Literasi Minim, Problem Kejiwaan Terus Terabaikan
Harus diakui, literasi publik mengenai kesehatan jiwa masih minim. Setiap orang sangat mudah terpapar masalah kejiwaan. Namun, tidak semua orang sadar dengan kondisi kesehatan kejiwaannya.
Harus diakui, literasi publik mengenai kesehatan jiwa masih minim. Setiap orang sangat mudah terpapar masalah kejiwaan. Namun, tidak semua orang sadar dengan kondisi kesehatan kejiwaannya, apalagi untuk meminta pertolongan. Oleh karena penyebab masalah kejiwaan tidak hanya karena faktor individu, negara juga punya tanggung jawab besar untuk mencegah terjadinya dan menyediakan layanan kesehatan jiwa yang baik.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, penanganan terhadap orang yang mengalami gangguan kejiwaan masih minim. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam paparan Mental Health Action Plan 2013-2020 disebutkan, sistem jaminan kesehatan di negara mana pun belum melayani pasien yang mengalami gangguan mental. Itu sebabnya terjadi kesenjangan yang tinggi antara orang-orang yang membutuhkan penanganan masalah kejiwaannya dan angka orang-orang yang tertangani.
Catatan WHO menunjukkan 76-85 persen orang dengan gangguan mental berat di negara yang berpendapatan rendah dan menengah tidak mendapat penanganan yang semestinya. Sementara pada negara yang berpendapatan tinggi pun angkanya masih cukup tinggi, yaitu 35-50 persen. Secara global, pengeluaran tahunan untuk kesehatan mental kurang dari 2 dollar AS per orang dan di negara berpendapatan rendah angkanya kurang dari 0,25 dollar AS per orang. Artinya, tidak sampai Rp 5.000 per orang per tahun pada kurs rupiah saat ini.
Mengapa negara punya peran dan harus ikut bertanggung jawab dalam penanganan masalah kesehatan jiwa? Hal itu karena faktor utama yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan kejiwaan bukan semata akibat ketidakmampuan individu dalam mengendalikan pikiran, perasaan, dan perilakunya dalam berinteraksi dengan orang lain.
Hal itu juga disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri individu yang terkait dengan kondisi sosial, kultural, ekonomi, lingkungan, bahkan politik yang memengaruhi, antara lain standar hidup dan kondisi pekerjaan seseorang. WHO menyebutkan, terdapat beberapa kelompok dalam masyarakat yang berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental.
Kelompok yang rentan ini adalah keluarga yang hidup dalam kemiskinan, orang yang mengalami sakit kronis, bayi dan anak-anak yang salah asuh dan ditelantarkan, remaja yang terlibat penggunaan zat adiktif, kelompok minoritas, orang lansia, orang yang mengalami diskriminasi dan kekerasan, kelompok LGBT, mantan narapidana, serta orang-orang yang hidup di daerah konflik dan korban bencana alam.
Dalam beberapa kelompok masyarakat, gangguan mental terkait dengan kondisi marginalisasi dan pemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, serta beban kerja yang menimbulkan stres, terutama pada perempuan. Itu sebabnya, penanganan kesehatan jiwa ini harus melibatkan negara dengan pendekatan dan konsep yang tepat.
Literasi minim
Masalah kesehatan jiwa di Indonesia sama seperti kondisi global pada umumnya. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mewujudkan keseimbangan kesehatan fisik dan mental masyarakat.
”Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”. Pepatah populer terjemahan dari bahasa latin yang sering kita dengar ini barangkali dapat menggambarkan bahwa aspek kesehatan di dalam tubuh manusia itu terdiri dari dua keseimbangan, yaitu jiwa dan raga.
Keduanya, baik kesehatan fisik maupun jiwa harus dirawat. Namun, banyak orang yang masih sangat abai dengan kesehatan jiwa. Saat ini banyak orang yang rajin berolahraga, rutin mengonsumsi vitamin dan makanan sehat untuk menjaga kebugaran tubuh. Tapi lupa merawat kesehatan jiwanya yang mungkin sedang mengalami ketidakseimbangan.
