Dilema Industri Pengolahan Tembakau
Alokasi pengeluaran per kapita penduduk Indonesia untuk produk olahan tembakau mengalahkan pos belanja bahan makanan sumber protein penting, seperti daging, ikan, telur, dan sayuran. Fenomena ini sudah berlangsung lama, bahkan kian meningkat nominal belanjanya.
Hari kampanye untuk bebas dari asap tembakau yang diprakarsai WHO sejak 32 tahun yang lalu tampaknya tidak memancing niat sebagian masyarakat mengurangi konsumsi rokok. Rokok tetap menjadi salah satu kebutuhan penting masyarakat dalam konsumsi sehari-hari. Bahkan, sebagian masyarakat lebih memprioritaskan merokok daripada mengonsumsi makanan bergizi.
Berdasarkan data BPS tahun 2018 tentang pengeluaran konsumsi penduduk Indonesia, belanja rokok dan tembakau merupakan salah satu pengeluaran terbesar kelompok bahan makanan. Belanja rokok menduduki peringkat ketiga setelah belanja makanan-minuman jadi dan belanja padi-padian (beras dan serealia).
Pengeluaran per kapita untuk belanja produk olahan tembakau tahun lalu rata-rata sekitar Rp 66.000 per bulan atau 12 persen dari total belanja bahan makanan. Empat tahun sebelumnya, nilai pengeluaran konsumsi rokok dan tembakau rata-rata di Indonesia masih sekitar Rp 53.000 per orang sebulannya.
Kenaikan nilai belanja ini mengindikasikan sejumlah hal. Di antaranya terjadi peningkatan konsumsi masing-masing perokok, kenaikan harga penjualan rokok, atau jumlah perokok bertambah banyak sehingga akumulasi pembelian masyarakat kian meningkat.
Dari 34 provinsi di Indonesia, ada 5 provinsi yang belanja per kapita rokoknya pada tahun 2018 tergolong sangat tinggi, yakni lebih dari Rp 80.000 per bulan. Daerah tersebut adalah Provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka Belitung, Banten, dan Kalimantan Tengah. Bahkan, untuk masyarakat Bangka Belitung nominalnya hampir menyentuh Rp 100.000 sebulan.
Pembunuh Utama
Bertambahnya belanja rokok tersebut mengindikasikan jika sebagian masyarakat mengabaikan ancaman potensi gangguan kesehatan akibat merokok. Menurut laporan Kementerian Kesehatan pada saat memperingati hari tanpa tembakau sedunia tahun 2018 yang lalu menyatakan, penyakit kardiovaskular, seperti jantung dan stroke, adalah penyakit pembunuh utama di Indonesia.
Penyakit ini salah satunya dipicu konsumsi rokok yang terus-menerus sehingga mengancam kesehatan jantung, pembuluh darah, dan organ tubuh lainnya. Pada tahun 2018, jumlah penderita penyakit jantung di Indonesia mencapai 1 juta orang dan stroke sekitar 713.000 orang. Daerah dengan jumlah penderita terbanyak kedua penyakit ini berada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Penderita di daerah ini masing-masing mencapai lebih dari 100.000 jiwa.
Tingginya penderita penyakit kardiovaskular di daerah tersebut bukan tidak mungkin salah satunya dipicu kebiasaan merokok di masyarakat setempat. Rokok sudah menjadi budaya yang lazim dikonsumsi. Di hampir semua tempat dapat dengan mudah dijumpai orang yang sedang merokok. Bahkan, tak jarang para perokok itu tidak peduli dengan kondisi di sekelilingnya.
Prediksi kenaikan jumlah perokok secara tidak langsung juga akan mendorong kenaikan jumlah penderita penyakit akibat merokok. Tentu saja juga akan turut mendorong naiknya belanja kesehatan untuk mengobati penyakit tersebut. Pada tahun 2016, BPJS Kesehatan mengeluarkan pembiayaan untuk perawatan kesehatan jantung mencapai kisaran Rp 7,4 triliun atau sekitar 11 persen dari total iuran BPJS tahun 2016 yang terkumpul sekitar Rp 67 triliun.
Dapat dibayangkan besarnya biaya kesehatan apabila penyakit jantung dan sejumlah penyakit lainnya akibat merokok, seperti stroke, paru-paru, dan penyakit paru obstruktif kronik, diakumulasikan menjadi satu. Nilai pengobatannya bukan tidak mungkin akan terus membesar seiring dengan masih banyaknya masyarakat Indonesia yang merokok.
