logo Kompas.id
PerjalananTerapi Teh di Perkebunan Teh...
Iklan

Terapi Teh di Perkebunan Teh Jawa Barat

Menjelajahi perkebunan teh saat Ekspedisi Teh Nusantara Kompas terasa seperti menjalani sebuah terapi. Ekspedisi ini juga menyadarkan kami betapa kayanya teh Nusantara.

Oleh
Moahammad Hilmi Faiq dan Winarso
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/9hmdqZ1PFvNc527o_Uu3sSneDBo=/1024x631/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F20200123MHF1_1579756536.jpg
KOMPAS/MOHAMMAD HIMI FAIQ

Jurnalis Kompas saat observasi dan wawancara pemetik teh putih di kebun Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Kabupaten Bandung.

Menjelajahi perkebunan teh seperti menjalani terapi. Setidaknya itu yang kami rasakan ketika survei perkebunan teh di Kabupaten Bandung pada Mei tahun lalu. Persepsi serupa masih demikian kuat ketika kami, tim Ekspedisi Teh Nusantara, menjelajah selama sembilan hari ke Jawa Barat pada 19-27 Juni 2019.

Tim kami terdiri dari reporter, fotografer, videografer, tenaga infografik, dan peneliti. Semua berjumlah tujuh orang. Kami berangkat dari Menara Kompas, Jakarta, pada Rabu (19/6) pagi hari dengan menggunakan dua mobil. Tujuan kami adalah Kantor PT Perkebunan Nusantara VIII di Kota Bandung, sekitar 149 kilometer dari Menara Kompas. Jalanan relatif lancar, tetapi sedikit tersendat ketika di Cikampek, yang memang sudah kami duga.

Sekitar pukul 11.30, kami tiba di Kantor PTPN VIII. Setelah mengambil surat izin, kami meneruskan perjalanan. Surat izin ini menjadi semacam senjata bagi tim kami untuk dapat masuk dan menggali data dari beberapa perkebunan yang ada di bawah naungan PTPN VIII. Meskipun demikian, ada saja otoritas perkebunan yang tidak begitu terbuka kepada kami. Ya sudahlah tak mengapa.

https://cdn-assetd.kompas.id/ezkQ_Lk6pmw5_IGRwntzlWZ8Z9A=/1024x620/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F20200123Rian4_1579756546.jpg
KOMPAS/RIAN SEPTIANDI

Wartawan, videografer, dan fotografer meliput di kebun teh Gambung.

Setelah makan siang di Bandung, kami meluncur ke Museum Prabu Geusan Ulun di Kabupaten Sumedang, sekitar 78 kilometer dari Bandung. Museum ini sebenarnya tidak secara langsung bersinggungan dengan teh. Namun, inilah museum yang menyimpan Gamelan Sari Oneng, yakni gamelan yang pernah keliling eropa dalam rangka promosi teh Jawa Barat.

Sore itu, kami ditunjukkan koleksi gamelan yang relatif masih utuh. Sayangnya, sedang tidak ada pertunjukan sehingga gambar yang kami dapat relatif hambar. ”Minggu tanggal 23 ada latihan gamelan dan menari. Rasanya cocok dengan kebutuhan Akang-akang,” kata Rodiah, petugas museum.

Baca juga: Ekspedisi Teh Nusantara

Kami setuju dengan usul tersebut dan menjadwal untuk datang kembali ke Museum Prabu Geusan Ulun. Setelah mendiskusikan detail rencana peliputan pada Minggu tanggal 23 nanti, kami izin bertolak. Kebetulan hari mulai petang, sementara tujuan kami selanjutnya masih lumayan jauh, yakni Pusat Penelitian Teh dan Kina di Gambung, Pasir Jambu, Kabupaten Bandung. Bila diukur, jarak tempuhnya sekitar 85 kilometer.

https://cdn-assetd.kompas.id/GGrNq3Gv5b_2ARRe6u5Qh34zuoU=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F20200123MHF2_1579756539.jpg
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ

Mengabadikan pemetikan.

Kami sadar, semepet apa pun waktu saat di Sumedang, jangan sampai lupa membeli tahu. Kami memborong sekitar 100 potong tahu berikut lontongnya. Tahu sumedang yang renyah sekaligus juicy itu menjadi obat mujarab menghilangkan penat saat kami membelah kemacetan Sumedang hingga memasuki Tol Padaleunyi.

Kami bertolak ke penginapan di Pusat penelitian Teh dan Kina, Gambung. Jaraknya sekitar 88 kilometer dari Sumedang. Hari mulai gelap saat kami meninggalkan Sumedang. Kami sempat makan malam di Soreang sebelum tiba di penginapan sekitar pukul 21.00.

Nundang (52), petugas wisma, sudah menyiapkan penginapan berupa rumah peninggalan belanda dengan lima kamar. Di ruang utama yang luas, cukup untuk nenampung sampai 20 orang, terdapat perapian. Penjaga penginapan lalu menyalakan kayu yang sudah dia tumpuk. Kami mengudap makanan kecil diselingi minum teh putih produksi PPTK Gambung, salah satu jenis teh terbaik di dunia. Hangat.

