Makna Pertemuan China-Korea Utara
Bagi Korea Utara, China merupakan negara istimewa. Saat Pyongyang menggelar parade meriah memperingati hari ulang tahunnya ke-70 pada 9 September 2018, Utusan Khusus China Li Zhanshu duduk di sebelah Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.
Kedekatan hubungan kedua negara memiliki sejarah panjang. China dan Korea Utara telah menjalin hubungan bilateral sejak 70 tahun yang lalu. China juga rutin mengirim rombongan kesenian untuk memeriahkan festival seni tahunan yang diselenggarakan di Pyongyang sejak 1986.
Keduanya juga dipersatukan dalam ideologi yang sama, komunis. Selain itu, China dan Korea Utara juga bahu-membahu saat terlibat Perang Korea pada 1950-1953 menghadapi Korea Selatan yang dibantu Amerika Serikat.
Bukan hanya dari sisi waktu dan kesamaan ideologi. Relasi istimewa ini juga terlihat dalam beberapa kesempatan saat China sering kali membela kepentingan Korea Utara. Pada 2014, China menyatakan keberatan dengan rencana Majelis Umum PBB yang mendorong Korea Utara diadili di Mahkamah Kriminal Internasional terkait pelanggaran hak asasi manusia.
Usul tersebut didasarkan pada hasil penyelidikan Komite HAM PBB terhadap temuan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara. China berpendapat, masalah itu seharusnya cukup ditangani Dewan HAM PBB.
Dua tahun kemudian, China juga beraksi keras ketika Korea Selatan dan Amerika Serikat mengancam eksistensi Korea Utara. Seoul dan Washington sepakat memasang sistem pertahanan antirudal The Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di wilayah Korea Selatan. Alasannya, sistem pertahanan tersebut untuk menghadapi berkembangnya kemampuan senjata nuklir dan rudal Korea Utara.
China menolak rencana tersebut dan memanggil pulang duta besarnya dari Korsel dan AS. Menurut China, kesepakatan Korsel-AS itu dapat mengganggu keseimbangan keamanan di kawasan dan mengancam penyelesaian program pengembangan senjata nuklir Korea Utara.
Beijing merupakan sahabat baik Pyongyang di tengah isolasi yang dihadapi akibat percobaan-percobaan nuklir Korea Utara yang dianggap mengancam keamanan dunia.
Dewan Keamanan PBB memberlakukan sanksi ekonomi kepada Korut, antara lain mengurangi pasokan bahan bakar dan melarang perdagangan barang-barang yang bisa memberikan 90 persen pendapatan ekspor Korut.
Selain itu, ada pula sanksi berupa larangan menjual besi, baja, dan logam lain. Larangan ini mencakup hampir 150 kategori produk yang mencakup banyak hal, mulai dari batangan-batangan baja hingga sendok dan klip kertas.
Ketergantungan Pyongyang terhadap Beijing makin meningkat seiring sanksi internasional. Sebelum sanksi diberlakukan, China merupakan mitra dagang terbesar sekaligus penyuplai terbesar bahan bakar minyak ke Korea Utara. Inilah istimewanya China bagi Korea Utara.
Pertemuan Kim-Xi
Banyak cara menjaga kualitas hubungan diplomatik, seperti membuka kantor perwakilan, melakukan kunjungan kenegaraan, serta mengirimkan utusan resmi atau delegasi budaya. Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un juga melakukan kunjungan ke China sebagai bagian dari diplomasi luar negeri.
Semenjak menggantikan ayahnya, Kim Jong Il, pada 2011, lawatan perdana yang dilakukan Kim Jong Un adalah mengunjungi Presiden Xi Jinping. Intensitas perjumpaan dua pemimpin negara tersebut cukup tinggi.
Kompas mencatat dalam kurun delapan bulan, Kim dan Xi telah mengadakan empat kali pertemuan. Pertemuan yang terkini adalah yang keempat diadakan pada 8-9 Januari 2019.
Sebelumnya, Kim bertemu Xi Jinping pada Juni 2018. Dalam pertemuan itu, Kim mengunjungi proyek-proyek industri dan sejumlah pabrik di sepanjang perbatasan China-Korut.
