Memori Konflik Agama dan Politik Identitas
Dampak memori konflik Ambon masih terasa. Pembangunan karakter generasi muda yang pluralis menjadi solusinya.
Indonesia merupakan wilayah dengan ribuan gugusan pulau dengan ragam corak ras, suku, dan agama. Dalam konteks sosial multireligius dewasa ini terdapat enam agama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu. Meski demikian, Indonesia memiliki catatan sejarah yang tragis konflik antarkelompok agama.
Konflik bernuansa agama di Kota Ambon, antara kelompok Islam dan Kristen, beberapa tahun lalu, misalnya, memiliki rangkaian skenario yang cukup panjang. Konflik ini menghancurkan keharmonisan masyarakat, kematian, pembakaran fasilitas umum, dan gedung ibadah agama Islam-Kristen. Hal ini seyogianya menjadi tanggung jawab negara.
Dampak memori konflik agama
Agama di Indonesia dalam kerangka paradigma Islam ataupun Kristen merupakan sistem kepercayaan yang mengajarkan kasih. ”Kasih itu dinamis, bukan narsis” sehingga seyogianya para pemeluk agama tidak memandang satu agama yang paling benar sampai tidak peduli keberadaan agama lain.
Indonesia dengan segala kekurangannya, masyarakat mesti menjaga keutuhannya. Dalam konsep pluralisme, pemeluk agama sudah tentu tidak mesti memaksa doktrinisasi. Indonesia butuh pemikir agama yang mampu menciptakan paradigma modal sosial. Berikut ini menjelaskan dampak memori konflik bernuansa agama pada dua generasi berbeda:
Baca juga: 25 Tahun Konflik Maluku, Perdamaian Terus Dirawat
Dampak yang paling radikal pascakonflik, yaitu fobia terhadap agama yang berbeda dapat terjadi akibat segregasi wilayah, ini telah terjadi di Kota Ambon. Peristiwa konflik tetap membekas dalam memori setiap individu yang terdampak langsung.
Pada bagian ini penulis melihat bahwa ada dua kategori, pertama, generasi yang terdampak langsung, dan kedua, generasi yang mendengar cerita tentang konflik. Dapat dilihat generasi terdampak langsung cenderung sulit melupakan memori konflik (mendengar tembakan, tangisan, darah, dan kematian).
Konflik di Kota Ambon secara psikis pada awal setelah konflik melahirkan kristianofobia dan islamofobia, yang secara spesifik dialami oleh generasi yang terlibat secara langsung. Fobia terhadap dua agama yang berseteru dialami generasi yang terlibat secara langsung mengakibatkan terbentuk masyarakat yang sering kali waspada.
Menarik terkait segregasi, Ansori dkk dalam bukunya menuturkan adanya mekanisme relokasi pengungsi berawal dari kebijakan yang ditawarkan pemerintah sebagai bagian dari solusi, yaitu kembali ke daerah asal, relokasi, atau menetap di pengungsian.
Di antara opsi tersebut, relokasi merupakan pilihan utama para pengungsi pada saat itu. Relokasi tersebut mengakibatkan masyarakat secara tidak langsung tersegregasi. Para pengungsi terdampak konflik cenderung memilih tempat tinggal yang berdekatan dengan komunitas yang memiliki identitas yang sama dengan mereka (Ansori et al, 2014).
Sejalan dengan Ansori, Braithwaite dkk mengatakan bahwa pascakonflik, real estate menjadi salah satu tantangan. Wilayah di Ambon akan menjadi lebih tersegregasi misalnya, ada warga Kristen yang membeli banyak rumah dari warga Muslim yang meninggalkan wilayah mayoritas Kristen dengan harga yang sangat rendah, kemudian menjualnya kepada warga Kristen yang lainnya (Braithwaite et al, 2010, p 160).
Pascakonflik hampir seluruh elemen bersinergi untuk membangun perdamaian antarkonflik agama Islam-Kristen di Kota Ambon.
Penulis melihat segregasi di Kota Ambon merupakan siklus dari fobia memori konflik. Segregasi pasca-konflik, bukan hanya bagian dari setting politik wilayah pemerintah daerah, melainkan kesadaran adaptif masyarakat pasca konflik, sebab kelompok yang memilih untuk berelokasi, sebagian besar merupakan masyarakat pendatang yang sejak pra-konflik telah bermukim di Kota Ambon.
Berbeda halnya dengan masyarakat lokal yang wilayahnya berada di Pulau Ambon. Pascakonflik sebagian pengungsi telah kembali ke wilayah mereka walapun memerlukan waktu yang cukup lama untuk menerima konflik masa lalu hingga memiliki keberanian untuk kembali ke wilayah asal mereka. Bahkan, ada keluarga yang tidak keluar meninggalkan tempat tinggal.
