Menimbang Independensi Seleksi KPK
Siapa pun pimpinan KPK yang nantinya akan menjabat, publik berharap mereka mampu memperbaiki kinerja lembaga secara optimal, berani memberantas korupsi tanpa pandang bulu, tetap independen, dan tidak dipolitisasi oleh kepentingan tertentu.
Catatan Redaksi: Tulisan ini merupakan hasil dari jajak pendapat Kompas yang dimuat di harian Kompas edisi Senin, 7 September 2015, halaman 5, dengan judul "Menimbang Independensi Seleksi KPK".
Pekan lalu, Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyerahkan delapan nama kepada Presiden Joko Widodo. Proses yang dilakukan panitia seleksi diyakini publik cukup independen. Publik pun optimistis proses ini bisa menghasilkan pimpinan yang mampu memperkuat lembaga anti rasuah tersebut.
Namun, publik harus bersabar sebab para calon unsur pimpinan KPK masih harus menempuh uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada proses seleksi periode sebelumnya, Pansel Capim KPK menggunakan peringkat hasil seleksi. Namun, pada seleksi kali ini, pansel mengelompokkan para calon ke dalam empat bidang: pencegahan, penindakan, manajemen, serta sebuah bidang yang menangani supervisi, koordinasi, dan pemantauan.
Jajak pendapat Kompas pekan lalu mengungkapkan optimisme publik terhadap independensi proses seleksi. Lebih dari separuh responden menilai proses penyaringan delapan nama calon pimpinan KPK yang telah dilakukan pansel berlangsung secara independen. Soal transparansi proses seleksi, sebanyak 44,4 persen responden menyuarakan seleksi yang dilakukan Pansel Capim KPK pun sudah transparan.
Pansel Capim KPK terdiri atas sembilan perempuan yang berasal dari berbagai kalangan profesi. Publik cukup meyakini anggota tim seleksi terdiri atas orang-orang yang kredibel dan memiliki kompetensi untuk menyeleksi para capim KPK. Citra Pansel Capim KPK dinilai baik oleh 62,1 persen responden. Artinya, publik cukup percaya terhadap kemampuan panitia seleksi dalam menjaring calon pimpinan KPK.
Sebaliknya, responden pesimistis terhadap proses berikutnya, uji kelayakan dan kepatutan yang akan dilakukan DPR. Responden tak terlalu yakin proses tersebut akan bebas dari kepentingan politik. Diperkirakan masih terdapat proses tarik ulur kepentingan politik. Suara pesimistis itu diungkapkan oleh 6 dari 10 responden.
Wajar kiranya jika pada akhirnya responden lebih memercayai proses seleksi yang dilakukan Pansel Capim KPK daripada DPR. Sebanyak 60,3 persen responden percaya bahwa sebaiknya proses seleksi lembaga yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi itu diserahkan kepada Pansel Capim KPK daripada DPR.
Kurang dikenal
Pansel Capim KPK menaruh dua nama untuk setiap bidang yang menjadi tugas dan kewenangan KPK. Di bidang pencegahan, pansel meloloskan Saut Situmorang (Staf Ahli Badan Intelijen Negara) dan Surya Tjandra (advokat dan dosen). Di bidang penindakan ada Alexander Marwata (hakim ad hoc tindak pidana korupsi) dan Basaria Panjaitan (Widyaiswara Madya Sespim Polri). Sementara di bidang manajemen terdapat nama Agus Rahardjo (Kepala Lembaga Pengadaan Barang) dan Sujanarko (direktur pada KPK). Di bidang supervisi koordinasi dan pemonitoran, pansel meletakkan nama Johan Budi SP (Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK) dan Laode Muhammad Syarif (dosen Universitas Hasanuddin, Makassar).
Ditambah dengan nama calon yang dihasilkan pansel sebelumnya, yakni Busyro Muqoddas dan Robby Arya Brata, DPR akan memilih lima orang yang akan menjadi pimpinan KPK. Dari nama-nama itu, hanya dua nama yang menonjol dan dikenal publik, yakni Johan Budi SP dan Busyro Muqoddas. Terhadap nama calon lain, sebagian besar responden belum pernah mendengar. Publik pun bahkan tidak tahu apakah nama-nama calon yang belum dikenal tersebut akan mampu memenuhi harapan atau sebaliknya.
