Inkonsistensi Kebijakan Potensi Bahaya Moral Covid-19
Kebijakan penanganan selama pandemi Covid-19 dinilai tak sinkron dan konsisten di pusat dan daerah. Komnas HAM pun menilai kebijakan penanganan Covid-19 tersebu mengakibatkan bahaya moral di masyarakat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia HAM menilai kebijakan penanganan Covid-19 yang tidak sinkron dan konsisten mengakibatkan bahaya moral atau moral hazard.
Kepala Bagian Dukungan Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Mimin Dwi Hartono dalam diskusi virtual bertema "Reviu Periodik IV: Perspektif HAM atas Penanggulangan Pandemi COVID-19" di Jakarta, Jumat (22/5/2020) mengatakan, contoh nyata kebijakan pemerintah yang tidak sinkron itu adalah larangan mudik. Awalnya, Kementerian Perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Larangan Mudik dan Segala Bentuk Transportasi Beroperasi.
Namun, aturan itu kemudian diubah dan dilonggarkan untuk beberapa kriteria perjalanan dan jenis transportasi berdasaran Surat Edaran Ketua Gugus Tugas Nasional Nomor 4 Tahun 2020. Aturan terbaru itu kemudian memicu terjadinya pergerakan masyarakat baik dari moda transportasi darat dan udara.
"Selain itu juga muncul moral hazard lainnya seperti pembuatan surat keterangan palsu, penjualan alat test ilegal, dan banyak perusahaan terang-terangan masih beroperasi dan timbulkan masalah baru. Ini adalah konsekuensi dari kebijakan yang tidak sinkron dan konsisten dari pemerintah"
Puncaknya, terjadi penumpukan penumpang di Bandara Soekarno Hatta pada 15 Mei lalu. Fakta itu sangat ironis dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dan penjarakan fisik untuk mencegah penularan Covid-19.
Tak berhenti sampai di situ, beberapa hari menjelang Lebaran ini, masyarakat kembali berkerumun di pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka berdalih untuk berbelanja kebutuhan Lebaran termasuk baju baru. Ironisnya, mal dan pasar tetap buka dan mengabaikan aturan PSBB maupun protokol penjarakan fisik yang ditetapkan pemerintah.
"Selain itu juga muncul moral hazard lainnya seperti pembuatan surat keterangan palsu, penjualan alat test ilegal, dan banyak perusahaan terang-terangan masih beroperasi dan timbulkan masalah baru. Ini adalah konsekuensi dari kebijakan yang tidak sinkron dan konsisten dari pemerintah," katanya.
Mimin menambahkan, munculnya bahaya moral itu juga merupakan ekses dari diabaikannya sejumlah rekomendasi yang diberikan Komnas HAM kepada pemerintah terkait tata kelola penanggulangan Covid-19 di Indonesia. Setidaknya, ada lima rekomendasi dari Komnas HAM yang tidak dijalankan pemerintah yaitu kebijakan terpusat, kebijakan mobilisasi dan kerumunan yang ketat, penerapan sanksi tegas berupa denda dan pidana pada peristiwa khusus, bantuan hidup langsung, dan membangun solidaritas masyarakat demi menjamin kelancaran penanggulangan Covid-19.
Oleh karena itu, Komnas HAM sangat menyayangkan, jika kebijakan yang sekarang saja masih banyak bolongnya, mengapa pemerintah sudah mengeluarkan wacana relaksasi PSBB. Wacana relaksasi PSBB sangat kontradiktif dengan data faktual pasien positif Covid-19 yang masih tinggi dan terus meningkat. Bahkan, kasus positif baru mencatat angka tertinggi pada 21 Mei lalu yaitu 973 orang per hari. Wacana pelonggaran PSBB itu juga tidak dibarengi dengan dasar ilmiah dan bukti yang melatarbelakanginya. Hal ini seolah-olah memaksa masyarakat untuk kembali beraktivitas sebagai upaya menggerakkan roda perekonomian.
