Sebagai Warga Dunia, Indonesia Harus Punya UU PKS
Anggota legislatif DPR RI jangan meremehkan desakan untuk mengesahkan RUU PKS karena akan menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri.
Pada 1 Juli 2020 politisi dari Komisi VIII DPR RI mengemukakan “kerumitan pembahasan” RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang diusulkan pemerintah sejak 2016 sebagai alasan pencabutan dari daftar prioritas tahun 2020, meskipun telah ada desakan kuat untuk meloloskannya.
Alasan lainnya adalah masalah keterbatasan waktu pembahasan pada bulan Oktober. Wakil Badan Legislatif (Baleg) DPR RI dari Partai Nasdem, Willy Aditya, menyebutkan bahwa Baleg DPR RI akan menambahkan RUU PKS ke dalam Prolegnas 2021 (2019-2024).
RUU PKS ditentang oleh partai-partai politik berbasis agama antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PAN, dengan tuduhan bahwa RUU PKS mendukung legalisasi perzinaan dan orientasi seksual seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Namun, ada dua anggota parlemen perempuan, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dari Partai Gerindra dan Diah Pitaloka dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berupaya agar DPR meloloskan RUU tersebut.
Di luar parlemen, rakyat termasuk akademisi menyerukan agar RUU PKS yang berperspektif korban segera disahkan. Kelompok penolak pun bersuara bahkan didukung organisasi keagamaan .
WHO mengartikan, kekerasan seksual adalah tindakan yang berkisar dari pelecehan verbal sampai penetrasi secara paksa, termasuk berbagai jenis paksaan dari tekanan sosial dan intimidasi yang menggunakan kekuatan fisik. Korban kekerasan seksual tidak mengenal jenis kelamin, profesi, agama, suku, kelas sosial. Pelaku kejahatan kekerasan seksual berasal dari berbagai kalangan, termasuk dari keluarga atau sosok yang dipercaya korban.
Berita media massa tentang kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa anak perempuan atau anak laki-laki, remaja maupun orang dewasa sangat mudah didapat. Contoh, kasus pelecehan seksual yang dialami puluhan anak putra altar oleh seorang pembina kegiatan misdinar di Gereja Katolik di Depok.
BPS juga pernah merilis kasus perkosaan yang mencapai 1.288 kasus pada 2018, 3.970 kasus-kasus pencabulan kasus, serta 5.247 kasus kekerasan seksual. Namun, menurut Laporan Tahunan LPSK 2019 hanya 507 orang yang mempunyai akses terhadap perlindungan kekerasan.
Apa artinya angka-angka tersebut? Mengapa penundaan RUU ini terjadi pada konteks pandemi Covid-19 sebelum sesi SI MPR? Mengapa para anggota dewan perempuan (selain kedua sosok tadi) tidak bersuara keras saat ini?
Ada tiga argumen yang saya ajukan. Pertama, pemunduran proses legislasi RUU PKS ini mencerminkan banalitas patriarki sebagai cermin dari ideologi (kader) partai politik (PKS dan PAN) yang menolak di Komisi VIII, sehingga meminggirkan suara legislator yang setuju (termasuk dua caleg dari Gerindra dan PDI-P).
Studi-studi mengenai partai politik dan kepemiluan tidak terlalu menghiraukan dampak ideologisasi parpol terhadap keluaran berupa legislasi dari posisi kader dalam kursi perwakilan. Artinya, jika parpol dengan ideologi konservatif menguasai posisi unsur pimpinan komisi maka akan sulit untuk melahirkan legislasi yang progresif.
Kekerasan seksual mencerminkan ketimpangan jender yang merupakan pokok bahasan Komisi VIII bidang Agama dan Sosial. Wacana penolakan berkisar pada klaim bahwa RUU ini mewakili aliran liberal dan bertentangan dengan moralitas publik yang agamis.
