Pedang Pemberantasan Korupsi Itu Dipegang Presiden
Mudah-mudahan Presiden memberikan hadiah terindah pada Hari Antikorupsi Sedunia tahun ini dengan mengeluarkan perppu KPK. Pedang pemberantasan korupsi harus dipegang Presiden.
Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan dengan manusia. Kutipan dari Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa mengawali buku Jangan Bunuh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) (2017).
Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, menuliskan dalam bukunya tersebut, modus pelemahan lembaga antirasuah memang terus bertambah. Namun, harus dilihat bahwa KPK telah bertahan hingga 17 tahun.
Umur terpanjang yang pernah disandang oleh lembaga antikorupsi yang sebelumnya hanya bertahan kurang dari satu tahun. Maka, tidak ada jalan lain kecuali dengan terus menjaga kehidupan KPK.
Menjaga napas kehidupan KPK dalam konteks saat ini adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK. Kunci Perppu KPK itu kini berada di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Banyak kalangan meminta dan berharap Jokowi segera menerbitkan perppu itu. Langkah ini akan menjadi koreksi atas revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dinilai memperlemah kinerja pemberantasan korupsi.
Kajian KPK menemukan, ada setidaknya 26 poin dalam UU No 19/2019 yang berisiko melemahkan kinerja lembaga tersebut. Mulai dari independensi KPK karena diposisikan sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif hingga para pegawai yang akan dijadikan aparatur sipil negara.
Tak hanya itu, keberadaan Dewan Pengawas KPK yang memiliki kewenangan menindak juga dinilai melampaui kewenangan semestinya sebagai pengawas. Regulasi itu juga membolehkan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara korupsi yang tidak selesai dalam dua tahun. Artinya kasus-kasus korupsi rentan ”diperdagangkan” untuk melepas para koruptor.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat ditemui di Jakarta, Minggu (8/12/2019), menyampaikan, perppu KPK merupakan lambang supremasi kepemimpinan nasional pemberantasan korupsi yang berada di bawah tangan Presiden. Oleh sebab itu, pedang pemberantasan korupsi harus dipegang Presiden.
Sejalan dengan itu, dalam Pembukaan Hari Antikorupsi Sedunia 2019 pada Senin (9/12/2019) esok, Presiden diharapkan dapat hadir. ”Ya, sesuai rencana, Pak Presiden (Jokowi) diharapkan hadir ke KPK, sekalian bawa perppu KPK, kan keren,” ujar Saut.
Presiden diharapkan dapat hadir. Ya, sesuai rencana, Pak Presiden diharapkan hadir ke KPK, sekalian bawa Perppu KPK, kan keren.
Baca juga: Peluang Penerbitan Perppu KPK Masih Terbuka
Tahun ini, Hari Antikorupsi Sedunia mengangkat tema ”Bersama Melawan Korupsi Mewujudkan Indonesia Maju”. Kegiatan dilaksanakan sebagai wujud kontribusi pemerintah, komunitas, ataupun para pemangku kepentingan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyampaikan, perjalanan KPK sebagai lembaga antirasuah memang terus mendapat serangan. Namun, ini berarti KPK bekerja dengan baik.
”Memang sebuah kewajaran KPK diserang. Akan tetapi, menjadi tidak wajar kalau kemudian tidak dilakukan perlawanan terhadap serangan itu. ’Awan gelap’ di KPK menjadi sebuah siklus yang terus berulang dan perlu direspons dengan tidak putus asa,” ujar Feri.
Upaya membujuk Presiden agar mengeluarkan perppu KPK pun harus terus diusahakan. ”Mudah-mudahan Presiden memberikan hadiah terindah dalam Hari Antikorupsi Sedunia tahun ini dengan mengeluarkan perppu KPK,” kata Feri.
Mudah-mudahan Presiden memberikan hadiah terindah dalam Hari Antikorupsi Sedunia tahun ini dengan mengeluarkan perppu KPK.
Pedang pemberantasan korupsi
Saut menuturkan, dalam era Bachruddin Jusuf Habibie, dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Lembaga ini merupakan lembaga independen yang berfungsi mencegah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara yang kewenangannya dilanjutkan KPK.
Di era Abdurrahman Wahid, meski mengundang silang pendapat, Gus Dur berkeras melantik 35 anggota KPKPN pada 2001. Kemudian era Megawati Soekarno Putri, melalui UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK lahir di era Reformasi.
Kemudian, di era Susilo Bambang Yudhyono, dibentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 2005. Tujuannya untuk mengefektifkan upaya pemberantasan korupsi meski akhirnya dibubarkan. Hanya di era Jokowi, KPK berhasil diperlemah melalui revisi UU KPK.
Pelemahan terhadap kinerja pemberantasan korupsi ditunjukkan saat Jokowi tak berupaya menghentikan DPR untuk merevisi UU KPK yang dinilai banyak kalangan melemahkan KPK. Perppu KPK yang pernah dipertimbangkan Jokowi pun tak kunjung dikeluarkan dengan dalih menunggu uji materi UU No 19/2019 di Mahkamah Konstitusi.
”Itu sebabnya (pada September) ada spanduk besar di KPK menolak UU KPK baru dengan menyebut ’KPK Lahir di Zaman Megawati, Mati di Tangan Jokowi’. Saya katakan potensi (KPK mati); kalau UU buruk, tetapi pelaksana baik, maka baiklah negeri ini. Akan tetapi, baik saja tidak cukup, harus berinisiatif, konon pula inovasi,” tutur Saut.
Baca juga: Menanti Narasi Antikorupsi
Tak mengherankan, tambah Saut, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah. Laporan World Economic Forum pada 2019 menyebutkan, pada 2018 Indonesia menduduki peringkat ke-77 dari 141 negara dengan skor 38 dalam rentang 0-100.
Dalam konteks Asia Tenggara, peringkat dan skor IPK Indonesia pun di bawah negara tetangga. Beberapa di antaranya, yaitu Malaysia peringkat ke-55 dengan skor 47, Brunei Darussalam peringkat ke-29 dengan skor 63, dan Singapura peringkat ke-3 dengan skor 85.
Langkah selanjutnya
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menyatakan, perppu KPK penting untuk mengembalikan independensi dan kewenangan KPK. Bahkan, kewenangan lembaga antikorupsi ini semestinya ditambah sesuai dengan mandat Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah diratifikasi pada 2003, yaitu United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
Perppu KPK penting untuk mengembalikan independensi dan kewenangan KPK.
Melalui konvensi tersebut, sebenarnya DPR bertanggung jawab secara moral untuk merevisi UU Tindak Pidana Korupsi, bukan UU KPK. Sebab, korupsi sektor swasta, kejahatan lintas negara (foreign bribery), kekayaan tidak wajar (illicit enrichment), dan memperdagangkan atau memperjualbelikan pengaruh (trading of influence) belum masuk dalam UU tersebut.
Indonesia pun sebenarnya telah berkomitmen untuk mengimplementasikan Konvensi PBB sejak 2007. Namun, kata Oce, yang terjadi pada KPK bukanlah penguatan melalui UU Tipikor, malah pelemahan dengan revisi UU KPK.
”Saya berharap perppu KPK dapat diterbitkan, kemudian idealnya pekerjaan rumah ke depan adalah bagaimana memperkuat kelembagaan antikorupsi Indonesia supaya sesuai dengan apa yang dimandatkan oleh konvensi PBB,” tutur Oce.
Baca juga: Menjelang Pilkada 2020, KPK Belum Tangkap Tangan Kepala Daerah