho.