Sekretaris NCB Interpol Indonesia 2013-2015 Irjen (Purn) Setyo Wasisto menyatakan tak pernah ada penghapusan ”red notice” Joko Tjandra pada 2014. Informasi ini bertentangan dengan keterangan pejabat Polri saat ini.
JAKARTA, KOMPAS — Sekretaris NCB Interpol Indonesia periode 2013-2015 Inspektur Jenderal (Purn) Setyo Wasisto menyatakan tak pernah ada penghapusan red notice Joko Tjandra pada 2014. Bahkan, pada 2015, status red notice buron kasus cessie Bank Bali itu masih aktif. Informasi ini bertolak belakang dengan keterangan pejabat Polri saat ini yang menyebutkan red notice Joko Tjandra terhapus sejak 2014.
Setyo mengungkapkan, saat ia bertugas sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia, status red notice Joko Tjandra masih berlaku. Bahkan, hingga Agustus 2015, pihaknya masih terus berkomunikasi dengan pejabat markas pusat Interpol di Lyon, Perancis, terkait status red notice tersebut.
”Seingat saya dan berdasarkan file-file yang masih ada di saya dan anggota saya, tidak pernah ada pengajuan penghapusan red notice Joko Tjandra dari Indonesia. Artinya, saat 2015, status red notice itu masih aktif. Tapi yang ada adalah komunikasi,” ujar Setyo saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (1/8/2020).
Menurut Setyo, pada 2015 ada pertanyaan resmi dari markas pusat Interpol terkait kasus yang menjerat Joko Tjandra apakah masuk dalam kasus korupsi atau penggelapan. Sebab, kata Setyo, kasus penggelapan cenderung termasuk kategori perdata dalam hukum di luar negeri. Sementara kasus perdata tak bisa dikenai status red notice.
Pihaknya pun meneruskan pertanyaan itu kepada Kejaksaan Agung yang kemudian rapat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Setyo mengatakan, surat jawaban dari Kejagung kemudian diteruskan NCB Interpol Indonesia ke markas pusat Interpol yang menyatakan Joko Tjandra dikenai kasus korupsi.
”Akhirnya kejaksaan menyampaikan bahwa ini hanya dikenai korupsi. Kan, itu ada istilahnya adendum, yaitu ditambahkan, bahwa red notice ini hanya karena kejahatan dia hanya korupsi. Itu pada Agustus 2015,” kata Setyo.
Setyo mengatakan, dari tahun 2013, pihak Joko Tjandra terus melakukan upaya untuk memprotes status red notice tersebut kepada markas pusat Interpol. Protes tersebut, kata Setyo, memang hak pihak Joko Tjandra dan itu sah-sah saja. Protes ini kemudian menghasilkan surat pertanyaan dari Interpol pada 2015 tersebut.
Setyo pun mempertanyakan adanya pemberitaan di media mengenai status red notice Joko Tjandra yang terhapus sejak 2014. ”Logikanya begini, kalau pada 2014 sudah terhapus, kenapa pada 2020 istri Joko Tjandra minta penghapusan red notice? Nah, itu logikanya,” ucap Setyo.
Menurut Setyo, terkait protokol setiap lima tahun red notice berakhir, hal itu memang benar, tetapi selama ini dalam praktiknya selama buron belum tertangkap, red notice tidak akan dicabut.
Setyo menambahkan, red notice tak bisa dihapus sendiri oleh NCB Interpol di Indonesia sebab sistem penghapusan ini hanya bisa dilakukan pejabat yang berwenang di markas pusat Interpol di Perancis. Di Indonesia, prosedur permintaan red notice tersebut berasal dari penyidik kepada Interpol Indonesia.