Literasi orang Indonesia soal kesehatan jiwa memang masih minim jika dibandingkan dengan kesadaran untuk menjaga kesehatan fisik. Ketika berbicara kesehatan jiwa, gambaran yang muncul di benak umumnya adalah orang gila yang berkeliaran di jalanan, yang dalam bahasa medis disebut orang yang mengalami gejala skizofrenia. Berbagai stigma negatif pun akan tertuju pada orang tersebut.
Padahal, kegilaan akut seperti itu hanya satu dari sekian banyak jenis gangguan kejiwaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, persoalan kejiwaan ini dibagi menjadi ODMK (orang dengan masalah kejiwaan) dan ODGJ (orang dengan gangguan kejiwaan).
OMDK merupakan orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Sementara ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia.
Bisa dikatakan, kadar gangguan kejiwaan ODMK masih lebih ringan dibandingkan dengan ODGJ yang sudah lebih akut. Namun, pada kondisi gangguan jiwa ringan itu acap kali penderita tidak menyadari bahwa kewarasannya sedang terganggu.
WHO membagi gangguan kejiwaan/mental (mental disorder) ke dalam 10 kategori, yaitu gangguan kecemasan (anxiety disorder), mengasingkan diri (skizofrenia), gangguan depresi (depressive disorder), gangguan makan (eating disorder), autis (autism spectrum disorder), bipolar, gangguan konsentrasi (attention deficit/hyperactivity disorder), gangguan perilaku (conduct disorder), idiopathic development intellectual disability, dan gangguan mental lainnya.
Dari beragam jenis gangguan kejiwaan tersebut, beberapa di antaranya mungkin sangat lumrah ditemui dalam keseharian. Seseorang yang mengalami kesedihan mendalam dan halusinasi (depresi), perubahan emosi (bipolar), atau nafsu makannya berkurang drastis, sudah dapat dikatakan terganggu kewarasan jiwanya.
Gejala awal pada sakit kejiwaan ini memang perlu dikenali dan diketahui sedini mungkin. Anggapan terkait kesehatan jiwa yang hanya berupa kegilaan akut layaknya orang gila di jalanan tentu salah besar. Pengetahuan dan informasi terkait masalah kejiwaan mulai dari pencegahan, deteksi gejala awal, hingga penanganan masih perlu digalakkan.
Penanganan yang salah karena ketidaktahuan seperti dengan melakukan praktik pemasungan dan pengucilan tidak akan menyembuhkan, bahkan hanya akan membuatnya semakin parah. Penanganan gangguan kesehatan jiwa ini justru memerlukan pendampingan yang ketat dari keluarga atau kerabat terdekat dan disiplin pengobatan.
Persoalan gangguan kejiwaan saat ini memang tengah menjadi sorotan global. Rilis resmi dari Global Health Data Exchange tahun 2017 menunjukkan lebih dari satu miliar orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Sementara di Indonesia, orang yang mengalami masalah kejiwaan jumlahnya mencapai 27,3 juta orang. Hal ini berarti, satu dari sepuluh orang di negara ini mengidap gangguan kesehatan jiwa. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah pengidap gangguan jiwa tertinggi di Asia Tenggara.
Kecemasan (anxiety disorder) merupakan gangguan kejiwaan yang paling banyak ditemukan di Indonesia dengan jumlah pengidap lebih dari 8,4 juta jiwa. Selain itu, ada sekitar 6,6 juta orang yang mengalami depresi dan tidak kurang dari 2,1 juta mengalami gangguan perilaku, serta jutaan orang lainnya yang sedang dibelenggu berbagai jenis gangguan kejiwaan.
Anak dan usia produktif
Setiap orang memiliki potensi untuk mengalami gangguan kejiwaan, baik itu anak-anak, orang dewasa, laki-laki maupun perempuan, baik yang bermukim di perkotaan maupun perdesaan. Risiko mengalami gangguan jiwa akan meningkat 3 hingga 9 persen akibat faktor keturunan atau genetik.
Selain genetik, ada berbagai faktor dapat menjadi pemicu guncangan kejiwaan, antara lain penyakit fisik seperti kejang, kecelakaan, riwayat trauma, narkotika, hingga kecanduan gawai. Hal tersebut membuat keseimbangan zat kimia di otak atau neurotransmitter menjadi tidak stabil dan memunculkan perubahan pada cara berpikir, perasaan, sikap, dan perilaku seseorang.
