Isyarat Hujan di Bulan Desember
Betapapun kau menyiapkan diri, kabar kepergian itu seperti renyai hujan, yang menetes perlahan tetapi akhirnya melumuri seluruh kesedihanmu. Widi sedang berada pada ujung lain dari perjalanannya sebagai makhluk Tuhan.

Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas
Sejak dini hari tadi hujan seperti tak henti. Dari kamar tidur, suaranya merincis meninggalkan luka yang dalam. Terkadang pula berubah menjadi gemuruh di kejauhan, mengiringi ruh-ruh yang menari di atas atap rumah kami. Betapa pun kau menyiapkan diri, kabar kepergian itu seperti renyai hujan, yang menetes perlahan tetapi akhirnya melumuri seluruh kesedihanmu.
Kira-kira pukul satu lebih beberapa menit, di hari Sabtu (19/12/2020) seorang perempuan menjerit-jerit. Suaranya yang parau seperti menyayat luka-luka baru. Sayup-sayup dari pelantang telepon genggam istriku, perempuan itu berkata: tinggal 11 persen! Aku menduga Sri, nama perempuan itu, sedang mengabarkan darah yang teroksigenasi dari suaminya, tersisa 11 persen dari seharusnya antara 95 persen dan 100 persen.
”Ini kabar buruk,” bisik istriku.
Sejak beberapa hari lalu, kami sedang mengikuti perkembangan kesehatan sepasang suami-istri, yang menjalani isolasi di Rumah Sakit Universitas Udayana, Jimbaran, Bali. Keduanya pasien rujukan dari RSU Negara, Jembrana, yang kurang memiliki fasilitas perawatan instentif untuk pasien-pasien yang tergolong kritis.
Menurut cerita istriku, Sri dan Widi, terinfeksi Covid-19 setelah beberapa pekan bepergian ke Kota Palu. Mereka adalah pasangan suami-istri yang gigih membina dan memperkenalkan kain tenun Jembrana ke berbagai belahan dunia.
Kami selalu bertemu mereka saat-saat mengikuti pameran dagang di Ibu Kota. Widi selalu dengan penuh antusias menceritakan pergaulannya dengan para penenun di kota kelahiran kami, Negara.
Suatu hari, misalnya, ia berkata pewarisan keahlian menenun di Kabupaten Jembrana sangat memprihatinkan. Hal itu, kata Widi, karena para ibu menganggap menenun kain sebagai pekerjaan sambilan. ”Bukan sumber ekonomi. Jadi kalau ada yang mewarisi, itu faktor kebetulan bukan kesadaran,” kata Widi.

Almarhum I Ketut Widiadnyana di antara dua model yang mengenakan rancangan berbahan kain tenun khas Jembrana.
Kenyataan itulah yang membuatnya menampung lebih dari 50 perempuan penenun yang diikat dengan sistem gaji bulanan. Ia ingin keterampilan menenun menjadi keahlian yang bisa dikonversi ke dalam bentuk pendapatan. Hanya dengan begitu, kata Widi, tradisi menenun bisa diselamatkan. ”Harus memberi manfaat secara ekonomi sehingga para ibu tak merasa membuang waktu mereka,” katanya.
Selama 15 tahun terakhir, ketekunan Sri dan Widi mampu mengangkat citra tenun khas Jembrana, yang selama ini hanya terdengar sayup-sayup. Mereka masuk dalam jaringan pengembangan industri kerajinan yang memberi suntikan modal. Sampai kemudian banyak kalangan mengenal kelompok Tenun Putri Mas, yang memproduksi desain-desain berbasis kain tenun songket Jembrana.
Ketika hari benar-benar pagi, Sri tak kunjung tenang. Suaranya berderak-derak dan kemudian menyayat histeris. Istriku berbisik lagi, seberapa pun hujan telah memberi isyarat, toh kesedihan selalu berhasil menyusup.
Ia kemudian merobek-robek ketabahan menjadi serpih-serpih kehilangan. Ya, kehilangan selalu membuat kita syok, terlempar ke dalam jurang penderitaan yang dalam. Entah kapan kau bisa merangkak perlahan dan kembali ke atas untuk menggapai kembali ketegaran.
Sri sedang berada di lembah terdalam dari kesedihan. Kami menyadari, ia baru saja kehilangan suami, orang yang selama puluhan tahun telah bersamanya. Bahkan, keduanya telah bepergian ke pelosok dunia untuk membawa tenun sebagai warisan tradisi, yang menjadi salah satu puncak pencapaian peradaban di Timur.
Tenun tak sekadar kain, ia bermotif spesifik yang menjadi ruang ekspresi sosial dan kultural masyarakat. Di Jembrana terdapat motif kain tenun yang umum disebut bulan bintang, bedeg-bedegan, dan pala yuyu. Motif-motif ini, kata Widi, adalah motif-motif tradisional yang diwarisi para perempuan penenun di Jembrana.