Kementerian Kesehatan memperkirakan 3 dari 10 orang Indonesia adalah perokok. Prevalensi ini harus terus ditekan karena akan berpotensi memengaruhi orang lain yang belum merokok untuk mencoba mencicipi rokok.
Kebiasaan sejak muda
Merokok tampaknya sudah menjadi adat kebiasaan yang sulit dihilangkan di masyarakat. Hal ini terindikasi dari angka prevalensi penduduk usia di atas 15 tahun yang mengonsumsi tembakau jumlahnya relatif selalu stabil.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada tahun 2007-2018 menunjukkan jika angka prevalensi itu rata-rata selalu berada di kisaran 33-34 persen jumlah penduduk. Artinya, jumlah perokok tidak mengalami penurunan dari waktu ke waktu.
Hasil Riskesdas tahun 2018 juga menunjukkan jika prevalensi perokok pada populasi usia 10-18 tahun sebanyak 9,1 persen. Estimasi jumlah perokok usia dini ini meningkat dari hasil riset sebelumnya. Pada Riskesdas tahun 2013 sebesar 7,2 persen dan tahun 2016 sebesar 8,8 persen.
Meningkatnya jumlah prevalensi ini sangat memprihatinkan karena menandakan jumlah perokok pada golongan pelajar kian bertambah banyak. Bahkan, tak jarang ditemui kasus seorang perokok yang sudah mulai mencoba mengisap rokok sejak bangku sekolah dasar.
Fenomena tersebut disebabkan sejumlah faktor. Salah satunya karena mudahnya membeli rokok di lingkungan masyarakat. Hampir semua warung, toko, dan supermarket menjual komoditas rokok ini. Selain itu, tidak ada larangan bagi pembeli rokok mengenai batasan usianya. Anak-anak yang masih kecil pun dapat dengan leluasa membeli rokok dengan mudah di warung-warung. Rokok juga dapat dibeli secara eceran batangan sehingga harganya menjadi lebih murah dan terjangkau bagi anak-anak.
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan pada tahun 2019, harga jual eceran minimum rokok batangan adalah Rp 1.350. Harga ini apabila sampai di warung-warung biasanya dibulatkan menjadi Rp 1.500-Rp 2.000 per batang. Harga ini relatif sangat murah dan sangat terjangkau oleh kantong para para pelajar. Jadi, tak heran apabila kebiasaan merokok di sebagian masyarakat Indonesia dimulai sejak dini ketika masih usia sekolah.
Dilema industri rokok
Budaya merokok yang sudah membumi di sebagian masyarakat serta usia perokok pemula yang kian belia membuat rokok menjadi semacam ancaman bagi kesehatan penduduk di masa depan. Hal ini sangat dilema bagi industri rokok nasional. Di satu sisi bersifat positif karena menciptakan industrialisasi yang menyediakan lapangan pekerjaan dan menyumbang pendapatan negara berupa cukai. Di sisi lain berdampak negatif karena berpotensi menimbulkan penyakit, baik bagi para perokok maupun lingkungan sekitarnya.
Bagi perekonomian nasional, industri rokok memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan negara. Pada tahun 2011-2018 rata-rata negara menerima hasil cukai industri tembakau rata-rata sekitar Rp 119 triliun per tahun. Kontribusi sumbangan cukai kepada negara rata-rata meningkat sekitar 10 persen atau Rp 10 triliun per tahun sehingga kontribusi pada tahun 2018 mencapai Rp 148 triliun.
Nominal ini tidak terpaut jauh dengan keuntungan total 115 perusahaan BUMN Indonesia pada tahun 2017 yang mencapai Rp 187 triliun. Hal ini menandakan jika industri pengolahan tembakau ini memiliki posisi strategis bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, jumlah industri rokok yang mencapai kisaran 700 perusahaan itu mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi sekitar 5,98 juta orang.
Pada tahun 2018, industri pengolahan tembakau tersebut mampu menciptakan hasil produksi senilai Rp 260 triliun. Nominal ini melonjak sekitar 46 persen dari nilai produksi tahun 2013 yang terkumpul sekitar Rp 178 triliun. Sumbangan ini berasal dari industrialisasi pengolahan tembakau yang hanya tersebar di 15 provinsi di Indonesia.
Industri rokok ini memberikan kontribusi bagi PDRB daerah sangat beragam, yakni mulai dari Rp 2 miliar hingga ratusan triliun rupiah per tahun. Daerah dengan kontribusi industri tembakau terbesar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan sumbangan sekitar Rp 95 triliun dan Jawa Timur sebesar Rp 156 triliun.