Iklan

Lalu kami berdiskusi ringan tentang rencana detail besok hari, yakni mengikuti proses pemetikan teh putih. ”Besok habis subuh berangkat bareng saya ke kebun bersama para pemetik,” kata Adhi Irianto Mastur, Manajer Kebun PPTK Gambung, yang sempat menemani kami rapat.

https://cdn-assetd.kompas.id/6jrU07lo9nktKkb5PogBCjY3uZ0=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F20200123Rian2_1579756543.jpg
KOMPAS/RIAN SEPTIANDI

Dikerubuti anak-anak di kampung pemetik teh.

Di luar ruangan, suhu berada di bawah 10 derajat celsius. Namun, di dalam ruangan, ponsel mencatat suhu mencapai 26 derajat celsius. Perapian di ruang tamu efektif mengusir dingin sehingga beberapa dari kami memilih tidur di dekatnya.

Menjelang subuh, sebagian memilih pindah ke kamar karena rupanya kayu sudah habis dan perapian hanya meninggalkan bara yang tak cukup ampuh menghalau dingin.

Pagi itu, jalan masih terang tanah ketika sekelompok pemetik sudah berimpitan di mobil angkutan umum menuju kebun. Kami ikut ke tengah kebun, mengobrol, sekadar iseng membantu memetik, atau berfoto-foto. Bahkan, ada yang nimbrung sarapan ketika pemetikan usai.

Meliput para pemetik ini terasa rekreasi. Udara segar, pemandangan indah, dan bertemu orang-orang ramah, sungguh kombinasi yang mahal jika ada di kota. Pagi itu kami bekerja dengan bahagia. Ini lebih mahal lagi.

Jelajah rasa

Agenda padat, waktu yang sempit, menuntut kami berpindah tempat secara efektif dan efisien. Tapi, kami tak lupa untuk menikmatinya. ”Di antara macetnya Tol Cikampek, Mas Faiq menawarkan secangkir teh dengan aroma jagung. Pertama mencicip, rasanya langsung menempel dalam ingatan. Untuk kali pertama, saya bisa menikmati teh tawar dan langsung jatuh cinta. Maklum, saya berangkat dari keluarga yang terbiasa minum teh dengan campuran gula di dalamnya atau orang Jawa biasa menyebutnya nasgitel (panas legi kenthel),” kata Winarso, tenaga infografik yang ikut dalam tim ekspedisi.

https://cdn-assetd.kompas.id/tiZ_ll09ux1ilMKIUK-AA1aVNGI=/1024x625/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F20200123Rian1_1579756541.jpg
KOMPAS/RIAN SEPTIANDI

Menikmati teh putih di kebun teh.

Di hari-hari berikutnya, kami mencicipi beragam teh. Mulai teh putih, teh hitam, teh hijau, sampai teh geulang. Yang terakhir ini jenis teh yang diolah secara tradisional. Aromanya segar rumput, tetapi kuat kesan smoky alias aroma dapur. Ekspedisi ini seperti ekspedisi rasa teh. Ini menyadarkan kami betapa kayanya teh Nusantara. Jadi selain terapi pemandangan juga terapi rasa.

Hingga hari ketiga kami meninap di tiga tempat berbeda. Malam yang tidak bisa kami lupakan adalah ketika kami bermalam di Perkebunan Teh Malabar. Keesokan paginya, Rian Septiandi, videografer, bercerita bahwa semalam dia tidak bisa tidur karena suara denyit tempat tidur yang tidak berhenti. Sekiranya pukul 03.00 WIB kala dia terbangun dan merasa terusik.

Usut punya usut, bukan makhluk gaib yang mengganggunya, tetapi Winarso yang tidur menggigil di sebelah Rian. Suhu saat itu berkisar 5-10 derajat celsius, dinding yang tersusun dari papan kayu tak kuat menahan dingin malam ke dalam kamar. Selimut yang ala kadarnya tak efektif lagi.

https://cdn-assetd.kompas.id/v8RDaFJdOB5lEqDIdaE9dGkWiXQ=/1024x602/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F20200123Rian5_1579756548.jpg
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ

Mengabadikan perkebunan teh.

Kejadian unik lainnya terjadi keesokan harinya ketika kami sudah berpindah ke sebuah penginapan di daerah Rancabali. Lagi-lagi Rian menemukan kejanggalan di pagi hari. Salah satu lampu kabut mobil yang kami kendarai hilang.

Setelah kami mengecek lebih teliti, ternyata lampu kabut tersebut tersodok masuk ke dalam bumper mobil, padahal sebelumnya mobil kami tidak menabrak sesuatu apa pun. Hingga saat Ekspedisi Teh Nusantara ini terbit, kasus lampu kabut itu masih berkabut alias masih misteri.

Editor:
prasetyoeko
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000