I Ketut Widiadnyana (almarhum) sedang menjelaskan motif-motif kain Jembrana kepada Direktur IMF Christine Lagarde dalam satu kesempatan berpameran di Jakarta.
Ketiga motif ini benar-benar berangkat dari kondisi sosio-kultural masyarakat Jembrana yang plural, diselingi lanskap geografis berupa tegalan dan rawa-rawa di bagian selatan kota. Motif bulan bintang, menurut penenun, telah mereka warisi selama berabad-abad silam dari para leluhur.
Motif ini berupa gambar-gambar bintang dan bentuk-bentuk bulan, dua benda langit yang mengambang di jagat raya. ”Mungkin saja ini ekspresi orang Jembrana yang plural,” kata pemerhati budaya asal Jembrana, I Wayan Udiana.
Jembrana merupakan satu-satunya kabupaten di Bali yang dihuni oleh berbagai kelompok etnis, seperti Bali, Jawa, Melayu, Bugis, Madura, dan China. Bahkan, di kampung-kampung seperti Loloan Barat dan Loloan Timur, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, termasuk ketika berkomunikasi dengan orang-orang dari suku lain, seperti Bali.
Dari segi agama, di daerahku ini terdapat penduduk beragama Hindu, Islam, Nasrani, Buddha, dan Khonghucu. Komposisi demografis ini, kata Udiana, berpengaruh terhadap ekspresi kultural masyarakat lokal, terutama terlihat pada bentuk-bentuk kesenian, termasuk motif-motif kain tenun. ”Motif bulan bintang itu juga pasti pengaruh dari gesekan budaya lokal dengan kehadiran agama Islam,” kata Udiana.
Selain itu, lanskap alam yang terdiri dari tegalan, persawahan, serta rawa-rawa telah menjadi inspirasi yang melahirkan motif seperti bedeg-bedegan dan pala yuyu. Bedeg-bedegan merupakan bentuk stilisasi dari dinding bambu bernama bedeg, sedangkan pala yuyu, tak lain adalah bentuk-bentuk mirip kepiting, yang banyak terdapat di rawa-rawa bagian selatan kota. ”Jembrana kaya dengan flora dan fauna seperti bambu, kepiting dan udang di daerah berawa,” ujar Udiana.
Oleh sebab itu, selembar kain tenun, ibarat kanvas yang menampung ekspresi komunal dari suatu masyarakat. Tentu saja, Widi tak puas dengan sekadar menerima warisan leluhur. Agar kain-kain itu bisa diterima generasi masa kini, ia mengaktualisasi motif dan teknik menenun tanpa menghilangkan kekhasan kain Jembrana.

Pasangan suami-istri I Ketut Widiadnyana (almarhum) dan Luh Wayan Sriadi mengapit pelanggan mereka dengan latar belakang kain-kain tenun khas Jembrana.
”Kami ajarkan penggunaan pewarna alami yang jauh lebih ramah, tetapi bernilai ekonomi lebih tinggi,” ujar Widi suatu di hari di Jakarta. Terakhir, dengan bantuan lembaga keuangan, ia memopulerkan kain tenun tanpa sambungan.
Widi juga pernah bilang ia sedang menggali motif-motif khas Jembrana dari ingatan para tetua di daerah itu. Entahlah, sampai ia dikabarkan terinfeksi Covid-19, Widi tak pernah lagi bercerita soal rencananya menggali motif-motif tua di daerahku.
Sesekali aku hanya melihatnya di WA grup para pemerhati Jembrana, tetap dengan tekadnya meluaskan pasar kain tenun Jembrana. Terkadang ia suka berfoto dengan para menteri atau pimpinan di daerah sambil membawa kain tenun Jembrana. Sebuah usaha yang boleh dikata cukup keren untuk memopulerkan tenun.
Hari Minggu (20/12/2020), hujan tak jua berhenti. Di kejauhan lembah Sungai Ayung di mana rumahku berada, terdengar suara gemuruh. Titik-titik hujan yang tadinya menggerimis, kini bertambah deras. Aku dengar kabar jasad Widi akan dikremasi di kota Bangli, 24 Desember 2020.
Krematorium ini menyiapkan segala kebutuhan ritual bagi jasad yang beragama Hindu. ”Ya Tut Lait akan diaben sekalian,” kata istriku menyebut nama kecil dari Widi. I Ketut Widiadnyana, nama lengkapnya, adalah teman masa kecil istriku di kampung.
Di sela-sela hujan Desember yang kian menderas, aku bertanya-tanya, beginikah cara Tuhan memutar lingkaran samsara? Kami percaya bahwa kepergian (kematian) selalu didahului oleh kehadiran (kelahiran) dan dalam kehidupanlah ruh menjelma untuk memperbaiki karma.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F04%2F435157_getattachment9ef48414-a847-4386-92e9-0d11764053c4426544.jpg)
Warga mengantar jenazah untuk upacara ngaben (pembakaran), Maret 2017.