Mengenai latar belakang profesi pimpinan KPK, publik justru paling berharap berasal dari pegiat atau aktivis anti korupsi. Setidaknya itu disuarakan sebanyak 16,7 persen responden. Berikutnya, publik mengharapkan calon dengan latar belakang seperti intelijen, dosen, jaksa, polisi, dan hakim. Calon dengan sejumlah latar belakang profesi itu juga dinilai memiliki integritas untuk memberantas korupsi.
Proses seleksi
Selama proses seleksi, pansel sempat bekerja di bawah beraneka ragam pernyataan terkait dengan adanya calon bermasalah, termasuk dari pihak kepolisian. Beberapa hari sebelum pansel menyerahkan nama calon kepada Presiden Jokowi, Kepolisian Negara RI mengeluarkan pernyataan tentang adanya calon pimpinan KPK yang berstatus tersangka. Padahal, rekam jejak delapan calon pimpinan KPK tersebut seharusnya benar-benar sudah bersih dari catatan kriminal masa lalu.
Lontaran-lontaran pernyataan tersebut membuat publik menjadi bertanya-tanya dan akhirnya berujung pada munculnya keraguan terhadap pansel. Namun, tarik ulur mengenai hal itu akhirnya dipandang publik sebagai bentuk politisasi dan dinilai memiliki tujuan dan kepentingan tertentu.
Upaya ”memengaruhi” proses seleksi juga datang dari kalangan lain. Misalnya, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menuntut agar pansel menggugurkan sejumlah nama yang dianggap terlibat dalam beberapa kasus. Di antaranya wacana tentang adanya calon pimpinan KPK yang diragukan komitmennya memberantas korupsi karena sering mengajukan dissenting opinion atau beda pendapat yang cenderung meloloskan terdakwa korupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pun mencatat calon lain yang bermasalah karena pandangannya terhadap kewenangan dan posisi KPK dalam penindakan korupsi, harta kekayaan yang janggal, dan kepatuhan dalam menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
Dari delapan nama yang sudah dikirim kepada Presiden, Koalisi Masyarakat Sipil mencatat masih ada tiga calon yang ”bermasalah”. Pendapat dari tiga calon tersebut dinilai tak sejalan dengan semangat pemberantasan dan eksistensi KPK. Pernyataan yang dimaksud antara lain ketika menyebut KPK hanya sebagai trigger mechanism dengan melimpahkan penyidikan kasus korupsi kepada kepolisian dan kejaksaan, tidak setuju dengan penyidik independen KPK, dan usulan agar KPK cukup menjadi pusat informasi perkara korupsi.
Selain itu, sejumlah aktivis anti korupsi juga mengkritisi metodologi atau cara pemilihan di internal pansel, termasuk langkah mereka yang membagi keahlian calon dengan pembidangan tugas. Aktivis berpandangan, pembagian bidang di antara pimpinan KPK seharusnya ditentukan setelah mereka lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Optimisme publik
Jajak pendapat ini juga menemukan bahwa sebanyak 70,7 persen responden yakin jika calon pimpinan KPK yang terpilih nanti akan mampu membuat lembaga KPK lebih kuat.
Dalam beberapa jajak pendapat Kompas sebelumnya, terekam citra positif lembaga KPK mengalami puncaknya pada Januari 2015, sebesar 88,5 persen. Saat itu terjadi polemik penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan diikuti penetapan tersangka Ketua KPK Abraham Samad. Setelah kedua petinggi KPK tersebut nonaktif, citra KPK lambat laun menurun dari waktu ke waktu, dan kini menyisakan sekitar 68,1 persen.
Wajar kiranya publik meletakkan harapan besar terhadap pimpinan KPK yang terpilih nantinya agar mampu membuat lembaga tersebut lebih kuat dan lebih baik. Publik juga optimistis bahwa pimpinan KPK Jilid IV nantinya akan berani memberantas semua kejahatan korupsi. Harapan itu disuarakan oleh setidaknya 67,2 persen responden.
Siapa pun pimpinan KPK yang nantinya akan menjabat, publik berharap mereka mampu memperbaiki kinerja lembaga secara optimal, berani memberantas korupsi tanpa pandang bulu, tetap independen, dan tidak dipolitisasi oleh kepentingan tertentu.