logo Kompas.id
RisetStres Mengancam Masyarakat...
Iklan

Stres Mengancam Masyarakat Kota dan Desa

Masyarakat kota rentan terhadap stres dan kecemasan. Meski demikian, masyarakat perdesaan pun bisa mengalami gangguan jiwa yang sama. Pemicu bisa karena tekanan ekonomi serta terbatasnya informasi dan akses pengobatan.

Oleh
M PUTERI ROSALINA
· 10 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/QU0p6Ap0ol0XYJzZZS4m3SBuc2U=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2F20190209_PDS01_1549720944.jpeg
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO

Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) melakukan survei dan hasilnya sebagian besar pekerja di industri media dan kreatif mengaku stres karena kurangnya waktu istirahat secara teratur, Sabtu (9/2/2019), di Jakarta.

Masyarakat kota rentan terhadap stres dan kecemasan. Setiap hari masyarakat urban harus berhadapan dengan ruang gerak yang terbatas, tekanan ekonomi, kemacetan lalu lintas, dan terpapar polusi udara yang berpotensi memicu gangguan jiwa. Meski demikian, masyarakat perdesaan pun bisa mengalami gangguan jiwa yang sama. Pemicunya bisa karena tekanan ekonomi serta terbatasnya informasi dan akses pengobatan.

Kota dengan berbagai kelengkapan infrastruktur dan pusat perputaran ekonomi telah menjadi magnet bagi penduduk desa untuk bermigrasi ke kota. Penduduk perkotaan di Indonesia mengalami peningkatan selama 10 tahun terakhir. Berdasarkan data BPS, tahun 2010 proporsi penduduk daerah perkotaan sekitar 49,8 persen dan tahun ini sudah di angka sekitar 55 persen. Diperkirakan, angka ini akan terus meningkat menjadi 66,6 persen pada tahun 2035.

Peningkatan jumlah penduduk ini sering kali tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan kota untuk menampung aktivitas perkotaan. Akibatnya, kepadatan penduduk di kota cukup tinggi.

Kepadatan penduduk ini akan menambah beban berat bagi kota dalam menyediakan sarana seperti pendidikan, kesehatan, permukiman, dan prasarana kota seperti air bersih, sanitasi, dan persampahan. Hal tersebut menyebabkan timbulnya berbagai masalah perkotaan. Di antaranya kemiskinan, pengangguran, kriminalitas tinggi, dan pencemaran.

Hal yang paling kentara adalah kesenjangan. Ketimpangan ekonomi antara golongan kaya dan miskin tersebut semakin lebar dalam lima tahun terakhir. Angka indeks gini perkotaan 2019 sebesar 0,39 lebih tinggi daripada perdesaan, yaitu sebesar 0,32.

Salah satu yang memicu ketimpangan ekonomi adalah tingkat pengangguran yang terus meningkat. Data BPS tahun Februari 2019 mencatat ada lebih dari 6,82 juta orang menganggur dari 136,2 juta angkatan kerja di Indonesia. Hingga Februari ini, catatan statistik memaparkan tingkat pengangguran terbuka di kota masih berada di angka 6,3 persen.

https://cdn-assetd.kompas.id/V2GXIdLmFsmEqOWtEhjya_lsiv0=/1024x717/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191007-ARJ-gangguan-jiwa-03-mumed_1570454822.jpg

Berbagai masalah perkotaan tersebut bisa memicu stres dan kecemasan yang mengakibatkan gangguan jiwa. Gangguan jiwa dalam laporan Global Health Data (2017) ada 10 jenis. Di antaranya, skizofrenia, deppressive disorder, bipolar disorder, anxiety disorder, eating disorder, autism spectrum disorder, attention-deficit/hyperactivity disorder, conduct disorder, dan idiophatic developmental intelectual disability.

Kesehatan jiwa dipicu oleh beberapa faktor. Stresor kesehatan jiwa di masyarakat, menurut penelitian Ekologi Daerah Urban dan Gangguan Kesehatan Jiwa (Yunita, 2016), adalah timbulnya pengharapan berlebihan, meningkatnya kebutuhan, penerapan teknologi modern, urbanisasi, dan kepadatan penduduk.

Kepadatan penduduk yang tinggi ini membuat ruang gerak warga kota semakin sempit. Litbang Kompas (2012) mengkaji, jika penduduk Jakarta disebar merata di seluruh wilayah Jakarta, setiap individu hanya mendapat ruang untuk bergerak berukuran 64 meter persegi, saling berjarak hanya 8 meter antarindividu. Keterbatasan ruang gerak bisa menyebabkan perubahan perilaku warga menjadi semakin agresif ataupun tertekan.

Berbagai stresor kesehatan jiwa tersebut menjadi pemicu munculnya berbagai penyakit gangguan mental di Jakarta sebagai representasi kawasan perkotaan. Catatan Global Health (2017), sebanyak 999.592 orang atau 9,9 persen penduduk di Jakarta menderita gangguan mental. Sebanyak 32 persennya menderita ansietas dan 24 persennya depresi.