Akhirnya, masyarakat yang kemarin patuh untuk tinggal di rumah dan menerapkan protokol kesehatan, menjadi gamang. Masyarakat belum siap kembali beraktivitas dalam tatanan kehidupan baru (new normal) karena tingkat penularan Covid-19 masih tinggi.
"Relaksasi PSBB harus ditunda hingga ada dasar kajian ilmiah dan berbasis bukti bahwa Covid-19 sudah berkurang sebarannya. Saat ini, pemerintah sebaiknya menjaga momentum positif PSBB dengan meningkatkan kepatuhan masyarakat," kata Mimin.
Selain itu, pemerintah juga harus mengantisipasi bahaya arus balik Lebaran. Sebab, menurut data dari Kementerian Perhubungan ada sekitar 1,7 juta jiwa yang sudah bergerak keluar dari Jabodetabek. Mereka diperkirakan akan kembali ke Jakarta usai Lebaran. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan pengawasan ketat melalui konsolidasi kebijakan dan komunikasi intensif dengan pemerintah daerah asal pemudik. Integritas aparat juga harus ditingkatkan untuk mencegah dan menghindari adanya bahaya moral yang kontradiktif dengan upaya memutus mata rantai Covid-19.
Sinkronisasi pusat dan daerah
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menambahkan, konsistensi kebijakan dan sinkronisasi kebijakan baik antarinstansi maupun pemerintah pusat dan daerah menjadi masalah yang terus muncul selama pandemi Covid-19 di Indonesia. Akibatnya, muncul diskriminasi kebijakan di masyarakat. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah cenderung keras terhadap masyarakat kelas bawah yang melanggar aturan PSBB. Namun, kemudian aturan sedikit longgar untuk kalangan menengah ke atas. Mal misalnya tiba-tiba dapat beroperasi dan dibuka pada saat pemda sedang melakukan kebijakan PSBB.
Menurut dia, hal itu merupakan dampak dari kegamangan pemerintah yang terus menerus mengedepankan aspek ekonomi dibandingkan dengan perlindungan kesehatan publik. Padahal, jika perlindungan kesehatan masyarakat terpenuhi, ekonomi dapat dikembalikan setelahnya.
"Komnas HAM melihat ada potensial diskriminasi dalam kebijakan penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah. Ada sejumlah kebijakan juga yang terindikasi pembiaran (ommision) tetapi itu masih akan kami perdalam," kata Choirul menambahkan.
"Jangan pernah bayangkan selamatkan ekonomi jika urusan kesehatan tidak diselesaikan dengan baik"
Choirul juga meminta agar pemerintah lebih mengedepankan urusan kesehatan dibandingkan dengan penyelamatan ekonomi. Sebab, menurut data dari gugus tugas percepatan penanganan Covid-19, alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis saja masih kurang. Selain itu, alat-alat kesehatan yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19 seperti ventilator juga jumlahnya sangat terbatas.
Hal itu seharusnya lebih menjadi perhatian pemerintah dibandingkan dengan pemulihan ekonomi di masa yang masih tanggap darurat seperti ini. Apalagi, sejumlah ahli epidemologi juga memprediksi akan ada gelombang kedua ledakan kasus positif Covid-19. "Jangan pernah bayangkan selamatkan ekonomi jika urusan kesehatan tidak diselesaikan dengan baik," tegas Choirul.
Ke depan, Komnas HAM juga meminta agar pemerintah lebih konsisten membuat kebijakan. Kebijakan sebaiknya dilakukan secara formal lengkap dengan bukti hitam di atas putih. Bukan kebijakan lisan yang ke depan akan sulit dikritisi oleh berbagai pihak di luar pemerintahan. Dengan kebijakan yang sinkron, konsisten, dan tegas diharapkan masyarakat akan lebih memahami kondisi krisis ini dan dapat menumbuhkan disiplin untuk menaati aturan yang dibuat pemerintah.