Memahami Fenomena Depresi di Kalangan Peserta Pendidikan Dokter Spesialis
Benarkah angka keinginan mahasiswa PPDS melukai diri sendiri, bahkan keinginan bunuh diri, sebanyak itu?
Dari hasil penapisan atau skrining yang diungkapkan Kementerian Kesehatan, sebanyak 22,4 persen mahasiswa program pendidikan dokter spesialis atau PPDS, yang juga sering disebut dengan istilah residen, terdeteksi mengalami gejala depresi. Sebanyak 3,3 persen atau 399 orang bahkan mengaku lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri (Kompas, 16/4/2024).
Survei dilakukan terhadap 12.121 mahasiswa PPDS pada 21, 22, dan 24 Maret 2024 di rumah sakit vertikal. Lebih jauh dirinci, gejala depresi minimal (skor 1-4 = 41,7 persen), depresi ringan (5-9 = 16,3 persen), depresi sedang (10-14 = 4 persen), gejala depresi sedang-berat (15-19 = 1,5 persen), gejala depresi berat (20-27 = 0,6 persen), tak ada gejala (0 = 35,9 persen).
Benarkah sebesar itu angka prevalensi untuk depresi? Benarkah angka keinginan melukai diri sendiri, bahkan keinginan bunuh diri, sebanyak itu? Mari lihat beberapa data.
Baca juga: Depresi, 3,3 Persen Calon Dokter Spesialis Ingin Akhiri Hidup atau Lukai Diri
Baca juga: Depresi pada Mahasiswa
Dauglas A dalam JAMA, 8 Desember 2015, melakukan penelitian dengan judul ”Prevalence of Depression and Depressive Symptoms Among Resident Physicians: A Systematic Review and Meta-analysis”, yang menyimpulkan bahwa perkiraan dari prevalensi depresi atau gejala depresi di kalangan residen adalah 28,8 persen. Angkanya berkisar 20,9-43,2 persen, tergantung pada instrumen yang digunakan, dan meningkat seiring tahun kalender.
Lebih jauh diperlukan penelitian lanjutan untuk mengidentifikasi strategi efektif untuk mencegah dan mengobati depresi di kalangan dokter dalam pendidikan dokter spesialis.
Di media daring Kemenkes Sehat Negeriku edisi 7 Oktober 2021, Plt Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes dr Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan bahwa berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Selain itu, berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016, diperoleh data bunuh diri per tahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada lima orang melakukan bunuh diri, serta 47,7 persen korban bunuh diri adalah pada usia 10-39 tahun atau merupakan usia anak remaja dan usia produktif.
Dari perbandingan data di atas, kita melihat bahwa angka kejadian depresi pada residen sebagai hasil survei Kemenkes sebesar 22,4 persen masih lebih rendah dibandingkan dengan kejadian depresi di luar negeri yang mencapai 28,8 persen, demikian juga angka keinginan bunuh diri.
Penyebab depresi
Setelah dirilisnya hasil skrining terkait kesehatan jiwa peserta didik program spesialis, beberapa pemangku kebijakan bahkan dengan tegas mengatakan perlunya evaluasi terkait sistem pendidikan dokter spesialis. Akan tetapi, apakah hal ini berarti harus dilakukan perubahan sistem pendidikan?
Tidakkah seharusnya kita menggali lebih dalam penyebab depresi pada mahasiswa PPDS terlebih dahulu untuk mendalami akar permasalahan dan memiliki data yang komprehensif sebelum melakukan evaluasi sistem pendidikan?
Studi Chen et al (2022) menunjukkan, neurotisisme, lingkungan keluarga, dan status lajang merupakan salah satu faktor risiko depresi di AS. Sementara usia muda merupakan prediktor utama depresi di China. Jam kerja panjang dan kurangnya durasi tidur muncul sebagai prediktor depresi di kedua negara. Ini menunjukkan perlunya perbaikan sistem pendidikan dokter yang lebih efektif.
Depresi sering kali menyebabkan tingkat kecemasan tinggi dan tingkat stimulasi rendah, yang dapat mengarah pada penurunan kinerja dalam konteks belajar-mengajar.
Perlu diketahui, mayoritas hasil survei ini didapatkan melalui inventarisasi laporan mandiri yang mengukur gejala depresi dan bukan melalui gold standard interview untuk diagnosis gangguan depresi.
Beberapa langkah preventif telah dilakukan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya dengan pengenalan program wellness dan program pendukung lain, seperti penyediaan psikiatri yang dilakukan di Ohio, AS.
