Di Tengah Kultur Permisif, Pilkada Saat Pandemi Perbesar Celah Politik Transaksional
Masyarakat kian permisif terhadap pemberian uang atau barang saat pilkades, pilkada, dan pemilu. Dalam konteks itu, pilkada yang berlangsung saat pandemi Covid-19 belum tuntas memperbesar potensi politik transaksional.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ruang politik transaksional semakin besar saat pemilihan kepala daerah digelar di tengah belum meredanya pandemi Covid-19. Calon petahana rentan menyalahgunakan bantuan sosial demi kepentingan politik. Kondisi ini semakin diperparah karena masyarakat masih sangat permisif terhadap politik uang.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, saat dihubungi di Jakarta, Senin (15/6/2020) petang, mengatakan, potensi politik transaksional sebenarnya hampir terjadi di setiap kontestasi pemilihan. Namun, di tengah pandemi, potensi itu semakin menguat karena warga berada di situasi ekonomi yang sulit.
”Ketika orang butuh dana atau bantuan, politik uang dalam pilkada nanti rentan digunakan oleh petahana, terutama melalui distribusi bansos,” ujar Arya.
Dalam Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (15/6/2020), persepsi masyarakat terhadap korupsi masih perlu diperbaiki meskipun skor IPAK naik. Salah satunya adalah politik transaksional selama pemilu yang masih dianggap wajar oleh masyarakat.
IPAK juga menunjukkan, di lingkup publik, masyarakat semakin permisif terhadap pembagian uang, barang, dan fasilitas pada saat pilkades, pilkada, ataupun pileg dan pilpres. Tahun 2020, sebanyak 32,74 persen responden survei menyatakan wajar menerima pemberian tersebut. Hal ini memburuk dari tahun sebelumnya yang menunjukkan 20,89 persen responden menganggap wajar menerima pemberian saat pemilihan.
Menurut Arya, ada tiga cara memperkecil potensi terjadinya politisasi bansos. Pertama, transparansi dalam proses penyaluran bansos. Artinya, akses informasi penyaluran bansos dibuka kepada masyarakat.
Kedua, syarat penerima bansos harus jelas dan valid sehingga tidak dimanfaatkan ke arah kepentingan politik tertentu. Ketiga, harus dilakukan audit terhadap dana bantuan tersebut.
”Harus ada audit dan validasi, apakah bantuan itu telah tepat sasaran atau tidak sehingga kepala daerah tidak asal-asalan menyalurkan dana bansos. Bisa saja, kan, calon petahana menargetkan pemberian bansos ke basis massanya. Jadi, tiga hal itu, saya kira, dapat memutus potensi penggunaan politik uang atau distribusi bansos untuk kepentingan politik,” tutur Arya.
Politisasi bansos ini, lanjut Arya, sebenarnya sulit dicegah karena kepala daerah saat ini berperan sebagai ketua gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 di daerah. Konflik kepentingan akan semakin tinggi.
Karena itu, kata dia, pemerintah pusat mengeluarkan aturan agar jabatan ketua gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 di daerah diganti ke sekretaris daerah jika kepala daerahnya maju ke pilkada. Setelah diserahkan kepada sekda, pengawasan bisa diperkuat di Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
”Kalaupun sudah berganti ke sekda, memang tidak ada jaminan politik transaksional akan hilang. Namun, paling tidak ada instrumen secara kelembagaan untuk menutup peluang isu kepentingan itu dan penguatan pengawasan di ASN,” katanya.
Masyarakat, kata Arya, harus terus disadarkan agar menolak politik uang. Sebab, calon yang terpilih bisa minim integritas dan kapasitas.
”Jadi, ini isu bersama yang harus terus didorong agar permisif terhadap politik uang ini bisa mengecil. Kalau, misalnya, orang tak punya kapasitas lalu pakai politik uang dan terpilih, ketika dia memimpin yang rugi juga masyarakatnya. Sebaiknya ini menjadi kesadaran bersama,” ucap Arya.
Ujian berat
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyampaikan, pilkada pada masa pandemi sebenarnya menjadi ujian berat bagi petahana. Ini, terutama, jika mereka gagal menunjukkan kinerja yang baik dalam penanganan Covid-19 dan melakukan politisasi bansos.
”Sorotan dan sentimen negatif sangat mungkin menurunkan elektabilitas mereka,” kata Titi.
Titi menambahkan, pada saat seperti ini nonpetahana sebenarnya juga mendapatkan keuntungan karena bisa membangun narasi kontra jika petahana kinerjanya buruk.
”Tetapi, ruang geraknya jadi terbatas, terutama jika pemilih cenderung pragmatis dalam menyikapi pilkada dengan menunjukkan perilaku permisif pada praktik politik transaksional,” tutur Titi.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menyampaikan, apa pun alasannya, politik uang dapat merusak sistem dan nilai-nilai demokrasi. Ia menyadari bahwa masih perlu penebalan penegakan hukum di dalam setiap kontestasi agar politik uang tak terjadi.
”Jika hal tersebut diterima sebagai hal wajar, sama halnya politik sudah menjadi pandemi. Untuk mengatasi pandemi, tentu perlu cara-cara yang luar biasa,” katanya.