Joko Pinurbo dan Kegelisahan Eksistensialnya
Inti sari proses kreatif Joko Pinurbo dapat kita tangkap pada kedalaman kontemplasi di dalam karya-karyanya,
Akhirnya kabar duka itu datang juga. Joko Pinurbo (61), penyair flamboyan Indonesia yang sangat produktif itu, meninggal setelah cukup lama terbaring lemah karena penyakit paru-paru yang menggerogoti tubuhnya yang rapuh.
Joko Pinurbo (Jokpin) pergi meninggalkan sekitar 20 antologi puisi yang akan tetap dinikmati dan diapresiasi masyarakat sastra Indonesia. Karya-karyanya mendapat banyak penghargaan dan prestasi di tingkat nasional dan internasional.
Jokpin seperti menyusul penyair dan novelis Yudhistira ANM Massardi (70) yang meninggal pada 2 April 2024. Ada semacam relasi khusus antara Jokpin dan Yudhistira. Ketika duduk di bangku sekolah menengah, di pengujung dekade 70-an, Jokpin sangat menggemari sajak-sajak karya penyair Yudhistira yang bernuansa mbeling dengan tipikal liris. Jokpin begitu terkesan akan gaya penulisan puisi ”baru”, yang seolah-olah melawan model estetika standar yang cenderung serius seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan WS Rendra.
Kesederhanaannya dalam memilih kata dan tema sesungguhnya membungkus kegelisahan eksistensialnya yang mendalam tentang kehidupan, yang dalam pandangan penyair merupakan saudara kembar dari kematian.
Kumpulan Sajak Sikat Gigi, salah satu buku yang dikagumi Jokpin, menampilkan imaji yang semi-surealis tetapi logis. Bagi Jokpin, metafora dalam puisi-puisi Yudhistira itu segar dan inspiratif. Yang mengejutkan Jokpin adalah ternyata puisi bisa diselipkan unsur-unsur anekdot dan simbol-simbol yang komikal tanpa takut kehilangan alusi. Jokpin mengisyaratkan bahwa karya Yudhistira adalah salah satu inspirasi utamanya.
Baca juga: Joko Pinurbo dan Keindahan dalam Dunia Sehari-hari
Jokpin merupakan salah satu penyair penting yang memiliki tempat tersendiri di dalam sejarah sastra Indonesia. Karyanya mendapat tanggapan yang luas dari berbagai kalangan pembaca. Ia menyerap dan berguru pada banyak penyair, seperti Chairil Anwar, Amir Hamzah, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Yudhistira, dan masih banyak lagi. Meski demikian, dia memiliki tempat tersendiri sebagai seseorang dengan pengucapan dan pilihan tema yang sangat khas.
Kesederhanaannya dalam memilih kata dan tema sesungguhnya membungkus kegelisahan eksistensialnya yang mendalam tentang kehidupan, yang dalam pandangan penyair merupakan saudara kembar dari kematian. Kegelisahan eksistensial yang mewarnai hampir semua karyanya inilah yang membedakan Jokpin dari penyair lainnya di Indonesia.
Humor ke filsafat
Kehadiran Jokpin dalam jagat perpuisian Indonesia diawali dengan humor-humor yang ringan menggelitik tentang tubuh dan aksesori yang dikenakan tubuh (sarung, celana, jins) serta tempat-tempat yang sering dikunjungi atau dibutuhkan oleh tubuh (kamar mandi, kuburan, dapur, ranjang, iklan, pacar, telepon genggam, kopi, dan kenangan yang melekat pada tubuh dan jiwa seseorang). Dua antologi puisinya yang pertama, Celana (1999) dan Di Bawah Kibaran Sarung (2001), sangat kental berisi puisi-puisi yang memuat obsesi penyair tentang tubuh dan aksesori tubuh itu.
Dalam kata pengantar untuk kumpulan Di Bawah Kibaran Sarung, Ignas Kleden (2001: xi) menyoroti satu aspek yang dianggapnya dominan dalam jagat perpuisian Jokpin, yakni kiasan badan: tubuh manusia dan alat kelaminnya, tanpa ”membawa penyairnya kepada suatu denotasi badan yang dapat berefek pornografis”.