Pertemuan pada awal tahun 2019 sarat dengan upaya perlucutan nuklir Korut. China tetap pada sikapnya mendukung Korut dalam upaya menciptakan perdamaian di kawasan Semenanjung Korea.
China juga mendorong kedua belah pihak untuk mempertegas hasil kesepakatan di Singapura. Xi juga memberikan restunya untuk pembicaraan lebih lanjut antara pemimpin Korea Utara dan Presiden Trump.
Kesepakatan antara Kim dan Trump pada 12 Juni 2018 adalah jika Kim mengubur proyek nuklirnya, Dewan Keamanan PBB dan AS akan mencabut sanksi ekonomi atas Korut.
Korut mengirimkan tanda keseriusan dalam memenuhi komitmen mengubur proyek senjata nuklirnya. Citra satelit bertanggal 20 Juli 2018 menunjukkan aktivitas pekerja membongkar sebuah fasilitas yang diindikasikan sebagai lokasi pusat peluncuran rudal balistik. Fasilitas yang dibongkar tersebut adalah Peluncuran Satelit Sohae, Changya-dong.
Pascapertemuan dengan Trump, Kim Jong Un juga telah menandatangani pakta perjanjian denuklirisasi Korut. Pyongyang berjanji akan menutup fasilitas uji coba dan peluncuran roket Tongchang-ri serta menutup kompleks nuklir Nyonbyon.
Selain berjanji membongkar fasilitas nuklirnya, Kim Jong Un juga mempersilakan pihak internasional yang kredibel dalam bidang nuklir untuk mengawasi proses denuklirisasi.
Di sisi lain, Korea Utara mempertanyakan keseriusan komitmen AS terkait sanksi ekonomi. Keraguan ini tampak dari kemunduran negosiasi denuklirisasi ketika pertemuan antara Mike Pompeo dan Kim Jong Un batal pada awal November 2018.
China memegang peran penting dalam buntunya kemajuan penyelesaian nuklir Korea Utara. Pyongyang membutuhkan dukungan China sebagai jembatan agar AS membuat langkah taktis sebagai tindak lanjut denuklirisasi Korea.
Jika AS masih tetap pada pendiriannya, bukan tidak mungkin masa depan perdamaian Korea dapat terancam. Terlebih, Kim Jong Un telah menyatakan akan mencari cara baru untuk mempertahankan kedaulatan Korea Utara. Namun, Kim juga menyatakan kesiapannya untuk kembali bertemu dengan Trump.
Keinginan ini senada dengan Trump yang masih ingin menyelenggarakan KTT AS-Korea Utara pada tahun ini. Trump bahkan menyatakan bahwa ia akan mengadakan KTT pada Januari atau Februari 2019 dengan mengundang Kim Jong Un ke AS.
Kontribusi China menentukan posisi Korea Utara dalam diplomasi nuklir, terutama dalam hubungannya dengan AS. Korea Utara perlu berkoordinasi dengan China dalam menghadapi tekanan AS.
Hal menarik dari pertemuan tersebut adalah posisi Korut dan China yang sama-sama berseberangan dengan Amerika Serikat. Di satu sisi, Pyongyang memiliki problem denuklirisasinya, di sisi yang lain Beijing juga sedang terlibat perang dagang dengan Washington.
Koran The Wall Street Journal memberitakan pertemuan dua pemimpin negara komunis itu dengan judul ”Summit for Leaders of North Korea and China Sends Message to U.S.”.
Pertemuan kedua pemimpin memberikan pesan kepada AS. Washington membutuhkan kerja sama dengan China untuk menegakkan sanksi terhadap Korea Utara. Selain itu, Amerika memerlukan pengaruh China untuk mendorong sekutu komunisnya segera membuat konsesi agar menghentikan persenjataan nuklirnya.
Restu Xi Jinping kepada Kim Jong Un untuk mengadakan pembicaraan lebih lanjut dengan Presiden Trump juga menjadi oase bagi perdamaian Korea yang sempat meredup. (LITBANG KOMPAS)