Menyambut Mobil Listrik di Era Industri 4.0
Pengembangan mobil listrik juga terbilang sulit karena belum ada infrastruktur pendukungnya. Mobil listrik memerlukan sarana dan prasarana untuk mengisi ulang baterainya atau SPLU.
Industri otomotif nasional tengah bersiap menyambut era mobil listrik. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian juga mendorong pengembangan mobil listrik sebagai bagian revolusi Industri 4.0. Di sisi lain, mewujudkan mobil ramah lingkungan berhadapan dengan berbagai tantangan.
Harapan terwujudnya mobil listrik sebagai bagian dari derap revolusi industri 4.0 muncul seiring terbitnya payung hukum pengembangan kendaraan listrik pada 8 Agustus 2019 lalu. Melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan, pemerintah berkomitmen mendorong pengembangan industri mobil listrik di dalam negeri.
Kendaraan listrik dinilai bakal memberikan dampak positif untuk berbagai sektor. Salah satunya mengurangi defisit neraca perdagangan dan efisiensi energi. Kendaraan listrik juga bisa menekan emisi pencemaran udara di kota-kota besar di Tanah Air.
Kian bertambahnya kendaraan bermotor setiap tahun mengakibatkan permintaan bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat. Tahun 2017, jumlah kepemilikan mobil di Indonesia tercatat 25,51 juta unit, yang terdiri dari 15,49 juta unit mobil penumpang dan 10,02 juta bus dan truk. Sementara jumlah kendaraan roda dua telah mencapai 113,03 juta unit.
Padahal, seiring dengan peningkatan volume kendaraan tersebut, ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM dan minyak mentah semakin tinggi. Indonesia telah menjadi net importer BBM sejak 2004 karena produksi minyak dalam negeri tidak lagi mencukupi kebutuhan.
Menurut BPS, defisit perdagangan pada 2018 terburuk sepanjang lima tahun terakhir—paling banyak disumbang oleh impor minyak tersebut. Nilai impor minyak nyaris menyentuh angka 30 miliar dollar AS pada 2018.
Terkait efisiensi energi, hasil riset yang dilakukan Kementerian Perindustrian (Kemenperin); Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti); berbagai perguruan tinggi; dan industri otomotif menunjukkan mobil listrik 80 persen lebih hemat energi dibandingkan mobil konvensional.
Hal senada terungkap dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Massachussets Institute of Technology (MIT), Juli 2008. Laporan itu menyebutkan, teknologi kendaraan listrik dinilai paling hemat dibandingkan teknologi kendaraan berbahan bakar minyak ataupun berbahan bakar hidrogen.
Apabila pada 2035 nanti kendaraan yang digunakan adalah kendaraan listrik, besarnya konsumsi bahan bakar memiliki ekuivalen dengan 1,7 liter per 100 km. Ini jauh lebih efisien dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak yang mengonsumsi 5,5 liter per 100 km ataupun kendaraan berbahan bakar hidrogen yang mengonsumsi 2,3 liter per 10 km. Dengan mendorong mobil listrik, diharapkan di masa depan tidak terjadi krisis energi.
Kendaraan listrik juga bisa menjadi solusi terhadap tingginya pencemaran udara, terutama di wilayah perkotaan. Polusi udara yang diakibatkan oleh hasil pembuangan gas dari kendaraan bermotor berbahan bakar fosil membuat kualitas udara menjadi buruk. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan pedoman kualitas udara rata-rata harian sebesar 25 mikrogram per meter kubik udara.
Sebagai informasi, dalam beberapa bulan terakhir kondisi udara Jakarta yang buruk menjadi sorotan karena berada di posisi lima teratas udara terburuk di dunia. Boleh dikatakan, langkah tersebut tidak terlepas dari komitmen Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (CO2) sebesar 29 persen pada 2030.
Basis produksi
Selain bertujuan mengurangi defisit neraca perdagangan, efisiensi energi dan menekan emisi pencemaran udara, pemerintah juga mendorong penguasaan teknologi dan rancang bangun industri kendaraan listrik. Indonesia berharap bisa menjadi basis produksi dan ekspor kendaraan listrik.
Dengan mengacu pada peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional yang ditetapkan Kementerian Perindustrian, pemerintah bakal mendorong pengembangan mobil listrik dalam skala industri, termasuk mendorong manufaktur sebagai elemen pendukung. Oleh karena itu, diharapkan rantai pasokan (supply chain) industri mobil listrik dapat diandalkan berkontribusi bagi perekonomian.
Dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2019 itu disebutkan, selama masa transisi antara 2019 sampai 2021, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sudah harus mencapai angka minimum 35 persen. Pabrikan otomotif harus memenuhi angka 80 persen kandungan lokal hingga tahun 2029.
Beragam insentif ditawarkan pemerintah untuk mendorong pabrikan memproduksi mobil listrik sesuai dengan profil pendapatan masyarakat Indonesia. Sebab, di tingkat global pun, mobil listrik yang dijual saat ini masih terhitung mahal dibanding mobil berbahan bakar BBM.
