Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama
Negara dan masyarakat tak boleh lelah bekerja, menjamin, dan mengelola kehidupan beragama dan berkeyakinan secara menyeluruh, adil, dan sejahtera.
Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Setara Institute, Amnesty International Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Ma’arif Institute, dan lembaga-lembaga lain di Indonesia, selama tahun 2020 ini, kasus-kasus kekerasan dan konflik bernuansa agama tidaklah berkurang.
Potret ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dan seluruh masyarakat. Keragaman agama harus dikelola. Kebebasan beragama harus dijamin. Pengelolaannya harus efektif, menyeluruh, dan adil.
Pertama-tama, harus diperjelas karakteristik, sebab-sebab, pelaku, korban, dan skala setiap kasus pelanggaran. Aksi terorisme, misalnya, berbeda dengan kasus konflik komunal di antara kelompok masyarakat yang berbeda agama atau aliran keagamaan.
Itu berbeda juga dengan kasus-kasus hukum seperti pendirian rumah ibadah dan kasus-kasus yang dianggap sebagai penodaan agama. Ada juga kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang diskriminatif terhadap individu atau kelompok agama tertentu.
Ada kasus-kasus kriminalisasi, persekusi, diskriminasi, intimidasi, penangkapan, dan bahkan pembunuhan tanpa proses hukum, dan pembatasan-pembatasan rumah dan praktik ibadah atau kebaktian yang tidak sesuai konstitusi dan hukum yang adil dan setara.
Sebab-sebab kasus kekerasan dan pelanggaran berbeda-beda dan tidak tunggal.
Sebab-sebab kasus kekerasan dan pelanggaran berbeda-beda dan tidak tunggal. Apakah sebabnya itu soal perselisihan keluarga, hidup bertetangga, ujaran kebencian dan ajakan permusuhan, atau lainnya. Apakah akar masalahnya itu pemutlakan keyakinan yang terlalu fanatik atau berlebihan, ceramah agama yang mudah mengecam sesat kelompok lain yang berbeda, perebutan sumber-sumber ekonomi dan kepentingan politik identitas dan kekuasaan, atau akar masalah lainnya.
Perlu juga diteliti, adakah faktor salahnya kebijakan atau lemahnya penegakan hukum, atau masih diskriminatifnya sebagian aturan yang ada, yang sering dimanfaatkan kelompok-kelompok penekan yang intoleran.
Pasal-pasal UUD 1945 tentang agama dan hak asasi manusia (HAM) jelas mengharuskan negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jelas juga Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia sejak 2005. Ramai juga perayaan hari HAM International dan Hari Toleransi Internasional.
Namun, banyak aparatur negara juga pelaku pelanggaran, termasuk pemerintah daerah, kepolisian, dinas pemerintahan, dan aparat keamanan. Aktor non-negara pun banyak, termasuk warga, organisasi masyarakat, politisi, tokoh masyarakat, bahkan majelis-majelis agama. Korban-korban pelanggaran pun beragam: warga, aparatur sipil negara, kelompok keagamaan, individu, ataupun kelompok minoritas agama.
Dalam banyak kasus pelanggaran, slogan kerukunan sering diangkat sebagai sebab pembatasan bahkan pelanggaran itu. Demi menjaga kerukunan, seseorang atau bahkan suatu kelompok terpaksa mengebiri kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kerukunan dipahami sebatas tidak ada konflik, tidak ada ketegangan, dan tidak ada perbedaan. Kerukunan diartikan sebagai keseragaman pemahaman dan praktik agama. Yang kecil terpaksa mengalah kepada yang besar.
Kerukunan diartikan sebagai keseragaman pemahaman dan praktik agama.
Komunitas-komunitas agama membutuhkan pengakuan hak beragama dan berkeyakinan, tetapi bisa saja tidak peduli hak beragama dan berkeyakinan orang lain. Mereka menjalankan dan menyebarkan keyakinan dan agama mereka di ruang publik, tetapi bisa lalai menghormati keyakinan dan pemahaman agama yang berbeda di dalam dan di luar agama mereka.
Kerukunan sering dijadikan alasan orang atau kelompok untuk tidak boleh menafsirkan atau menjalankan agama yang berbeda dengan pemahaman dan praktik penganut agama kebanyakan atau arus utama. Atas nama nilai-nilai agama arus utama, orang tidak boleh berbeda dalam memahami nilai-nilai agama yang sama meskipun tidak terbukti merugikan dan membahayakan kepentingan umum. Kebebasan beragama berarti sukarela, tanpa pemaksaan, dan sesuai pikiran dan hati nurani.
Sejatinya negara mengakui dan jika memang mendukung pembangunan agama dan moral masyarakat, negara harus mendukung pembangunan semua agama dan keyakinan di masyarakat, termasuk masyarakat adat, penghayat kepercayaan, dan individu dan kelompok yang bukan bagian dari agama dan keyakinan yang resmi.
Pendekatan kekuasaan atau keamanan bisa dilakukan sesuai dengan bentuk kasus yang menuntut penyelesaian hukum. Jangan sampai pendekatan keamanan terhadap kelompok-kelompok tertentu justru menimbulkan benih-benih kekerasan lainnya atau menambah dukungan bagi kelompok-kelompok intoleran.
Pendekatan HAM juga harus dilakukan, dengan berbagai perangkat aturan dan upaya advokasi dan pendampingan, sesuai dengan konteks masing-masing.
Lebih-lebih, sangatlah penting pendekatan berbasis kepentingan, kepentingan semua pihak terkait, melalui komunikasi dan dialog dari hati ke hati, berdasarkan kearifan lokal, bukan mencari pemenang, melainkan penyelesaian konflik yang menyeluruh dan berkesinambungan. Harus dipastikan pemenuhan hak-hak semua pihak agar konflik serupa tidak lagi terjadi di kemudian hari.
Selain itu, penitikberatan pada hak-hak komunal sering melupakan sisi kemuliaan manusia (human dignity). Dalam agama-agama, ada ajaran tentang kemuliaan manusia sebagai individu selain sebagai makhluk sosial.
Pendidikan kewargaan janganlah mengendor.
Manusia sejatinya dihargai sebagai manusia, terlepas dari agama, suku, ras, jenis kelamin, dan identitas-identitas lainnya. Peran agama sangatlah penting dalam membersihkan hati dan memperbaiki perilaku manusia yang gampang salah dan buruk dampaknya dalam kehidupan diri dan sesama.
Pendidikan kewargaan janganlah mengendor. Janganlah dunia pendidikan berhenti menanamkan sikap menghargai sesama dan pola berpikir dan bertindak yang baik dan adil. Pentingnya pemahaman atau literasi kewargaan (civic literacy) ini seiring dengan pentingnya literasi keagamaan (religious literacy).
Pendidikan keagamaan yang luas dan tepat mengajarkan keterbukaan dalam perbedaan dan keragaman, menyejukkan hati dan pikiran, dan mengutamakan cinta dan persahabatan, bukan kebencian dan permusuhan.
Selain menyelesaikan kasus demi kasus keragaman dan kebebasan beragama yang masih telantarkan hingga hari ini, negara dan masyarakat janganlah lelah bekerja, menjamin, dan mengelola kehidupan beragama dan berkeyakinan secara menyeluruh, adil, dan setara.
(Muhamad Ali, Associate Professor Kajian Islam dan Agama-agama, University of California, Riverside)