Dulu banyak gangguan kejiwaan karena permasalahan diri ataupun tekanan dari lingkungan sekitar, atau faktor kejadian kecelakaan dan sakit. Namun, kini tren penggunaan gawai juga turut menjadi ancaman yang dapat menganggu kesehatan jiwa.
Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi, mayoritas yang mengalami kecanduan gawai untuk bermain gim ataupun media sosial adalah kelompok usia anak-anak. Berdasarkan Global Health Data Exchange tahun 2017, di Indonesia jika dilihat dari komposisi usia, para pengidap gangguan kejiwaan paling besar berada di rentang usia sekolah, yaitu 10 tahun hingga 19 tahun. Jumlahnya mencapai lebih dari lima juta jiwa.
Dalam tahap yang lebih ekstrem, beberapa kasus yang pernah terjadi ada anak melakukan penganiayaan atau mencuri agar bisa membeli pulsa paket internet untuk bermain gim dan bermedia sosial. Tindakan ekstrem di luar kebiasaan usia anak tersebut sudah mengarah pada gejala gangguan jiwa yang disebut gangguan perilaku (conduct disorder).
Terbaru, dengan melihat berbagai fenomena yang terjadi tersebut, WHO mengkategorisasi jenis gangguan mental yang diakibatkan oleh gim sebagai game disorder. Pada usia anak, besarnya angka gangguan jiwa ini juga dapat dipicu oleh faktor lingkungan seperti pertemanan dan perundungan (bullying) di sekolah.
Selain anak, kalangan usia produktif antara 20 dan 49 tahun juga menjadi masa yang rentan mengalami gangguan kejiwaan. Ada lebih dari 14 juta orang dalam rentang usia tersebut mengidap gangguan kesehatan jiwa. Memasuki fase usia tersebut, faktor beban pikiran, tekanan dari lingkungan, pekerjaan, hingga keluarga cukup signifikan berpengaruh pada kondisi psikis seseorang.
Pelayanan
Jerat gangguan kesehatan jiwa di Indonesia sepertinya akan terus menjadi persoalan serius yang sulit ditanggulangi jika tidak ada perbaikan mendasar pada penanganannya. Literasi publik yang masih lemah untuk mendeteksi, mencegah, juga mengatasi gangguan kejiwaan kian diperparah dengan sistem pelayanan kejiwaan yang masih jauh dari standar.
Berdasarkan data dari Kementerian Sosial, hingga 2018, Indonesia hanya memiliki 48 rumah sakit jiwa. Sebanyak 32 rumah sakit jiwa adalah milik pemerintah dan 16 lainnya merupakan bentukan swasta.
Sementara itu, hanya sekitar 2 persen dari 1.678 Rumah Sakit Umum yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Di pelayanan tingkat Puskesmas, hanya sekitar 7 persen dari 9.000 puskesmas yang dapat memberikan layanan kejiwaan.
Jumlah tenaga medis khusus untuk kesehatan jiwa atau psikiatri juga masih minim. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 247 juta jiwa, Indonesia hanya memiliki 800 psikiater. Itu artinya, cakupan pelayanan seorang psikiater sekitar satu berbanding 300.000-400.000 orang. Padahal, standar pelayanan yang ditetapkan WHO untuk jumlah tenaga psikiater dengan penduduk, yaitu satu berbanding 30.000 orang.
Sebaran pelayanan kesehatan jiwa ini pun belum merata. Dari keseluruhan wilayah nasional, terdapat delapan provinsi yang sama sekali tidak tersentuh oleh keberadaan rumah sakit jiwa, yaitu Kepulauan Riau, Banten, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Gorontalo, NTT, Papua Barat, dan Kalimantan Utara. Padahal, beberapa wilayah seperti di Gorontalo, NTT, dan Banten memiliki jumlah pengidap gangguan kesehatan jiwa yang tinggi.
Pemerataan pelayanan kesehatan ini harus menjadi agenda penting pemerintah sebagai bukti keseriusan pembangunan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Lebih dari itu, keterlibatan masyarakat untuk terus meningkatkan kesadaran dan pengetahuan terhadap kesehatan jiwa juga tak kalah penting. Semua orang tentunya menginginkan kesehatan bukan hanya bagi fisik, tetapi juga kewarasan jiwa. (Litbang Kompas)