Insentif memang menjadi salah satu daya tarik produsen mobil listrik untuk menentukan keputusan satu negara jadi basis produksi. Di sejumlah negara di mana mobil listrik laris, salah satu faktor utamanya adalah insentif, mulai dari Norwegia, China, AS, Eropa, hingga Jepang sekalipun. Insentif bisa berupa potongan harga langsung ke konsumen, relaksasi pajak buat produsen sampai pada akses umum, seperti gratis biaya tol dan parkir.
Selain pengembangan industri, infrastruktur stasiun pengisian listrik umum (SPLU) juga bakal disiapkan. Sasaran dan target percepatan kendaraan mobil listrik antara lain ketersediaan SPLU sebanyak 1.000 unit pada 2025 dan akan meningkat menjadi 10.000 unit pada 2050. Kemudian jumlah mobil listrik sebanyak 2.200 unit pada 2025 dan akan bertambah menjadi 4,2 juta unit pada 2050.
Tren global
Langkah pemerintah dengan mendorong sektor kendaraan listrik tersebut tidak terlepas dari tren global kendaraan masa depan yang hemat energi dan ramah lingkungan. Tujuan utamanya adalah mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim pemanasan global di bumi. Bahkan, di sejumlah negara, penjualan kendaraan berbahan bakar minyak pada masa mendatang akan dilarang, seperti di Norwegia (2025), Jerman, Inggris, Amerika, India (2030), serta Perancis (2040).
Dihimpun dari Green Car Reports awal tahun ini, peringkat pertama negara dengan mobil listrik per kapita terbanyak adalah Norwegia, yaitu 3,3 persen dari total populasi. Disusul kemudian Belanda (0,7 persen), Swedia (0,4 persen) dan Belgia (0,3 persen), Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jepang, Jerman, serta China yang bertengger di urutan kesepuluh.
Tren mobil ramah lingkungan itu membuat penjualannya tumbuh eksponensial. Adapun negara pengguna terbesar mobil listrik adalah China dengan 2,24 juta unit. Amerika Serikat menjadi negara terbesar kedua dalam penggunaan mobil listrik dengan 1,13 juta unit menurut catatan International Energy Agency (IEA).
Kebijakan negara lain
Naiknya penjualan kendaraan listrik di negara-negara tersebut terkait erat dengan kebijakan yang diambil oleh masing-masing pemerintah. Di Eropa, penjualan mobil listrik meningkat seiring ketatnya standar emisi. Saat ini, negara-negara di Eropa telah menerapkan standar emisi Euro 6. Semakin tinggi standar emisi, semakin minim pula kandungan gas berbahaya dari kendaraan.
Keluarnya aturan standar emisi tersebut membuat pabrikan otomotif berinovasi untuk menciptakan mobil listrik dan menjaga angka penjualan di Eropa. Salah satu negara yang minat pengguna mobil listriknya paling tinggi adalah Norwegia. Menurut data Statista, tahun 2018 lalu, persentase pembelian mobil listrik di negara tersebut mencapai 49,14 persen.
Sejauh ini, Norwegia dikenal unggul dalam hal konversi ke kendaraan listrik berkat kebijakan pemerintah yang memberikan banyak kemudahan. Sejumlah kebijakan yang diambil Pemerintah Norwegia itu mulai dari pembebasan pajak, pembebasan tol, hingga pemberian insentif.
Di kawasan Asia Tenggara, konversi dari mobil konvensional berbahan bakar minyak ke mobil listrik masih belum terasa. Mayoritas pemerintah di kawasan tersebut masih dalam tahap membuat regulasi dan infrastruktur pendukung untuk memperlebar dan memuluskan jalan masuk mobil listrik.
Publikasi Nikkei Asian Review pada 10 Oktober 2017 mendeskripsikan, Thailand mulai memberikan insentif bagi konsumen dan investor untuk meningkatkan industri kendaraan listrik domestik. Pembebasan pajak penghasilan perusahaan selama delapan tahun ditawarkan bagi investor untuk perakitan kendaraan listrik domestik jenis baterai dan tiga tahun untuk investor mobil listrik hibrida colok (PHEV).
Selain itu, perusahaan kendaraan listrik di Thailand diberi kemudahan dengan memperpanjang pembebasan pajak masing-masing hingga 6-10 tahun jika mereka menghasilkan komponen utama, seperti baterai dan kereta listrik, di dalam negeri. Mesin yang diperlukan untuk memproduksi semua jenis kendaraan listrik, termasuk mobil hibrida, ikut dibebaskan dari tarif impor.
Peluang
Pelaku industri otomotif di Tanah Air umumnya menyambut baik terbitnya payung hukum mobil listrik. Aturan tersebut dianggap bakal memuluskan pabrikan otomotif untuk memboyong line up mobil listriknya ke Indonesia.
Peluang pasar pengembangan industri mobil listrik sebenarnya tidak lepas dari besarnya pasar otomotif, khususnya pada segmen mobil penumpang. Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Terlebih, rasio kepemilikan kendaraan Indonesia masih rendah, yakni sekitar 87 kendaraan per 1.000 penduduk, sehingga potensi kepemilikan kendaraan ke depan masih besar.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia dengan tingkat rasio kepemilikan kendaraan 400 unit mobil per 1.000 penduduk atau Thailand dengan rasio 200 unit per 1.000 penduduk, kepemilikan kendaraan di Indonesia cukup jauh tertinggal.
