Apa Kata Orang Indonesia tentang Indonesia
Mempertahankan persatuan dari keberagaman yang ada merupakan ujian berbangsa yang sesungguhnya di usia Indonesia yang ke-74 tahun ini.
Mempertahankan persatuan dari keberagaman yang ada merupakan ujian berbangsa yang sesungguhnya di usia Indonesia yang ke-74 tahun ini. Padahal keragaman adalah hal yang paling membanggakan dari Indonesia menurut publik. Di sisi lain, korupsi menjadi momok yang masih membayangi perjalanan bangsa ini.
Hasil jajak pendapat Kompas mengenai makna Indonesia merangkum apa yang terlintas pertama kali di pikiran responden ketika mendengar kata "Indonesia". Kata "maju" menjadi yang terbanyak dipikirkan oleh 17,9 persen responden. "Maju" mewakili salah satu cita-cita leluhur dalam konstitusi, yakni memajukan kesejahteraan umum.
Kata "maju" menjadi yang terbanyak dipikirkan oleh 17,9 persen responden.
Terpaut tidak terlalu jauh di urutan kedua adalah kata "merdeka" (16 persen). Menggaungkan kata "merdeka" menjadi ucapan perayaan kebebasan dari ketertindasan dan eksploitasi yang selama ini dialami. "Merdeka" juga berarti bebas menentukan jalan yang dipilih. Bahwa Indonesia kini sudah berdaulat dan berdiri sendiri. Tak pelak, perayaan kemerdekaan selalu meriah setiap tahunnya. Kultur ini selalu dapat membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat.
Hal lainnya yang terlintas di benak responden ketika mendengar kata "Indonesia" didominasi oleh kata-kata positif, seperti "NKRI", "bangga", dan "Pancasila". Ini menunjukkan publik masih memiliki optimisme terhadap citra tanah airnya. Meski sebagian kecil responden ada pula yang mengaitkan negara ini dengan "kemiskinan" dan "korupsi".
Keragaman
Hasil jajak pendapat juga menunjukkan hampir sebanyak 43 persen responden menjawab "keragaman budaya" sebagai hal yang membanggakan dari Indonesia saat ini. Keragaman etnis, adat istiadat, budaya, termasuk kuliner yang sangat kaya memang dapat menjadi alat persatuan. Hal ini lah yang menjadi landasan nasionalisme bangsa Indonesia.
Meski keragaman menjadi hal yang paling dibanggakan publik dari Indonesia, sayangnya kini terdapat kelompok yang menjadi anti terhadap keragaman. Mereka seakan menafikan keragaman yang ada di masyarakat dan melancarkan aksi-aksi diskriminatif. Praktik-praktik terhadap keberagaman baik itu adat istiadat maupun budaya harus terus digalakkan untuk membangkitkan kembali kesadaran terhadap keragaman.
Terpaut jauh di peringkat kedua, "sumber daya alam" dipilih oleh 19,4 persen responden sebagai hal yang paling dibanggakan dari Indonesia. Sumber daya alam di Indonesia memang sangat kaya hingga mampu menjadi daya tarik wisata seperti Bali, Raja Ampat di Papua, dan Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur.
Meski keragaman menjadi hal yang paling dibanggakan publik dari Indonesia, sayangnya kini terdapat kelompok yang menjadi anti terhadap keragaman.
Akan tetapi, apalah arti kekayaan alam yang melimpah jika tidak memberikan kemakmuran bagi rakyat. Misalnya perairan laut Indonesia yang dapat dikatakan terkaya di dunia. Ironisnya, berdasarkan sensus 2013 hampir seluruh nelayan Indonesia adalah nelayan kecil yang secara ekonomi bergantung pada pemilik modal besar.
Sama halnya dengan sumber daya alam yang sangat kaya di Papua, namun banyak dirusak oleh pembalakan hutan dan penambangan ilegal. Tidak hanya itu, potensi penyimpangan yang merugikan masyarakat dan negara juga sangat tinggi di Papua. Kajian KPK secara nasional juga menunjukkan bahwa penerimaan negara dari sektor sumber daya alam relatif rendah dibanding potensi yang seharusnya diraih (Kompas 2/3/2018).
