Diskualifikasi Calon di Pilkada 2020 yang Langgar Protokol Kesehatan
Sanksi untuk menegakkan kepatuhan pada protokol kesehatan selama Pilkada 2020 dinilai belum menciptakan efek jera. Ancaman sanksi lebih berat dibutuhkan, seperti diskualifikasi calon.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sanksi penundaan pelantikan bagi pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan di tahapan Pilkada 2020 dianggap tidak menimbulkan efek jera. Alhasil, pelanggaran rentan terulang kembali di tahapan selanjutnya. Pemerintah, Komisi II DPR, dan penyelenggara pemilu didesak agar segera membuat aturan yang lebih tegas bagi pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan, seperti diskualifikasi pasangan calon.
Kementerian Dalam Negeri telah memberikan teguran kepada 53 calon petahana yang melanggar protokol kesehatan pada tahapan pendaftaran calon. Sebagian besar pasangan bakal calon kepala daerah mendaftar diiringi massa pendukung, bahkan ada yang menggelar arak-arakan.
Mendagri Tito Karnavian, seusai rapat terbatas virtual persiapan pelaksanaan pilkada serentak dari Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (8/9/2020), mengungkapkan bahwa pihaknya tengah mempertimbangkan untuk memberikan sanksi penundaan pelantikan bagi pasangan calon kepala daerah terpilih yang terbukti melanggar protokol kesehatan.
Namun, menurut Koordinator Nasional Sekretaris Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby, dalam diskusi secara virtual bertajuk ”Pilkada Sehat dan Covid-19: Siapa Peduli?”, Selasa, mengatakan, ancaman sanksi itu belum cukup untuk meningkatkan kepatuhan pada protokol kesehatan selama Pilkada 2020.
Setidaknya masih terdapat dua tahapan yang berpotensi mengundang konsentrasi massa dalam jumlah besar, yaitu masa kampanye (26 September-5 Desember 2020) dan hari pemungutan suara pada 9 Desember 2020.
Jika tahapan pilkada ingin terus dilanjutkan, menurut Alwan, pemerintah, Komisi II DPR, dan penyelenggara pemilu harus segera membuat aturan yang lebih tegas untuk menjerat calon yang melanggar protokol kesehatan. Hal ini demi meminimalisasi potensi penyebaran virus korona yang diakibatkan oleh kerumunan massa di setiap tahapannya.
Aturan tersebut bisa diatur dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
”Didiskualifikasi saja pasangan calon (yang tidak patuhi protokol kesehatan) agar ada efek jera. Kalau sebatas imbauan dan teguran, pasangan calon dan partai politik pasti tetap tidak patuh karena mereka ingin menunjukkan kepemilikan basis massa yang besar kepada rivalnya,” ujar Alwan.
Hadir dalam diskusi, sejumlah pembicara yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat. Juga hadir Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo; Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti; Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow; dan pengamat politik Exposit Strategic, Arif Susanto.
Selain itu, ada pula peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus; Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana; serta Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi.
Alwan menambahkan, aturan diskualifikasi calon akibat melanggar protokol kesehatan bisa mulai diterapkan di tahapan kampanye. Ia menyebut, diskualifikasi calon ini bisa dimasukkan ke dalam kategori sanksi administrasi.
”Jadi tak harus sanksi pidana. Toh satuan gugus tugas (penanganan Covid-19) juga memberlakukan aturan kepada masyarakat yang tidak patuh protokol kesehatan dengan didenda. Di pilkada juga harus diberlakukan begitu. Aktor-aktor yang melanggar protokol kesehatan, parpol atau pasangan calon, harus didiskualifikasi,” ujar Alwan.
Menurut Alwan, opsi diskualifikasi calon lebih relevan dibandingkan memikirkan opsi penundaan pilkada. Sampai kapan pun pilkada ditunda, katanya, akan sia-sia, apabila kesadaran masyarakat, elite partai, dan peserta terhadap protokol kesehatan juga masih rendah. Apalagi, semua pihak juga tidak bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir.
”Itu sebagai salah satu titik rem yang kita harus bangun. Jadi, skema pilkada harus dibangun dengan rapih antara kesehatan dan pilkada. Aturan hukumnya juga harus dibangun dengan rapi,” ujarnya.
Arif Susanto melanjutkan, sebelum mencapai sanksi diskualifikasi, calon bisa dikenakan sanksi seperti kehilangan kesempatan kampanye. Menurut Arif, sanksi itu juga cukup menjadi peringatan bagi pasangan calon dan parpol.
”Jadi, sanksi itu bisa dibuat bertahap. Di kampanye, kan, ada beberapa fase. Kalau dia kehilangan salah satu saja, itu sudah peringatan yang serius,” ujar Arif.
Lucius Karus berpendapat, pembentukan aturan yang menegaskan sanksi-sanksi itu masih sangat dimungkinkan saat ini. Apalagi, menurut dia, belakangan ini, DPR dan pemerintah juga kerap membahas dan mengesahkan regulasi dengan waktu yang cukup singkat.
”Undang-undang sekarang saja bisa dibuat dua minggu sampai tiga minggu kok oleh DPR. Jadi, saya yakin, bisa dilakukan dengan cepat,” kata Lucius.
Parameter daerah
Selain soal sanksi, dalam upaya mengerem laju virus Covid-19, Jojo Rohi mengusulkan agar penyelenggara pemilu membuat parameter. Daerah yang masuk kategori zona hijau bisa melanjutkan tahapan pilkada. Sebaliknya, jika suatu daerah mulai masuk zona kuning atau merah, penyelenggara pemilu harus berani menghentikan proses pilkada di daerah tersebut. Hal tersebut tentu saja harus atas rekomendasi Satgas Penanganan Covid-19.
”Yang paling punya kompetensi dan kewenangan untuk menginjak pedal rem adalah satgas karena mereka yang punya variabel atau indikator yang paling jelas dan mereka paling berkompeten untuk memberikan kode lampu merah, kuning, dan hijau,” tutur Jojo.
Ari Nurcahyo sependapat, dengan parameter tersebut, para aktor politik di daerah akan ikut dalam penanganan Covid-19 di daerahnya tersebut. Dengan begitu, pelaksanaan pilkada bisa seiring dengan upaya menekan laju virus.
”Itu adalah ruang batasan sehingga terjadi diferensiasi pelaksanaan pilkada. Jadi, keserentakan oke, tahapan berjalan, tetapi realisasi pelaksanaan sangat tergantung dari kondisi di daerah itu, apakah statusnya hijau, kuning, atau merah. Itu jadi parameter,” kata Ari.
Selain itu, parameter ini juga bisa diterapkan secara lebih halus. Misal, jika di suatu daerah masuk kategori merah, tahapan kampanye hanya bisa dilaksanakan secara daring. Namun, ketika daerah tersebut masuk kategori hijau, mereka bisa berkampanye secara tatap muka langsung tetapi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
”Sanksi yang tegas juga perlu disusun apabila pasangan calon atau parpol melanggar aturan-aturan tersebut,” kata Ari.