Ting Tung! Maaf, ”Suara” Anda Kami Matikan…
”Ting Tung". Beberapa kali mikrofon anggota DPR mati saat mereka berbicara dalam sidang paripurna persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja. Mengapa hal itu sampai terjadi? Lalu apa maknanya dari sisi komunikasi politik?
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Rancangan Undang-undang Cipta Kerja menjadi undang-undang, Senin (5/10/2020), menjadi salah satu momen paling menarik sepanjang pembahasan RUU itu di DPR. Satu hal sederhana yang membuat sidang itu menarik adalah kendala teknis mikrofon anggota DPR yang dimatikan, atau secara otomatis termatikan oleh sistem.
Beberapa kali muncul bunyi ”ting-tung”, yang diikuti suara anggota DPR yang tetiba hilang karena mikrofon mati. Di saat setiap juru bicara fraksi membacakan pandangan fraksinya dalam sidang paripurna, bunyi itu muncul berkali-kali dan anggota DPR pun ”kehilangan” suara. Suara mereka jadi tidak terdengar, dan digantikan suara pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsuddin.
Sejak mula telah ditetapkan setiap jubir fraksi diberikan kesempatan menyampaikan pendapatnya di mimbar selama 5 menit. Oleh karena itu, ketika jubir melebihi waktu lima menit itu, tetiba mikrofon mati, dan anggota DPR harus meminta waktu tambahan kepada pimpinan sidang. Karena banyak jubir yang melebihi waktu lima menit, jadilah bunyi ”ting tung” itu berkali-kali muncul. Suara anggota DPR di depan mimbar pun mendadak hilang.
”Ini bukan saya yang matikan, ya. Ini otomatis, karena memang diatur oleh Pak Sekjen, masing-masing orang untuk berbicara selama lima menit. Jadi sistemnya sudah mengatur itu,” kata Azis menjelaskan.
Namun, setelah diberikan izin waktu tambahan, mikrofon itu dihidupkan kembali sehingga terdengarlah kembali suara para anggota DPR itu. Dari sembilan fraksi, enam fraksi menyetujui RUU Cipta Kerja itu menjadi UU. Satu fraksi, yakni Partai Amanat Nasional (PAN) menerima dengan catatan.
Dua fraksi lainnya, yaitu Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menolak RUU Cipta Kerja menjadi UU. Masing-masing fraksi menyampaikan argumentasi dan catatannya di depan mimbar. Sampai pada titik itu, kendala teknis berupa matinya mikrofon berulang-ulang tidak terlalu mengganggu, meskipun mengundang perhatian.
Debat panas mulai terjadi ketika anggota fraksi Partai Demokrat, Irwan, mengajukan interupsi. Saat berbicara, ia mendapatkan sorakan tidak suka dari anggota DPR lainnya di ruang paripurna. Entah apa yang membuat sorakan itu terjadi. Besar kemungkinan karena apa yang disampaikan Irwan itu sudah disampaikan dalam pandangan fraksinya yang telah dibacakan jubir.
Baca juga: RUU Cipta Kerja dan Ironi Kekuasaan Mayoritas
Riuh sorakan anggota DPR itu membawa ingatan pada sorakan ”boo” pada laga-laga sepakbola dunia, yang dilakukan oleh pendukung klub bola, dan kini dilarang di beberapa negara di dunia karena dinilai tidak etis, kerap kali rasis, serta menjatuhkan mental.
Sorakan ”boo” itu ditujukan untuk merundung pemain atau klub lawan, atau pihak lain yang terlibat dalam pertandingan. Ketika sorakan ”boo” dari anggota DPR lainnya yang mayoritas itu menggema saat Irwan menyampaikan interupsi, apakah maksudnya sama-sama untuk merundung anggota DPR yang berbeda pendapat? Yang pasti, sorakan itu minimal menunjukkan ketidakcocokan.
Irwan lalu meneruskan, ”Sabar, sabar.... Dan meminta agar ditunda pembahasan terkait pengambilan keputusan terkait RUU Cipta Kerja ini. Pimpinan, mengapa ini terburu-buru, Pimpinan? Rakyat di luar bertanya-tanya, kawan-kawan di ruangan ini,” katanya.