Meskipun nilai produksi terbesar berpusat di kedua provinsi itu, produk rokok mampu terdistribusikan relatif merata di seluruh Indonesia. Daerah nonprodusen rokok pun juga memiliki prevalensi perokok yang cenderung relatif sama, bahkan lebih tinggi dengan prevalensi daerah penghasil rokok.
Hal ini menandakan jika pemasaran produk rokok sangat masif dilakukan di seantero Indonesia. Mulai dari perkotaan hingga ke pelosok perdesaan sehingga tidak heran jika industri rokok nasional merupakan produk unggulan yang memiliki nilai ekonomi hingga ratusan triliun rupiah.
Besarnya kontribusi ekonomi tersebut menyebabkan industrialisasi rokok dan tembakau memiliki daya tawar yang tinggi terhadap berbagai kebijakan nasional, terutama dengan kebijakan antirokok.
Tingginya angka kematian akibat penyakit yang disebabkan kebiasaan merokok pun tetap tak menghentikan laju industri produk olahan tembakau itu. Hingga 2018, produksi rokok masih sangat tinggi, yakni mencapai lebih dari 320 miliar batang. Rokok sebanyak ini mayoritas untuk memenuhi konsumsi domestik.
Berdasarkan riset WHO, sekitar 36 persen atau 60 juta penduduk Indonesia merupakan perokok aktif. Dengan rata-rata konsumsi 1.085 batang per orang per tahun, Indonesia menempati urutan ke-28 negara dengan konsumsi terbesar di dunia. Pada tahun 2025, jumlah perokok di negeri ini diprediksi bertambah menjadi 90 juta orang. Apalagi saat ini produk turunan rokok sangat beragam dan variatif.
Saat ini ada juga rokok elektrik yang larutan nikotinnya berbentuk esens yang memiliki aroma dan cita rasa beragam. Asapnya pun beraroma memikat, tidak seperti rokok konvensional yang berbau apak dan pengap. Perkembangan rokok modern ini bukan tidak mungkin akan memicu para generasi muda mencoba mencicipi rokok ataupun produk-produk turunannya sehingga prevalensi jumlah perokok muda akan terus meningkat.
Kondisi tersebut menggambarkan betapa rokok memiliki dua sisi wajah yang bertolak belakang. Sisi positif dan negatif yang sama-sama kuat dan sulit dihilangkan. Dalam kondisi demikian peranan negara sangat penting. Setidaknya untuk mengontrol produksi rokok agar prevalensi perokok, terutama usia muda, tidak bertambah dan sekaligus menjaga keberlangsungan industri rokok tetap menguntungkan bagi pengusaha.
Negara harus tegas mengatur tata niaga rokok agar anak-anak usia remaja dan pelajar sulit membeli produk ini. Mulai dari warung-warung kecil hingga pusat pertokoan besar terlarang menjual produk rokok pada anak-anak usia pelajar.
Masyarakat, pelaku usaha, orangtua, dan dunia pendidikan dilibatkan untuk sama-sama mengontrol kebijakan larang merokok bagi anak-anak yang belum cukup usia atau belum dewasa. Langkah ini untuk mencegah penyebaran konsumsi rokok di kalangan generasi muda sehingga dapat menekan prevalensi perokok pemula.
Di sisi lain, untuk menjaga eksistensi industrialisasi rokok, pemerintah harus tegas mendorong produsen agar memfokuskan produknya hanya untuk golongan dewasa dan ekspor. Ada jargon di kalangan perokok ”lebih baik tidak makan daripada tidak merokok” yang menandakan mereka akan berusaha sekuat apa pun untuk membeli rokok.
Oleh sebab itu, berapa pun mahalnya harga rokok, konsumen yang kecanduan akan tetap membelinya. Hal ini adalah peluang bagi pemerintah untuk memfilter pembeli dengan menerapkan cukai yang tinggi sehingga harga jual rokok lebih mahal.
Dengan demikian, rokok hanya dikonsumsi orang golongan dewasa yang memiliki uang. Bukan para pelajar ataupun pengangguran. Hal ini bukan berarti membatasi hak seseorang untuk mengonsumsi rokok, tetapi sebagai upaya agar konsumen rokok terseleksi dan biaya pengobatan penyakit akibat merokok dapat ditekan. (Budiawan Sidik A/Litbang Kompas)