Saat bursa saham menanjak, mencari keuntungan memang mudah. Beda ketika pasar sedang anjlok atau mendatar. Kesalahan investor pemula, tidak ”investasi di kepala” dulu agar terhindar dari kerugian dan bisa ”cuan”.
Oleh
Joice Tauris Santi
·3 menit baca
Kenaikan bursa saham yang naik pesat setelah sempat melorot pada awal pandemi Maret lalu menarik minat banyak orang, khususnya investor ritel. Ini terbukti dari kenaikan pesat jumlah investor ritel.
Pada saat bursa menanjak seperti ini, mencari keuntungan di bursa memang relatif lebih mudah ketimbang ketika pasar saham sedang anjlok atau bergerak mendatar saja.
Kenaikan jumlah investor memberikan pertanda semakin banyak orang tertarik untuk berinvestasi demi menata masa depan dengan lebih baik. Di sisi lain, pengetahuan dan keterampilan para investor ritel ini juga perlu ditingkatkan agar tidak hanya ikut-ikutan berinvestasi. Apalagi belakangan ada orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas mumpuni dalam berinvestasi, tetapi mengarahkan publik untuk membeli saham tertentu, tanpa didasari oleh analisis.
Ada beberapa kesalahan umum yang dilakukan para investor pemula yang baru masuk ke dunia investasi, khususnya saham. Bisa jadi, ada sebagian investor tergiur karena mendengar cerita dari teman-temannya bahwa berinvestasi di pasar modal cepat cuan atau untung.
Bayangkan saja, beberapa saham dapat naik hingga 3 persen dalam satu hari. Tentu jauh lebih tinggi jika dibandingkan tingkat imbal hasil deposito. Apalagi jika emiten-emiten tersebut sedang mengalami perubahan, seperti diakuisisi, mengakuisisi, atau disuntik modal. Dalam satu hari, kenaikan harganya bisa saja lebih dari 3 persen.
Sayangnya, motivasi mendapatkan untung besar ini terkadang tidak dibarengi dengan ”investasi di kepala”. Sering terdengar pertanyaan dari para investor pemula: hari ini beli saham apa? Grup mana yang memberi saham pilihan (stock pick)? Atau pertanyaan seperti bolehkah beli saham xxx di harga Rp yyy? Padahal, strategi dan gaya investasi investor tersebut bisa jadi berbeda dengan strategi dan gaya investasi orang yang memberikan stock pick.
Pertanyaan seperti itu seharusnya tidak muncul ketika para investor pemula sudah mempersiapkan diri dengan berinvestasi terlebih dahulu di kepalanya. Menggali informasi pada laman Bursa Efek dan laman perusahaan sekuritas dapat menjadi salah satu langkah pertama.
Selain itu, mengikuti kelas-kelas yang diselenggarakan berbagai institusi, seperti perusahaan sekuritas atau komunitas saham. Salah satu hikmah pada masa pandemi ini, banyak kelas saham diselenggarakan secara daring dengan biaya yang lebih murah ketimbang kelas tatap muka karena tidak ada biaya sewa hotel dan konsumsi. Kelas-kelas saham ada yang dibanderol dengan harga Rp 200.000-an saja. Beberapa sekuritas juga menyelenggarakan kelas gratis untuk para nasabahnya.
Ilmu yang wajib diketahui oleh investor pemula dalam berinvestasi saham setidaknya dapat membaca candle stick atau menentukan garis harga rerata saham dalam periode tertentu.
Rencana perdagangan
Karena tidak memiliki pengetahuan dasar tentang transaksi saham, tidak sedikit investor pemula yang masuk ke pasar saham tanpa membuat rencana perdagangan terlebih dahulu. Hanya berpaku pada running trade atau transaksi saham di bursa saja. Saham apa yang ramai diperdagangkan, itulah yang dibeli. Atau ikut membeli saham karena ada rekomendasi dari grup-grup saham di aplikasi Telegram atau Instagram.
Padahal, tanpa ada rencana perdagangan, sulit menentukan kapan masuk dan kapan keluar dari saham tersebut. Dengan rencana perdagangan, seorang investor sudah menentukan kapan akan mengambil untung atau menjual rugi saham yang diincarnya sebelum membeli saham.
Tanpa rencana perdagangan dan tidak mengetahui pengetahuan dasar analisis teknikal, seperti membaca candle dan garis rerata harga saham (moving average), terkadang investor pun terlalu cepat menjual sahamnya. Sebaliknya, jika saham turun terus malah dibiarkan karena berharap saham akan cepat naik. Padahal, dari candle yang ditampilkan, harga saham tersebut sedang meluncur turun.
Ketika para investor pemula tidak mempersiapkan diri dengan berinvestasi di kepala, tidak mau belajar, hanya mengandalkan saham pilihan orang, dan pada akhirnya tidak berhasil mendapatkan keuntungan dari pasar saham, lalu mulai menyalahkan orang lain. Mengatakan bahwa bursa saham kejam, bandar jahat, atau investor kecil selalu dikorbankan. Lalu, kapok tidak mau lagi berinvestasi.