Inilah Penjelasan Tambahan Mahfud MD soal Relaksasi PSBB
Inilah penjelasan tambahan Menko Polhukam Mahfud MD soal relaksasi pembatasan sosial berskala besar yang dinilai kontradiktif. Padahal, relaksasi yang dimaksud, ekonomi tetap jalan, tetapi protokol harus dipatuhi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD soal relaksasi pembatasan sosial berskala besar agar warga tak lagi tertekan dan dikhawatirkan bisa melemahkan imunitasnya menghadapi wabah Covid-19 dinilai oleh anggota DPR gegabah dan kontradiktif dengan kebijakan pengetatan penerapan PSBB saat ini. Sebab, kebijakan yang diterapkan pemerintah selama ini justru ingin memutus rantai penyebaran pandemi Covid-19.
Atas pernyataannya tersebut, Mahfud memberikan penjelasan tambahan pada Minggu (3/5/2020) malam. Menurut doktor hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang kemudian menjadi anggota DPR, hakim konstitusi dan Ketua Mahkamah Konstitusi, serta Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman Wahid itu, relaksasi PSBB yang dimaksud bukan pengenduran penerapan PSBB, seperti penggunaan masker di tempat umum, jaga jarak aman, dan terus menjaga kebersihan tangan dan diri. Akan tetapi, yang dimaksud adalah bagaimana protokol kesehatan mencegah dan memutus wabah Covid-19 terus dilakukan, tetapi ekonomi negara dan rakyat tetap berjalan. Dengan demikian, rakyat tetap menjalankan aktivitas ekonominya dengan baik dan roda perekonomian tetap berputar.
”Relaksasi yang saya maksud adalah menggerakkan perekonomian, tetapi tetap dalam kerangka protokol kesehatan. Sebab, saat ini setiap daerah di Indonesia menerapkan PSBB yang berbeda-beda. Ada yang benar-benar ketat sehingga aktivitas ekonominya lumpuh, tetapi ada pula yang sangat longgar,” ujar Mahfud dalam rekaman suara yang dikirim Humas Kemenko Polhukam semalam.
Relaksasi yang saya maksud adalah menggerakkan perekonomian, tetapi tetap dalam kerangka protokol kesehatan. Sebab, saat ini setiap daerah di Indonesia menerapkan PSBB yang berbeda-beda. Ada yang benar-benar ketat sehingga aktivitas ekonominya lumpuh, tetapi ada pula yang sangat longgar.
Oleh karena itu, lanjut Mahfud, pemerintah merasa harus melakukan relaksasi, tetapi dalam kerangka protokol kesehatan yang diadopsi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Relaksasi ini juga akan menjadi parameter bagi daerah untuk menerapkan PSBB dengan standar yang sama.
”Kewajiban memakai masker kalau di luar, cuci tangan secara rajin, menjaga jarak fisik, dan tidak berkumpul di keramaian harus tetap diikuti tanpa membuat ekonomi macet. Ini sesuai dengan arahan presiden agar ekonomi tetap bergerak dalam kerangka protokol kesehatan,” tutur Mahfud,
Terkait dengan penyaluran bantuan sosial, ia juga mengatakan, Presiden Joko Widodo memerintahkan agar bansos cepat didistribusikan kepada masyarakat. Apabila sebelumnya ada persyaratan kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP) dan kejelasan domisili tempat tinggal sebagai syarat mendapatkan bansos, kini aturan itu diharapkan bisa lebih fleksibel.
”Bagi penerima, terutama kaum miskin kota yang belum memiliki KTP dan domisilinya berpindah-pindah tetap bisa mendapatkan bantuan. Persyaratan administrasi dapat disusulkan setelah bantuan disalurkan,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam keterangan melalui akun media sosial, Sabtu (2/5/2020), Mahfud mengatakan, pemerintah sedang memikirkan soal relaksasi PSBB. Relaksasi itu berbentuk seperti rumah makan boleh dibuka dengan protokol kesehatan khusus, orang-orang dapat berbelanja dengan protokol kesehatan khusus, dan seterusnya. Sebab, menurut dia, jika dikekang terus, masyarakat akan stres dan imunitas akan menurun. Selain itu, pemerintah juga mendapatkan banyak masukan terkait dampak sosial dan ekonomi akibat PSBB.
”Kami sedang memikirkan ini. Makanya, masyarakat harus sabar dan menjunjung kebersamaan selama pandemi ini. Tidak ada hierarki dalam penularan Covid-19, semuanya bisa terkena. Oleh karena itu, mari saling menjaga, jangan membiarkan ditulari dan jangan menulari orang lain,” tutur Mahfud sebagaimana dikutip dari media sosialnya.
Bahkan, ia menambahkan, jika sesuai dengan prediksi, kemungkinan aktivitas perekonomian dan sosial di Indonesia akan kembali normal pada Juli mendatang.
Tak boleh gegabah
Terkait pernyataan Mahfud itu, anggota DPR menilai, pemerintah tak boleh gegabah memutuskan relaksasi PSBB sebelum memastikan perlambatan penularan virus korona baru tersebut benar-benar signifikan. Jangan sampai kebijakan itu justru menggagalkan kebijakan pemerintah yang bertekad memutus mata rantai Covid-19.
Bagi penerima, terutama kaum miskin kota yang belum memiliki KTP dan domisilinya berpindah-pindah tetap bisa mendapatkan bantuan. Persyaratan administrasi dapat disusulkan setelah bantuan disalurkan.
Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, misalnya, kemarin mengatakan, wacana ini sangat kontradiktif di saat angka penularan virus Covid-19 terus bertambah. ”Pemerintah harus menetapkan skala prioritas. Mana yang paling penting? Menjaga kesehatan dan keselamatan warga atau menjaga stabilitas ekonomi? Kalaupun keduanya dinilai penting, tentu tidak boleh mengorbankan keselamatan warga. Persoalan ekonomi masih bisa ditunda setelah pandemi ini berlalu,” kata Saleh.
Oleh karena itu, sebelum memutuskan relaksasi PSBB, pemerintah sebaiknya meminta pendapat para ahli kesehatan masyarakat. Pendapat dari para ahli kesehatan akan menjadi dasar yang kuat dalam mengambil kebijakan. Pemerintah juga harus berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Bahkan, jika perlu, kinerja Gugus Tugas Covid-19 harus dievaluasi. Tak hanya itu, semua pihak, termasuk pemerintah daerah, juga harus dimintai pendapat. Jangan sampai pemerintah gegabah dan mengambil kebijakan secara top down.
Sementara itu, hingga Senin pagi ini, total pasien positif Covid-19 tercatat masih 11.192 orang atau bertambah 349 orang dibandingkan dengan hari sebelumnya. Jumlah pasien yang meninggal sebanyak 845 orang atau bertambah 14 orang dibandingkan dengan sebelumnya.
Adapun yang sembuh tercatat 1.876 orang atau bertambah 211 orang dibandingkan kemarin. Meski demikian, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) itu menunjukkan, kurva laju penularan Covid-19 belum melandai.