Di sisi lain, kultur patriarkis masih kuat bercokol di sebagian kalangan politisi parpol. Namun, kader-kader partai berideologi relijius-moderat serta nasionalis pun tidak bisa menguasai diskusi di komisi, dengan dukungan massa dan akademisi di luar Senayan.
Sampai detik ini belum ada terobosan kecuali pernyataan dari Rahayu anggota legislatif Komisi VIII Gerindra bahwa RUU mungkin akan dibahas di Baleg. Ironisnya anggota Baleg DPR-RI asal Gerindra, Sodik Mudjahid –yang merupakan pengusul RUU Ketahanan Keluarga- sudah mengatakan bahwa ‘penundaan RUU PKS perlu karena pro dan kontra terlalu besar’.
Di sisi lain, kultur patriarkis masih kuat bercokol di sebagian kalangan politisi parpol.
Kedua, gerakan sosial untuk mendukung RUU PKS ini tidak bulat. Di tingkat akar rumput logika politik elektoral pascapilpres 2014 dan 2019 masih menyisakan gerutuan. Bisa dibayangkan pengaruhnya sehingga tidak bisa menelaah secara jernih kebijakan mana yang harus didukung secara lintas kelompok. RUU PKS ini adalah inisiatif pemerintah yang dipimpin oleh pemenang pemilu nasional 2014-2019.
Ketiga, wacana keselamatan/ keamanan individu dari kejahatan kekerasan seksual masih marjinal dalam peta legislasi Komisi VIII DPR RI bidang “Agama dan Sosial”. Tak heran jika suara anggota legislatif perempuan Gerindra (yang juga bersuara keras pada putusan terdakwa TPPO) dan anggota legislatif perempuan dari PDI-P dalam mendesak pengesahan RUU PKS tidak mendapat dukungan luas dari kolega mereka di parlemen bahkan dari Koalisi Perempuan di parlemen yang sifatnya lintas komisi.
Sahkan RUU PKS menjadi UU Segera
Kekerasan seksual adalah masalah yang penting bagi para sarjana dan aktivis, baik dari perspektif teoretis maupun praksis. Di tingkat global pernah terjadi perdebatan di Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang apakah kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan ada pula pertanyaan tentang ruang lingkup konsep "persetujuan" (consent) dan efek politik dari kata "korban" dan frasa "menghormati kejahatan”.
Kekerasan seksual pernah dipakai sebagai instrumen dalam konflik dan perang, yang mendorong negara-negara merumuskan resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 mengenai “Perempuan, Perdamaian dan Keamanan” yang diluncurkan Oktober 2000.
Dari sisi kebijakan nasional, pada September 2014 Indonesia mengadopsi resolusi tersebut dalam kebijakan Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dalam Konflik Sosial dengan Kementerian PPPA sebagai ujung tombak pelaksananya. Rencana Aksi Nasional ini dipayungi oleh Perpres no 18/2018 dengan fokus pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam konflik sosial. Satu poin yang dicakup adalah penanganan kekerasan seksual di mana instrumen pengaduan kasus tersedia dari pusat hingga daerah lewat P2TP2A Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
Kekerasan seksual belum dianggap menjadi ancaman pada keamanan individu apatah lagi bangsa ini. Fakta tingginya angka kekerasan seksual belum menjadi dasar pengesahan UU oleh anggota legislatif DPP RI sangat merisaukan.
Fakta tingginya angka kekerasan belum menjadi dasar pengesahan UU oleh anggota legislatif DPP RI sangat merisaukan.
Perlu diingat bahwa kekerasan dalam kekerasan yang terjadi pada bangsa, daerah, jenis kelamin, kategori sosial, identitas. Maka, kejahatan kejahatannya membutuhkan dasar yang kuat, yaitu Undang-Undang. Anggota legislatif DPR RI jangan meremehkan desakan untuk mengesahkan RUU PKS karena akan menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri.
(Irine H Gayatri Kandidat Doktor, Pusat Kajian \'Jender, Perdamaian dan Keamanan\', Sekolah Ilmu Sosial, Fakultas Seni, Universitas Monash)