Untuk kelima kalinya, Mahkamah Konstitusi akan mengambil peran penting dalam penentuan kepemimpinan nasional. Kejernihan dan kecermatan para hakim MK menimbang fakta dan menjatuhkan putusan, akan sangat memengaruhi citra lembaga ini ke depan.
Oleh
BIMA BASKARA
·4 menit baca
Untuk kelima kalinya, Mahkamah Konstitusi akan mengambil peran penting dalam penentuan kepemimpinan nasional. Kejernihan dan kecermatan para hakim MK menimbang fakta dan menjatuhkan putusan, akan sangat memengaruhi citra lembaga ini ke depan.
Mahkamah Konstitusi tercatat telah menolak empat gugatan ke MK terkait hasil pemilihan presiden (pilpres). Tahun 2004, MK menolak gugatan hilangnya 5,4 juta suara di 26 provinsi yang diajukan pasangan calon Wiranto-Salahuddin Wahid. Tahun 2009, MK kembali menolak dua gugatan pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni pasangan calon Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan pasangan calon Jusuf Kalla-Wiranto. Tahun 2014, gugatan yang diajukan pasangan calon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa juga ditolak MK.
Kedudukan MK sebagai lembaga pengawal konstitusi memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mengacu pada perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2002, terdapat setidaknya sembilan organ yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari UUD dalam struktur kelembagaan negara.
Adapun organ negara tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Presiden beserta Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan tentu saja Mahkamah Konstitusi. Artinya, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi bersifat independen, secara struktural maupun fungsional, MK bersifat independen. Kepentingan untuk menjaga independensi lembaga ini sedemikian kuat hingga MK juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain.
Kuatnya independensi MK dari sejak awal pembentukannya, mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Hasil survei telepon yang diselenggarakan Kompas 19-20 Juni lalu yang diselenggarakan saat sidang MK masih berlangsung, menunjukkan sinyal tersebut.
Hasil survei terhadap 539 responden di 17 kota besar ini menunjukkan, tujuh dari 10 responden meyakini bahwa para hakim MK akan mengedepankan independensi mereka dalam memutuskan perkara PHPU. Artinya, secara umum, publik menaruh keyakinan yang besar terhadap kredibilitas para hakim MK yang menangani perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) merujuk pada survei ini.
Keyakinan bahwa para hakim MK memiliki integritas dan independesi dalam memutus perkara tersebut muncul tak hanya dari kelompok masyarakat yang konsisten mengikuti pemberitaan sidang melalui media massa. Lebih dari tiga perempat responden yang hanya sesekali mengikuti jalannya persidangan MK melalui media massa dan 57 persen responden lain yang sama sekali tidak pernah mengikuti pemberitaan persidangan, tetap yakin bahwa para hakim akan bersikap netral dan independen.
Sebagian publik yang percaya bahwa telah terjadi kecurangan di Pemilu 2019 pun tetap menaruh kepercayaan relatif besar atas kredibilitas MK. Setidaknya enam dari 10 responden jajak pendapat ini mengungkapkan pendapat demikian.
Menjaga citra
Di mata publik, lembaga Mahkamah Konstitusi memiliki rekam jejak citra yang positif. Hasil survei periodik Litbang Kompas, sejak 2015-2019 di seluruh provinsi di Indonesia, citra positif MK selama lima tahun terakhir rata-rata pada angka 65,7 persen. Bahkan, dalam jajak pendapat periode ini, citra positif MK mencapai 69,6 persen. Artinya, lembaga peradilan hukum tertinggi ini dipandang publik memiliki citra yang baik dalam menjalankan kewenangannya memutus perkara.
Kendati demikian, hasil jajak pendapat ini juga menunjukkan sinyal menurunnya citra MK sepanjang beberapa periode survei periodik. Pada empat periode survei, yakni Oktober 2015, April 2016, Oktober 2016, dan April 2017, citra MK cenderung menurun dari 72,3 persen menjadi 58,5 persen.
Pola serupa terjadi pada empat periode survei periodik lainnya, yakni Oktober 2017 dan April 2018, kemudian di survei Oktober tahun lalu dan Maret tahun ini. Citra MK di empat survei periodik tersebut juga menunjukkan kecenderungan menurun dari 68,9 persen ke 62,6 persen.
Tak bisa dimungkiri, sinyal menurunnya citra MK berkaitan dengan persoalan yang melibatkan anggota lembaga tersebut. Tahun 2014, Ketua Hakim MK Akil Mochtar divonis seumur hidup karena terbukti bersalah terkait kasus tindak pidana pencucian uang dan menerima hadiah atau janji terkait pengurusan sengketa pilkada. Adapun pada September 2017, hakim MK Patrialis Akbar juga mendapatkan vonis 8 tahun penjara setelah terbukti bersalah menerima suap dari pengusaha impor daging.
Pengganti Patrialis Akbar, yakni Saldi Isra, sering dikaitkan dengan pemerintahan saat ini. Saldi beberapa kali ditunjuk sebagai panitia seleksi untuk pemilihan pejabat tertentu di masa pemerintahan saat ini. Tahun 2012, Saldi pernah mendapatkan penghargaan Pahlawan Muda Bidang Pemberantasan Korupsi dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Tak bisa dimungkiri, posisi hakim konstitusi, yang secara administratif diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden, bisa mempengaruhi citra MK secara politis. Sementara, sebagai lembaga negara pengawal konstitusi, MK selayaknya bebas dari campur tangan pihak mana pun dan dalam bentuk apa pun. Prinsip ini menghendaki adanya jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman. Tak terkecuali, independensi peradilan MK idealnya lepas dari campur tangan urusan-urusan politik. (BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)