Azis meminta Irwan menegaskan maksudnya. Azis pun menilai substansi persoalannya sudah disampaikan oleh Irwan. Namun, Irwan kembali menjawab, ”Pimpinan, belum. UU ini berpotensi makin memperparah kerusakan lingkungan, kemudian menghilangkan kewenangan-kewenangan kami di daerah, menghilangkan hak-hak rakyat kecil,” ujarnya yang terus menyampaikan interupsinya.
Sementara itu, di meja pimpinan yang dihadiri Azis, Ketua DPR Puan Maharani, dan dua waket DPR lainnya, Sufmi Dasco Ahmad dan Rahmat Gobel, terlihat Azis membisikkan sesuatu kepada Puan yang duduk di sebelahnya. Pada saat Irwan meneruskan interupsi, ”Kawan-kawan, kalau mau dihargai, tolong....” Lalu, ”ting tung”, mikrofonnya mati terputus. Puan terlihat memencet tombol pengendali mikrofon di mejanya.
Hal serupa terjadi antara Azis dan Benny K Harman, anggota Fraksi Partai Demokrat lainnya. Karena tidak dilayani permintaannya interupsi, Benny menyatakan fraksinya walkout (keluar) dan tidak bertanggung jawab atas putusan sidang paripurna tersebut.
Baca juga: Berserah kepada Mahkamah
Belakangan karena ramai menjadi meme di media sosial, Azis menjelaskan tindakan mematikan mikrofon itu dilakukan untuk mengatur lalu lintas pembicaraan di sidang paripurna. Tidak bisa dua anggota DPR berbicara dalam waktu bersamaan sehingga harus ada pengaturan lalu lintas komunikasi melalui mikrofon tersebut.
”Saya berbisik kepada Bu Ketua (Puan Maharani) supaya tidak dobel suaranya. Kalau kita ibarat main zoom meeting antara laptop satu dan laptop yang lain sama-sama suaranya dibuka kan, voicenya ganggu,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar menambahkan, insiden mikrofon mati itu dilakukan karena demi menjaga ketertiban peserta rapat saat menyampaikan pendapat. ”Semua diberikan waktu untuk berbicara, bergantian. Jika sampai dimatikan mikrofonnya, itu hanya untuk menertibkan lalu lintas interupsi, pimpinan punya hak mengatur jalannya rapat,” katanya.
”Jadi dalam konteks ini, pimpinan rapat bukan menghalangi Fraksi Demokrat berbicara, melainkan ingin memberikan kesempatan kepada fraksi lain menyampaikan pendapatnya,” sambung Indra.
Dia melanjutkan, mikrofon di ruang rapat paripurna DPR RI sudah diatur otomatis mati setelah lima menit digunakan. Hal itu dilakukan agar masing-masing anggota memiliki waktu bicara yang sama dan supaya rapat berjalan efektif serta terukur dari sisi waktu dan substansi.
Kegagalan komunikasi
Terlepas dari alasan tersebut, insiden mikrofon mati itu berpotensi dimaknai macam-macam. Dari konteks komunikasi politik, apa yang terjadi di ruangan rapat paripurna itu tidak hanya dapat diterima sebagai fakta semata, sebab fakta itu berkembang dalam nuansa politik yang tidak hampa.
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Media Nusantara, Ignatius Haryanto, Kamis (8/10/2020), mengatakan, orang bisa memahami tindakan pimpinan DPR yang ”mematikan” mikrofon itu sebagai cara untuk menghentikan komunikasi.
”Orang tidak didengar dulu pernyataannya. Bahwa ada satu atau dua partai yang menolak, ya mari kita dengarkan. Karena pasti anggota ini juga punya kewajiban kepada konstituennya. Mesti didengarkan argumentasinya, dan saya kira fair untuk diberi kesempatan. Sekian fraksi pro pada pemerintah, dan ada dua yang tidak. Kenapa tidak diberikan kesempatan pada suara yang berbeda,” katanya.
Terlepas dari tindakan dua fraksi yang menolak RUU itu juga bermuatan politis, dan tidak bebas dari motif politik, tetapi memberi kesempatan berbicara tidak ada salahnya.