Pascakonflik hampir seluruh elemen bersinergi untuk membangun perdamaian antarpemeluk agama Islam-Kristen di Kota Ambon. Secara umum memori atas konflik dan kekerasan berada pada wilayah antara sejarah dan psikologi, antara mengingat dan melupakan pengalaman pahit antara pilihan mengampuni atau tidak mengampuni para pelakunya (Subanar, 2016).
Menurut saya, konflik memberi banyak kesan beragam terhadap individu yang mengalami dampak langsung sehingga pada awal pascakonflik ada sebagian yang menerima dan belum menerima. Namun, yang menarik, dalam sebuah wawancara dengan salah seorang pemuda yang menjadi korban konflik, dia mengatakan ayahnya meninggal ketika konflik. Meskipun demikian, dia tidak membenci peristiwa tersebut karena kejadiannya telah lama berlalu.
Dapat dilihat bahwa memori konflik tak terelakkan dalam kenangan sejarah masa lalu individu, tetapi individu akan menerima dan mencoba melupakan. Upaya perdamaian di Kota Ambon seyogianya menjadi tanda bahwa masyarakat Islam-Kristen Ambon secara individu telah melewati batasan segregasi yang selama konflik membelenggu mereka.
Hal ini dapat dilihat ketika pertikaian pada 2011, ketika beberapa wilayah mulai memanas, tetapi ada beberapa wilayah yang tidak ikut campur, misalnya di masyarakat Negeri Passo (Kristen) dan Negeri Tulehu-Liang (Islam). Masyarakat Negeri Tulehu-Liang tetap melaksanakan aktivitas di wilayah Negeri Passo. Dengan demikian, memori kekerasan masa konflik akan memudar seiring berjalannya waktu karena masa kepahitan tetap sirna seiring kesadaran kolektif seluruh elemen masyarakat.
Upaya perdamaian di Kota Ambon seyogianya menjadi tanda bahwa masyarakat Islam-Kristen Ambon secara individu telah melewati batasan segregasi yang selama konflik membelenggu mereka.
Membangun sejarah damai di masa depan merupakan langkah paling tepat terhadap generasi muda di Kota Ambon. Dapat dilihat bahwa sasaran untuk membangun karakter pluralisme generasi masa depan harus dari masyarakat. Paradigma nilai solidaritas harus terus dikembangkan. Hal demikian untuk mencegah dampak pasca-konflik sehingga melahirkan karakter generasi muda yang cinta damai.
Mengutip Van Klinken dalam buku carita Orang Basudara (Manuputty et al, 2014), ”Cerita-cerita perang saudara di Ambon harus diungkapkan di depan publik. Namun demikian, lebih tepat bila ungkapan cerita memorial konflik ini perlu difasilitasi dalam lembaga pendidikan formal-non formal, agar lebih bertanggung jawab secara akademis, sebab sasaran fokus kepada generasi muda dengan klasifikasi tahun kelahiran 1999-2000-an yang belum terpapar trauma secara langsung.”
Dalam konteks sosial multireligius (Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu) Indonesia, sering kali lahir para aktor, kelompok radikal pengganggu kestabilan harmonisasi agama di Indonesia. Isu agama memang sangat krusial di Indonesia pascakonflik agama di Maluku.
Sensitivitas agama memicu para tokoh agama dan pemerintah bersinergi memerangi provokator agama. Peran terpadu agama dan pemerintah terafiliasi melalui dialog agama yang menjadi ruang perjumpaan dalam menjaga keutuhan lintas agama sebagai bentuk rekonsiliasi dan edukatif. Menurut saya, caranya adalah membangun imagine peace (bayangan damai) sebagai narasi perdamaian.
Baca juga: Agama dan Konflik Sosial
Dewasa ini lembaga agama (Islam-Kristen) telah melakukan tanggung jawabnya, tetapi belum berfokus pada sistem jejaring yang sistematis. Dengan demikian, upaya gerakan perdamaian yang dilakukan oleh lembaga agama mesti memberi ruang jejaring yang luas. Selama ini lembaga agama merepresentasikan hubungan sosial dengan audiens yang tergolong dalam skala kecil tertentu sehingga perlu disadari minimnya interaksi sosial yang beragam antarindividu atau kelompok.
Secara umum, lembaga agama perlu melihat bahwa generasi masa depan memerlukan asupan spirit pluralisme, maka hal itu yang perlu menjadi dasar pergerakan perdamaian generasi masa depan. Spirit pluralisme secara khusus berfokus membangun karakter generasi muda yang tidak terdampak langsung pada masa konflik untuk dapat memahami agama lain.
Revaldo Pravasta Julian MB Salakory, Pendeta Gereja Protestan Maluku