Korupsi
Dalam jajak pendapat yang sama, diketahui banyaknya pejabat korupsi menjadi hal yang paling tidak disukai dari Indonesia (43,4 persen). Selama satu dekade terakhir, tidak ada satu tahun pun yang luput dari pengungkapan kasus korupsi. Jumlahnya terus meningkat setiap tahun dengan berbagai modus yang semakin beragam.
Sejak tahun 2004 hingga 2018 sudah terdapat 1.135 kasus korupsi yang diselidiki oleh KPK. Jika dilihat berdasarkan pelaku, anggota DPR adalah yang paling banyak melakukan korupsi sepanjang 2004-2018 yakni sebanyak 247 orang. Selanjutnya adalah pihak swasta dan pegawai negeri sipil eselon I-IV.
Laporan dari Indonesia Corruption Watch bahkan menunjukkan, di tahun 2018 saja sudah terdapat 1.087 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Kerugian negara yang ditemukan oleh penegak hukum bahkan mencapi Rp 5,6 triliun.
Korupsi membuat masyarakat tidak percaya kepada para politisi dan pejabat pemerintah. Tanpa rasa malu dan etika para pejabat publik yang seharusnya bekerja untuk rakyat, malah mencederai kepercayaan itu. Indonesia bahkan sudah bisa dikatakan darurat korupsi karena nyaris tidak ada satu tahun pun yang luput dari penindakan korupsi.
Sejalan dengan itu, meski terpaut jauh di peringkat kedua, terdapat 18,9 persen responden yang menjawab bahwa warga yang suka melanggar peraturan adalah hal yang tidak disukai dari Indonesia. Benang merah yang dapat disimpulkan dari dua jawaban terbanyak ini adalah perihal mental sejumlah masyarakat Indonesia.
Tak salah jika pemerintah mengkampanyekan gerakan revolusi mental yang fokus terhadap tiga hal yakni integritas (kejujuran), etos kerja, dan gotong royong. Kampanye ini seakan menjadi oase di gurun pasir yang memberikan optimisme di tengah tantangan yang terus menghantam Indonesia.
Sayangnya hingga satu periode pemerintahan Jokowi-Kalla belum terdapat hasil yang signifikan, paling tidak bisa dilihat dari Aparatur Sipil Negara dan politisi.
Padahal narasi revolusi mental ini harus dimulai oleh elite negara.
Harapannya, contoh konkret dari mereka akan memberi keteladanan kolektif di masyarakat. Memang mengubah mental merupakan pekerjaan panjang bahkan bangsa-bangsa lain memerlukan waktu puluhan tahun untuk berubah. Akan tetapi, jangan sampai kampanye ini hanya sebatas jargon belaka.
Politik Identitas
Permasalahan lainnya yang dihadapi negara kita saat ini adalah gempuran politik identitas. Kabar baiknya menurut jajak pendapat persatuan dan persaudaraan sebagai bangsa Indonesia ternyata masih lebih dominan dibanding identitas lainnya. Mayoritas responden mengaku lebih ingin dikenal sebagai bangsa Indonesia daripada etnis yang melekat atau agama yang mereka anut.
Menguatnya politik identitas patut diwaspadai karena dapat mengoyak tenun kebangsaan. Meski terbilang cukup kecil, namun terdapat 6,7 persen responden menyatakan perilaku intoleran menguat merupakan hal yang tidak disukai dari Indonesia.
Mayoritas responden mengaku lebih ingin dikenal sebagai bangsa Indonesia daripada etnis yang melekat atau agama yang mereka anut.
Upaya yang dilakukan untuk memecah belah bangsa dengan perbedaan etnis dan keyakinan tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu, sebagian besar responden yang lebih memilih bangsa Indonesia sebagai identitas dibanding agama dan etnis adalah sinyal positif untuk masa depan bangsa.
Pada akhirnya persatuan menjadi modal kuat untuk menghadapi banyaknya tantangan, baik dari dalam maupun dari luar. Bangsa ini harus bangun dari tidur lelap yang sudah cukup panjang. Cita-cita luhur para pendahulu ketika revolusi kemerdekaan masih harus terus diwujudkan. Selamat Hari Ulang Tahun Negeriku Indonesia! (Litbang Kompas/Ida Ayu Grhamtika Saitya)