Sektor industri otomotif diprediksi masih akan tumbuh positif pada tahun-tahun mendatang. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memproyeksikan pertumbuhan pasar industri otomotif setiap tahun antara 5 persen dan 10 persen. Sementara sebuah studi di Amerika menyebutkan, pasar otomotif Indonesia akan tumbuh sekitar 6,5 persen per tahun. Dibandingkan negara lain di Asia, angka ini hanya kalah dengan China dan India.
Geliat pembangunan infrastruktur jalan dari barat hingga timur Indonesia diperkirakan akan menjadi salah satu katalis pertumbuhan industri otomotif. Ini menjadi peluang bagi pengembangan industri mobil listrik nasional.
Studi yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2014 menjabarkan sejumlah peluang yang dapat dilakukan pemerintah untuk mendorong penggunaan mobil listrik. Sebagai tahap awal, target pasar mobil listrik dapat ditujukan pada mobil dinas pemerintahan, BUMN, dan BUMD meskipun jumlah mobil dinas tersebut jauh lebih kecil dibandingkan mobil pribadi. BPS memperkirakan jumlah mobil dinas pemerintahan, BUMN,dan BUMD maksimal sebesar 5 persen dari jumlah mobil secara keseluruhan (umum dan bukan umum).
Tipe mobil listrik yang cocok dikembangkan saat ini adalah tipe mobil perkotaan (city car) karena merupakan mobil penumpang yang pangsa pasarnya cukup besar di Indonesia. Selain itu, jarak tempuh mobil listrik yang masih terbatas serta teknologi mobil listrik city car yang telah kita kuasai menjadi pertimbangan lain.
Target pasar potensial lainnya untuk mobil listrik nasional adalah mobil angkutan umum dalam kota seperti taksi dan angkutan kota (angkot), terutama yang berada di wilayah Pulau Jawa. Taksi dan angkot dipilih karena mempertimbangkan jarak tempuh dan jangkauan areanya ada di dalam kota dan ini sesuai dengan jangkauan mobil listrik.
Tantangan
Mewujudkan kendaraan listrik di Indonesia tidaklah mudah. Ada banyak hal yang mesti dilakukan pemerintah dan pemangku kepentingan termasuk kalangan industri dan pengusaha untuk ikut berkontribusi menciptakan kendaraan yang lebih ramah lingkungan.
Salah satu persoalan utama adalah harga kendaraan listrik yang masih relatif mahal jika dibandingkan mobil konvensional berbahan bakar minyak. Penyebabnya, salah satu komponen utamanya, yaitu baterai, mahal harganya karena belum diproduksi secara massal.
Harga baterai mobil listrik sendiri sekitar 40 persen dari harga mobil listrik. Mahalnya mobil listrik tersebut bisa berdampak pada minat masyarakat untuk membelinya. Saat ini, harga mobil listrik Rp 400 juta sampai Rp 500 juta.
Persoalan lain adalah jarak tempuh mobil listrik masih terbatas karena kapasitas baterai mobil listrik masih terbatas. Ini berbeda jika dibandingkan dengan mobil berbahan bakar minyak yang memiliki jarak tempuh panjang karena dukungan ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar.
Pengembangan mobil listrik juga terbilang sulit karena belum ada infrastruktur pendukungnya. Mobil listrik memerlukan sarana dan prasarana untuk mengisi ulang baterainya atau SPLU. SPLU tersebut semestinya tersedia di berbagai tempat, baik di tempat umum maupun di rumah pemilik mobil. Pemerintah harus memelopori pembangunan sarana dan prasarana SPLU karena infrastruktur ini sangat penting guna menunjang berkembangnya pemakaian mobil listrik oleh masyarakat luas.
Terkait hal itu, Perusahaan Listrik Negara (PLN) berkomitmen untuk mendukung industri mobil listrik di Indonesia dengan membangun infrastruktur berupa stasiun pengecasan. Totalnya, sudah ada lebih dari 7.000 SPLU yang dibangun di seluruh Indonesia.
Jika program mobil listrik nasional akan digulirkan, pemerintah sepatutnya memperhitungkan kebutuhan dan ketersediaan energi listrik yang ada saat ini. Hal ini menjadi krusial karena tingkat elektrifikasi di Indonesia masih belum 100 persen terpenuhi. Banyak wilayah atau penduduk Indonesia belum dapat menikmati listrik hingga saat ini.
Dalam hal produksi, mobil konvensional sudah sangat tertata mulai dari hulu sampai hilir. Tentu ini menjadi tantangan bagi mobil listrik nasional. Pengembangan industri mobil listrik nasional membutuhkan perencanaan, mulai dari industri utama sampai industri pendukungnya. Tantangan lain adalah bagaimana memperkenalkan kendaraan listrik kepada konsumen. Masa peralihan merupakan ajang edukasi bagi masyarakat dalam mengenal teknologi mobil listrik. (Litbang Kompas)