Buron yang dimasukkan dalam daftar red notice artinya secara resmi juga disampaikan kepada 133 negara yang tergabung dengan Interpol untuk menangkap dan menahan buron tersebut saat berada di wilayah hukumnya. Apabila buron lalu tertangkap di Indonesia, Interpol Indonesia akan mengirim surat ke markas pusat Interpol untuk meminta pencabutan bahwa kasus ini sudah selesai sehingga tak perlu lagi ada red notice.
Pernyataan terhapusnya Joko Tjandra dari daftar red notice Interpol bersumber dari surat Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri yang saat itu dijabat Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan ditandatangani Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigadir Jenderal (Pol) Nugroho Wibowo.
Surat itu turut menyebutkan yang menjadi rujukan antara lain surat Anna Boentaran, istri Joko Tjandra, tertanggal 16 April 2020 perihal permohonan pencabutan red notice Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra. Rujukan lain adalah surat Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri tanggal 29 April 2020 perihal penyampaian informasi pembaruan data serta hasil koordinasi dengan Sekretariat Umum Interpol (IPSG) terhadap red notice Joko Tjandra pada 22 April 2020.
Dalam surat itu disebutkan red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 (setelah 5 tahun) karena tidak ada permintaan perpanjangan dari Kejaksaan Agung RI selaku pihak yang meminta. Surat tertanggal 5 Mei 2020 itu ditujukan kepada Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Surat itu kemudian menjadi rujukan untuk tidak lagi memasukkan data pelintasan Joko Tjandra dalam daftar pencarian orang oleh Direktorat Jenderal Imigrasi per 13 Mei 2020.
Pada Mei 2020, sebuah surat atas nama Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri yang juga ditandatangani Brigjen (Pol) Nugroho Wibowo selaku Sekretaris NCB Interpol Indonesia disampaikan kepada Anna Boentaran yang isinya memberitahukan bahwa Joko Tjandra tidak lagi menjadi subyek red notice di markas pusat Interpol.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Selasa (28/7/2020), mengatakan, pihaknya masih menelusuri terhapusnya red notice pada 2014 tersebut. Sebab, penghapusan ini tak terjadi pada buron-buron lain yang masuk dalam daftar red notice. Tersangka kasus pembobolan kas Bank BNI, Maria Pauline Lumowa, misalnya, selama belasan tahun namanya tercatat dalam red notice dan tak terhapus setiap lima tahun sekali.
”Pauline itu seharusnya kalau lima tahun otomatis terhapus juga. Ternyata 17 tahun tertangkap karena red notice. Dia red notice-nya sejak 2003 dan tidak terhapus. (Kalau) Joe Chan ini? Makanya biar diperiksa dulu. Yang 2014 itu kenapa terhapus, siapa yang minta? Aturannya kalau memang otomatis lima tahun terhapus, kan seharusnya ada yang memberi tahu. Yang memberi tahu siapa?” tutur Mahfud.
Sementara itu, pengacara Joko Tjandra, Anita Kolopaking, dalam wawancara pada Jumat (24/7/2020) mengatakan, surat permohonan pencabutan red notice dari Anna Boentaran merupakan surat pribadi. Ia mengaku tak terlibat dalam pembuatan surat tersebut, hanya diminta melakukan sejumlah koreksi.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman mencurigai penghapusan red notice pada 2014 itu hanya merupakan klaim semata, tetapi sebenarnya tidak pernah ada. Ia meminta supaya hal ini diusut sampai tuntas.
Sementara itu, pihak markas pusat Interpol menolak memberikan informasi terkait hal tersebut saat ditanya melalui situs resmi Interpol. Mereka menyarankan agar menanyakan hal itu kepada NCB Interpol setempat.
Secara terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono juga menyangkal informasi tidak terhapusnya red notice Interpol Joko Tjandra pada 2014. Sebelumnya, pada 22 Juli 2020, Argo menyatakan red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus secara otomatis dari sistem basis data Interpol sejak 2014 (setelah 5 tahun) karena tidak ada permintaan perpanjangan dari Kejaksaan Agung RI sebagai pihak yang menyelidiki kasus tersebut.