Peran media hendaknya lebih ditekankan untuk mengawal terselenggaranya kontestasi politik yang jujur dan adil serta menyosialisasikan pasangan calon secara terang benderang agar masyarakat tidak salah pilih.
Oleh
Tri Agung Kristanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga Selasa (20/10/2020), Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia masih menerima pengaduan dari masyarakat mengenai wartawan atau pengurus organisasi wartawan, termasuk PWI, yang mendukung calon kepala daerah dalam Pemilu Kepala Daerah 2020. Padahal, semestinya media dan wartawan menjaga jarak dalam kontestasi politik, termasuk Pilkada 2020.
Pilkada serentak akan digelar di 270 daerah: 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten di Indonesia pada 9 Desember 2020. Rangkaian kegiatannya, seperti kampanye, saat ini tengah berlangsung hingga 5 Desember 2020. Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang mengatakan banyak menerima pengaduan mengenai keterlibatan wartawan, bahkan pengurus organisasi wartawan, dalam mendukung pasangan calon di daerah.
”Khitah profesi wartawan dan pekerjaan jurnalistik itu sejak dahulu tidak memihak dan independen, khususnya selama proses pilkada. Sikap itu untuk menjaga pilkada berjalan demokratis, mengawasi asas jujur dan adil, sehingga menghasilkan kepemimpinan daerah yang terbaik,” kata Ilham di Jakarta seusai memimpin Rapat Dewan Kehormatan PWI, Senin (19/10/2020), secara daring (dalam jaringan). Selain jujur dan adil, asas dalam penyelenggaraan pemilu adalah langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Dasar pesan dari Dewan Kehormatan PWI itu adalah Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers pada tahun 2008. Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik mencatat, ”Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Pasal 6 juga mengatur, ”Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”. Wartawan yang nyata-nyata mendukung calon kepala daerah dalam Pilkada 2020 berpotensi melanggar Kode Etik Jurnalistik itu.
Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik itu mencatat, ’Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk’.
Selain itu, secara universal, dalam jurnalistik juga dikenal prinsip bahwa jurnalisme itu bertanggung jawab kepada publik dan menjaga jarak yang sama dengan narasumbernya, seperti yang dikenalkan Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam Sepuluh Elemen Jurnalisme. Oleh karena itu, rapat Dewan Kehormatan PWI mengingatkan agar wartawan, termasuk yang bukan anggota PWI, untuk menjaga marwah kewartawanannya dengan tetap menjaga kemandirian dan tidak menjadi bagian langsung dari calon kepala daerah.
Rapat Dewan Kehormatan PWI dihadiri pula Sekretaris Sasongko Tedjo dan anggota lain. Sasongko menambahkan, Dewan Kehormatan PWI mengirimkan surat kepada Pengurus Pusat PWI untuk menindak anggota atau pengurus PWI di daerah yang mendukung calon kepala daerah secara terbuka, termasuk menyalahgunakan simbol organisasi untuk mendukung calon. Sanksi bagi anggota yang melanggar menjadi kewenangan pengurus, bukan Dewan Kehormatan.
Harus mundur
Bagi anggota dan pengurus PWI dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat, sudah jelas panduannya baik dalam Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT) PWI, Kode Etik Jurnalistik, maupun Kode Perilaku Wartawan. ”Namun, entah karena kurang sosialisasi atau besarnya godaan, Dewan Kehormatan mencatat masih terjadi pelanggaran yang dilakukan wartawan dan pengurus PWI,” kata Ilham.
Salah satunya adalah kasus yang sekarang sedang ditangani Dewan Kehormatan PWI, yakni dukungan secara terbuka pengurus PWI di suatu daerah terhadap salah satu pasangan calon dalam pemilihan gubernur. Rapat Dewan Kehormatan PWI merekomendasikan kepada Pengurus Pusat PWI untuk menindak tegas oknum pengurus itu.
Ilham mengingatkan, mendukung saja tidak boleh, apalagi menjadi anggota tim sukses atau menjadi pasangan calon. Menurut PD/PRT PWI yang terbaru, hasil Kongres PWI di Solo, Jawa Tengah, pada September 2018, jika pengurus PWI bertindak partisan dalam pemilu/pilkada, mereka harus mengundurkan diri sebagai anggota PWI dan bukan lagi cuti. Keputusan yang lebih tegas itu tidak lain dikeluarkan demi menjaga integritas, martabat, dan profesionalitas wartawan.
Peran media hendaknya lebih ditekankan untuk mengawal terselenggaranya kontestasi politik yang jujur dan adil serta menyosialisasikan pasangan calon secara terang benderang agar masyarakat tidak salah pilih. Dewan Kehormatan PWI mengajak insan pers untuk menjaga jarak politik pada pilkada sehingga bisa memberikan panduan politik yang benar kepada masyarakat dan mewujudkan pilkada yang aman di tengah pandemi Covid-19.
Jika pengurus PWI bertindak partisan dalam pemilu/pilkada, mereka harus mengundurkan diri sebagai anggota PWI dan bukan lagi cuti.
Dewan Kehormatan PWI juga menyoroti masih adanya ketidakakuratan dalam pemberitaan di masyarakat sehingga terjadi bias informasi. ”Jadi wartawan itu berat tanggung jawabnya. Dituntut selalu profesional, menjaga kode etik dan kode perilaku wartawan,” ujar Ilham.
Untuk menjaga independensi media dan wartawan dalam Pilkada 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah membuat Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020, yang diperbarui dengan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020, yang menegaskan, kampanye di media cetak dan media elektronik dibiayai oleh KPU. Pengelola media tak perlu berhubungan dengan calon kepala daerah, yang bisa saja memengaruhi independensi media dan wartawannya. Calon kepala daerah bisa melakukan kampanye di media daring atau media sosial, tetapi terbatas hanya 14 hari sebelum masa tenang dan tetap disesuaikan dengan ketentuan hukum terkait media dan wartawan.