Akan tetapi, respons dari mahasiswa PPDS menunjukkan bahwa program terkait tak sepenuhnya membantu. Hal ini karena adanya stigma di kalangan mahasiswa PPDS bahwa mereka merasa takut untuk terlihat kurang kompeten dibandingkan dengan kolega yang lain (Levy et al, 2019).
The Accreditation Council for Graduate Medical Education dan European Working Time Directive mengambil langkah prevensi lain dengan cara menurunkan jam kerja dan memperbaiki lingkungan kerja (Mata et al, 2015).
Langkah ini menunjukkan peningkatan kesadaran komunitas medis global terhadap depresi di lingkungan pendidikan PPDS. Studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk menentukan faktor determinan dan tahap mahasiswa PPDS mengalami depresi sehingga bisa dilakukan langkah preventif yang lebih spesifik untuk mencegah depresi di kalangan mereka.
Dampak pada proses belajar
Depresi dapat memiliki dampak yang signifikan pada proses belajar-mengajar. Ada beberapa mekanisme yang bisa menjelaskan, di antaranya melalui aktivasi respons fight or flight yang terjadi dalam sistem saraf saat seseorang mengalami stres atau kecemasan berlebihan.
Ketika seseorang mengalami depresi, sistem sarafnya dapat menjadi teraktivasi secara berlebihan, terutama amigdala, area otak yang terlibat dalam pengolahan emosi dan pengambilan keputusan cepat.
Aktivasi berlebihan ini dapat mengarah pada respons fight or flight, yang pada gilirannya dapat mengganggu proses berpikir yang lebih tinggi (high order thinking skills), seperti yang terjadi di neokorteks.
Proses belajar dan pengajaran membutuhkan keterlibatan neokorteks, yang terlibat dalam pemrosesan informasi yang kompleks, analisis, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan.
Namun, jika seseorang mengalami depresi yang memicu respons fight or flight, fokusnya akan beralih pada pengalaman emosional yang intens dan pemikiran yang lebih sederhana, menghambat kemampuan mereka untuk belajar secara efektif. Stimulasi negatif dari lingkungan dianggap sebagai ancaman yang memicu reaksi cepat, tetapi tak akurat oleh amigdala.
Selain itu, depresi juga dapat menyebabkan gangguan konsentrasi, kelelahan, dan hilangnya minat pada aktivitas yang biasanya menyenangkan atau bermanfaat. Semua ini dapat menghambat kemampuan seseorang untuk fokus dan terlibat sepenuhnya dalam proses belajar-mengajar.
Setelah dirilisnya hasil skrining terkait kesehatan jiwa peserta didik program spesialis, beberapa pemangku kebijakan bahkan dengan tegas mengatakan perlunya evaluasi terkait sistem pendidikan dokter spesialis.
Teori Yerkes-Dodson mengusulkan hubungan antara tingkat stimulasi atau kecemasan dan performa kognitif atau motorik. Secara umum, teori ini menyatakan bahwa kinerja individu akan meningkat seiring dengan peningkatan stimulasi atau kecemasan hingga mencapai titik optimal, tetapi akan menurun setelahnya.
Dalam konteks depresi, tingkat kecemasan atau stres yang tinggi dapat menyebabkan individu mengalami kesulitan dalam proses belajar dan mengajar. Depresi sering kali menyebabkan tingkat kecemasan tinggi dan tingkat stimulasi rendah, yang dapat mengarah pada penurunan kinerja dalam konteks belajar-mengajar.
Pada tingkat kecemasan yang rendah, individu mungkin kehilangan minat, motivasi, dan energi untuk terlibat sepenuhnya dalam proses belajar atau mengajar. Sebaliknya, tingkat kecemasan yang tinggi dapat menyebabkan gangguan kognitif, kesulitan konsentrasi, dan penurunan performa kognitif.
Jadi, dalam hal ini, depresi dapat menghasilkan kurva Yerkes-Dodson (U terbalik), yang mana tingkat kecemasan rendah dan sangat tinggi karena depresi dapat menyebabkan penurunan performa dalam proses belajar dan mengajar.
Oleh karena itu, penting untuk mengelola dan mengobati depresi dengan tepat. Selain itu, penting bagi dosen, individu, dan institusi dapat mengidentifikasi hal ini untuk mencari manajemen yang tepat agar dapat meminimalkan dampak negatifnya pada proses belajar dan mengajar.
Budi Santoso, Ketua Asosiasi Pendidikan Kedokteran Indonesia