Haryanto mengatakan, itikad politik mendengarkan pihak lain yang berbeda itu jauh lebih penting dalam praktik politik, terlebih lagi dalam dinamika komunikasi di parlemen. Lebih dari itu, gambaran drama mematikan mikrofon di parlemen itu mencerminkan politik deliberatif yang tidak berjalan di parlemen. Kegagalan komunikasi politik di satu sisi mencolok. Artinya, elite politik tidak memberikan contoh kepada publik, bahwa berpolitik itu juga memiliki etika, dan tidak asal hantam kepada yang berbeda.
”Politik bukan asal hantam, asal beda, langsung dibunuh dan disingkirkan. Perlu didengarkan juga yang berlainan pendapat dengan kita karena dalam demokrasi deliberatif itu pendapat yang berbeda perlu ditampung, siapa tahu ada argumen yang penting di situ,” katanya.
Peneliti Forum Masyarakat Pemerhati Parlemen Indonesia, Lucius Karus, melihat dari sisi yang berbeda soal mikrofon mati tersebut. Alasan waktu bicara lima menit, dan kendala teknis mikrofon hanyalah sarana saja dari kepentingan politis yang sesungguhnya, yakni cepat-cepat mengesahkan UU Cipta Kerja.
”Mikrofon itu benda mati yang diatur manusia. Mudah sekali dijadikan kambing hitam atau pembenaran atas apa yang sesungguhnya diinginkan pimpinan DPR. Tentu kepentingannya ialah tidak memperbolehkan interupsi didengarkan,” katanya.
Draf dipertanyakan
Bahkan kalau dirunut secara umum, kata Lucius, sejak awal pembahasan RUU Cipta Kerja tidak banyak mendengarkan masukan publik yang berbeda dengan kemauan pemerintah dan DPR. Insiden mikrofon mati itu hanya gambaran kecil dari praktik komunikasi politik dan legislasi di parlemen yang saat ini kian dihegemoni oleh suara mayoritas, dan senyap dari ruang kritisisme publik.
Lucius mencontohkan maraknya penolakan publik dan dorongan untuk tidak buru-buru mengesahkan UU yang melibatkan lebih dari 76 UU ini juga dianggap angin lalu. Dorongan agar pembahasan terbuka juga hanya formalitas belaka. Contoh paling nyata ialah tidak ditemukannya draf resmi UU Cipta Kerja yang disetujui dalam rapat paripurna. Draf yang beredar di publik disebut masih dalam proses perbaikan tanda baca dan penyempurnaan minor redaksional.
Dalam kondisi tidak ada pegangan draf, publik menjadi kian curiga. Tidak ada jaminan draf yang disetujui di dalam paripurna itu sama dengan draf resmi yang telah diperbaiki tanda bacanya. ”Perubahan-perubahan pasal itu menjadi sulit dilacak,” katanya.
Dengan tidak adanya draf resmi UU Cipta Kerja, menurut Lucius, publik wajar bertanya draf mana yang menjadi pegangan sembilan fraksi itu ketika menyampaikan pandangannya di dalam paripurna. Baik fraksi yang mendukung atau menolak UU Cipta Kerja, apakah benar-benar mereka telah membaca seluruh isinya?
Kendali informasi sepenuhnya dikuasai pemerintah dan DPR yang secara monolog bicara soal RUU Cipta Kerja. Di satu sisi, publik tidak memiliki pegangan atau draf yang pasti untuk setidaknya mencocokkan, dan menguji kebenaran klaim itu. Ketika di ranah publik berkembang misinformasi mengenai UU Cipta Kerja, publik yang disalahkan.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan, tidak saja komunikasi politik dan komunikasi publik yang amburadul dalam pembahasan UU Cipta Kerja. Mekanisme dalam penyusunan perundang-undangan juga terabaikan. UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah tegas menyatakan, sejak dari perencanaan pun, suatu UU harus dibuka kepada publik.
”Pelibatan dan keterbukaan pada publik menjadi suatu hal yang diatur tegas di UU No 12/2011. Apalagi dalam sejarah perundang-undangan kita ini adalah UU dengan DIM paling banyak, dan menyangkut kepentingan hidup orang banyak. Keterbukaan kepada publik bukan pilihan, melainkan kewajiban,” katanya.
UU Cipta Kerja telah disetujui. Insiden mikrofon mati di dalam rapat persetujuan UU itu semoga bukan perlambang bagi upaya mematikan suara yang berbeda, apalagi mematikan suara publik…