Lingkaran ini seperti takdir yang tak bisa ditolak setiap makhluk, termasuk manusia. Ketika kau mengenal kelahiran dan kehidupan, maka kematian akan menghadangmu suatu hari kelak.
Widi sedang berada pada ujung lain dari perjalanannya sebagai makhluk Tuhan, meniti jalan kematian. Jangan khawatir, ia tak seorang diri. Seluruh keluarga, kerabat, dan komunitas banjar di Banjar Satria, Kelurahan Pendem, Jembrana, di mana ia menetap, akan turut mengantarkannya menuju alam ruh. Bahkan, seluruh keluarga akan mengiringi kremasinya menuju keabadian di alam para bathara kelak.
Kesengsaraan dan penderitaan, dalam ajaran kami, muncul karena keterikatan manusia terhadap benda-benda di sekitar hidupnya. Oleh sebab itu, hampir dalam setiap perayaan hari-hari suci, termasuk menyambut tahun baru seperti Nyepi, selalu didengungkan jalan menuju pembebasan. Ya, pembebasan dari keterikatan yang mengungkung hidup manusia ke lembah penderitaan.
Rasanya tutur-tutur dalam ajaran ini bermanfaat untuk meluruskan hidup manusia. Kau pasti mencatat bagaimana seseorang yang telah diberi kekuasaan, menggunakan kekuasaannya untuk mencuri uang rakyat.
Bukankah itu pengejawantahan dari sifat serakah dan keserakahan selalu dimulai dari keterikatan pada benda-benda. Semakin terikat pada benda-benda itu, semakin sengsaralah hidup manusia. Ia tak akan menemukan jalan terang yang menjanjikan kebahagiaan.
Kematian, barangkali bentuk paling ekstrem yang ditakdirkan kepada manusia, untuk mengakhiri keterikatan. Widi, kini tak terikat oleh badan wadagnya, ia bertriwikrama menjadi ruh untuk kemudian meneruskan karmanya di alam niskala.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F07%2F20180708_BALI_B_web.jpg)
Ibu-ibu membantu mempersiapkan berbagai perlengkapan untuk upacara ngaben di Banjar Lepang, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, Bali, Minggu (8/7/2018).
Sering sekali badan wadag (skala) yang menyebabkan pikiran, perkataan, dan perbuatan kita diikat oleh keinginan. Ketika keinginan itu merajalela, maka ia menjelma menjadi sifat-sifat rakus, serakah, tak pernah puas akan materi. Padahal, penumpukan materi yang berlebihan, pangkal dari keterikatan manusia pada alam kebendaan.
Apa yang telah dirintis oleh Widi semasa hidupnya adalah karma baik, ia dicatat sebagai jejak dan dikonversi sebagai bekal untuk melakoni kehidupan selanjutnya.
Pada saat Yudistira mencapai gerbang nirwana, ia dipersilakan segera memasuki pintu kebebasan. Yudistira menolak. Ia meminta Tuhan mengizinkan seekor anjing yang telah setia menemani perjalanannya masuk surga terlebih dahulu.
”Bukankah ia hanya seekor anjing?” kata Tuhan.
”Anjing boleh jadi hanya bentuk fisik, tetapi ia telah menunjukkan kesetiaannya kepadaku,” jawab Yudistira.
Kisah ini menginspirasi kita untuk mengatakan, walau wujud wadagmu adalah manusia, tetapi jika sifat-sifatmu menyerupai perilaku binatang, maka tak pernah ada surga dalam hidupmu. Alih-alih masuk ke gerbang nirwana, besar sekali kemungkinannya kau justru memasuki gerbang penjara.
Penjara adalah wilayah keterikatan dalam wujud fisik paling kasar, di mana kau akan semakin jauh dari pembebasan. Fisikmu yang terkungkung akan menderamu dengan penderitaan yang nyaris tak berujung.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F12%2F20190726IDR02_1608561801.jpg)
I Ketut Widiadnyana (alm) bersama istri, Luh Wayan Sriadi.
Ketika kita tiba di pertengahan Desember, hujan nyaris bernyanyi tanpa henti. Kaki-kakinya yang tajam merajam daun-daun pohon kamboja yang tumbuh di taman kecil rumahku. Ada rasa ngilu mendengar kabar kepergian hari ini. Sayup-sayup aku ucapkan mantra suci ini:
//Om atma tattwatma naryatma swadah ang ah/Om swargantu, moksantu, sunyantu, murcantu/Om ksama sampurnaya namah swaha//.
Tuhanku, semoga arwah yang meninggal mendapatkan surga, menyatu dengan diri-Mu, mencapai keheningan tanpa derita. Tuhanku ampunilah segala dosanya, semoga ia mencapai kesempurnaan atas kekuasaan pengetahuan serta pengampunan-Mu.
Esok hari, pelan-pelan jasad Widi akan penyap ke dalam api. Semoga ruhnya menyatu dengan keesaan semesta. Seluruh karyanya tersulam rapi dalam lembar-lembar kain songket dan menjadi catatan luhur bagi generasimu kelak.