Baca juga: Kamus Kecil oleh Joko Pinurbo
Tulis Kleden, pada Jokpin, badan mendapat sorotan utama, diselidiki dengan renungan yang intens dan diberi peran ganda, baik sebagai penanda maupun sebagai petanda. Kleden melihat demikian intensnya Jokpin terobsesi dengan tubuh manusia dalam permenungannya. Berbeda dengan sastrawan lainnya, tubuh bagi Jokpin bukan sekadar setting atau medium, melainkan juga message itu sendiri. Tubuh membawa pesan eksistensial tentang kehidupan sekaligus kematian.
Banyak puisi mbeling yang berhenti pada gaya humor, guyon, lucu-lucuan. Dengan kata-kata seadanya, pendalaman dan internalisasi terhadap substansi kehidupan manusia menjadi sumir. Penggunaan bahasa sehari-hari untuk membahas persoalan yang juga dihadapi setiap manusia dalam kesehariannya tidak menghentikan Jokpin mengungkapkan kegelisahan eksistensialnya yang mendalam.
Ketika masyarakat merayakan kesenangan duniawi dan kenikmatan badaniah, Jokpin mengingatkan tentang kesementaraan dan kefanaan.
Dalam wawancaranya dengan Hamzah Muhamad, Jokpin menegaskan prinsip penulisan kreatifnya di tengah kegalauan kultural yang disebabkan perkembangan ilmu, teknologi, dan pembaruan nilai. Kata Jokpin, ”Kegelisahan saya muncul. Tantangannya, bagaimana agar pengarang/penulis tidak sampai kehilangan kontemplasinya dalam menulis, supaya karyanya tidak sekadar lewat. Sebab, di dunia maya, orang-orang seperti mabuk oleh keasyikannya sendiri. Keadaan yang melenakan ini amat berbahaya.”
Baca juga: Joko Pinurbo, Penyair Humoris Itu Meninggal
Jika kita uji pandangan Jokpin tentang kedalaman kontemplasinya di dalam karya-karyanya, kita akan menemukan inti sari dari semua proses kreatifnya, yaitu kegelisahan eksistensial. Tema-tema dominan di dalam puisinya, seperti tubuh, burung, celana, ranjang, ibu, pacar, sarung, toilet, mandi, dan kuburan (hal yang sepele, remeh, dan sehari-hari) justru selalu ditempatkan dalam oposisinya dengan maut dan kematian. Dengan kata lain, maut dan kematian justru hadir dan menyamar di dalam keseharian hidup manusia. Bukankah hal ini sangat mengganggu eksistensi kita sebagai manusia? Pada Jokpin, fenomena ini membawanya ke dalam kondisi kegelisahan eksistensial akut.
Karena itu, puisi-puisi Jokpin tidak hanya merupakan kebudayaan seismografi—seperti dikatakan Ignas Kleden—tetapi lebih dari itu dia menjadikan puisi-puisinya sebagai peredam kebudayaan hedonistik. Ketika masyarakat merayakan kesenangan duniawi dan kenikmatan badaniah, Jokpin mengingatkan tentang kesementaraan dan kefanaan. Tubuh yang selama ini merepresentasi kegenitan masyarakat, pada Jokpin justru mengekspresikan kengerian, keengganan, penyesalan, sekalipun dia juga menaruh penghormatan atas tubuh dan dunia yang ia hadapi.
Dengan kepergian Jokpin, dunia sastra Indonesia kehilangan salah satu penyair besar yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah pemikiran pembacanya. Karya-karyanya akan tetap dikenang dan diapresiasi karena keunikannya dalam menyampaikan kegelisahan eksistensial melalui bahasa yang sederhana tetapi dalam. Semoga karyanya menjadi inspirasi bagi generasi penyair dan pembaca sastra Indonesia selanjutnya.
Yoseph Yapi Taum,Penyair dan Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta