JAKARTA, KOMPAS – Agenda menghadirkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara dan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dinilai dapat membahayakan sistem demokrasi yang sudah berjalan. Sebab, agenda ini berpotensi mengurangi kewenangan Presiden dalam merespon perkembangan zaman.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nyarwi Ahmad menyampaikan, agenda penempatan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagaimana masa Orde Baru memiliki konsekuensi untuk mengembalikan kembali posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara.
“Kalau ini yang terjadi, jelas sangat berbahaya bagi kelangsungan sistem demokrasi yang sudah kita bangun dan kembangkan sejak pasca reformasi. Sebab, akan mengurangi kelincahan kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam merespon perkembangan ekonomi dan politik global yang kompleks,” ujar Nyarwi saat dihubungi Kompas, Jumat (16/8/2019).
Dengan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, maka posisi Presiden sebagai Kepala Negara akan semakin tersubordinasi. Bahkan bisa tersandera oleh sekelompok elit yang mempimpin lembaga tersebut.
Kalau ini yang terjadi, jelas sangat berbahaya bagi kelangsungan sistem demokrasi yang sudah kita bangun dan kembangkan sejak pasca reformasi
Nyarwi juga menyoroti bahwa untuk mengembalikan MPR sebagai Lembaga tertinggi negara maka perlu amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang berpotensi memberikan “angin segar” bagi partai politik dan politisi konservatif dengan alam pikir Orde Baru. Apabila terwujud, maka MPR kembali berwenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
“Model evaluasi kinerja Presiden dengan GBHN oleh MPR juga bisa menjadikan apa saja yang telah dituangkan dalam GBHN, dengan meminjam konsep Ernesto Laclau, ahli politik dari Argentina, akan menjadi \'empty signifiers\',” katanya.
Artinya, Pimpinan MPR dan jajaran elit di dalamnya berpeluang untuk menggunakan pandangan “subjektif” mereka dalam menilai kesuksesan maupun kegagalan Presiden. Bukan lagi rakyat sebagai pemilih yang menentukan penilaian kinerja Presiden.
“Bisa jadi orientasi kinerja Presiden dan kabinetnya tidak lagi difokuskan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan rakyat Indonesia tetapi dipaksa fokus untuk menyenangkan pandangan subyektif para elit yang pimpinan MPR dalam menasfirkan GBHN. Sistem demokrasi pun akan semakin elitis,” tegas Nyarwi.
Amandemen terbatas
Meski menuai pro kontra, agenda menghadirkan kembali GBHN terus diperbincangkan. Dalam pidato pembukaan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2019, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan menyampaikan pihaknya telah melaksanakan sejumlah kajian melalui Badan Pengkajian dan Lembaga Pengkajian MPR.
Salah satu hasil pengkajian lembaga tersebut merekomendasikan agar MPR periode 2019-2024 membentuk sistem pembangunan nasional berbasis GBHN. Prasyarat pembentukan sistem tersebut adalah dengan mengamendemen UUD 1945 secara terbatas.
Secara terpisah, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus Calon Legislatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih, Jimly Asshiddiqie mengusulkan perubahan atas Pasal 3 UUD 1945 agar MPR dapat menetapkan GBHN.
“Saya usulkan pasal 3 UUD 1945 diubah melalui perubahan kelima UUD 1945 sehingga bunyinya menjadi MPR menetapkan GBHN atas usul Presiden dan DPD,” ujar Jimly.
Dengan begitu, usulan rancangan GBHN nantinya akan dibicarakan terlebih dahulu antara pemerintah dengan DPD. Setelah itu baru diusulkan kepada forum MPR yang di mana DPR ikut menjadi anggota MPR.
Selain itu, dalam memastikan rumusan GBHN tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka DPD dapat berperan sebagai pengawas. Berbeda dengan DPR yang memiliki fungsi anggara, DPD akan lebih membahas substansi ide dari program GBHN.