Depresi ini juga banyak terjadi di kota-kota lain di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari angka depresi masyarakat perkotaan Indonesia yang menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 relatif lebih tinggi (6,3 persen) dibandingkan dengan perdesaan.

Penyakit anxiety disorder ini adalah suatu perasaan takut yang berasal dari eksternal atau internal sehingga tubuh memiliki respons secara perilaku, emosional, kognitif, dan fisik. Adapun depresi adalah gangguan suasana hati yang dapat terlihat dari perasaan sedih yang mendalam dan rasa tidak peduli. Dua jenis penyakit tersebut berkaitan erat dengan kondisi perkotaan yang identik dengan tekanan sosial dan ekonomi.

https://cdn-assetd.kompas.id/5ebP_a6IbCMxvQRRW-wbuYOnBdM=/1024x395/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191007-ARJ-gangguan-jiwa-02-mumed_1570454821.jpg

Tekanan ekonomi

Persaingan untuk mendapatkan kue ekonomi akan membuat warga kota tertekan. Apalagi dengan kesenjangan antara golongan kaya dan miskin yang semakin lebar. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Kuruvilla& Jacob (2012) dalam Poverty, Social Stress&Mental Health yang menyebutkan, orang miskin, tunawisma, pengangguran, dan kelompok dengan tingkat pendidikan rendah, berisiko terkena gangguan mental.

Kemiskinan dengan keterbatasan ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah, keputusasaan, dan perasaan tidak aman merupakan indikator kerentanan masyarakat miskin terhadap gangguan mental. Keterbatasan pembiayaan dan informasi dalam pengobatan semakin memperburuk kondisi gangguan mental masyarakat miskin.

Penelitian mengenai kemiskinan dan gangguan mental dilakukan oleh Liputo (2014) mengenai ”Distres Psikologik dan Disfungsi Sosial di Kalangan Masyarakat Miskin Kota Malang”. Hasilnya, distres psikologik terjadi lebih tinggi angkanya pada kelompok sangat miskin, dibandingkan dengan kelompok miskin dan agak miskin.

Kelompok sangat miskin di Kota Malang lebih mudah merasakan depresi dan kecemasan dengan kondisi kehidupan yang penuh tekanan serta kurangnya penghargaan secara sosial. Apalagi kondisi kemiskinan akan ”memerangkap” orang untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.

Sejumlah penelitian di negara lain menguatkan bahwa gangguan jiwa relatif banyak terjadi di daerah urban karena tekanan ekonomi dan perubahan sosial yang cepat. Penelitian Urbanisation and Incidence of Psychosis and Depression (Sundquist, 2004) menyebutkan, hubungan antara urbanisasi dan perkembangan gangguan kejiwaan adalah signifikan.

Penelitian yang dilakukan di Swedia tersebut menyebutkan, 68 persen pria dan 77 persen wanita yang tinggal di daerah padat penduduk paling berisiko menderita skizofrenia dibandingkan dengan daerah kurang padat.

https://cdn-assetd.kompas.id/mee9kvS-tcj1tgbf8TU9DbhPLdY=/1024x897/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2F20190116-NNN-Kemiskinan-mumed_1547631743.png

Sosial dan psikologi

Kemiskinan hanyalah salah satu pencetus gangguan jiwa di masyarakat perkotaan. Masih ada beberapa faktor lain terkait dengan kondisi psikologi setiap personal serta kekerasan dan kurangnya dukungan sosial.

Penelitian yang dikutip dari ”Ekologi Daerah Urban dan Gangguan Jiwa (Pratiwi, 2016)” menyebutkan, gejala gangguan mental secara umum lebih banyak terjadi di kota daripada desa. Penelitian yang dilakukan pada kaum migran di daerah urban baru Khartoum, Sudan, tersebut menyebutkan, faktor pemicunya adalah kesepian, dampak dari pengusiran, isolasi dan kurangnya dukungan sosial saat penduduk desa bermigrasi dari keluarga dan saudara-saudara mereka di desa. Faktor sosial lain yang berpengaruh adalah peristiwa yang mengancam jiwa, kekerasan dan kurangnya dukungan sosial, yang berperan penting dalam memicu gangguan mental.

Faktor psikologi yang melekat pada setiap orang juga bisa menjadi pemicu munculnya gangguan jiwa. Survei Kesehatan Mental di Kamboja (2012) menyebutkan, penduduk perkotaan di Kamboja lebih banyak menderita gangguan mental depresi (skor 1,45) dan gejala trauma (skor 1,45) dibandingkan dengan penduduk desa.

Iklan

Gejala trauma atau HTQ symptoms yang muncul di masyarakat rural Kamboja, seperti insomnia, mudah putus asa, mudah kaget, mudah tersinggung, dan susah berkonsentrasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut berkaitan dengan trauma akibat pemberontakan Khmer Merah dan banyaknya kecelakaan lalu lintas di kota.

https://cdn-assetd.kompas.id/16ww3_EH5cDA_sOHloifJFkU9KY=/1024x468/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191007-ARJ-gangguan-jiwa-05-mumed_1570454824.jpg

Kinerja otak

Kerentanan masyarakat urban terhadap gangguan jiwa juga diukur dengan melihat kinerja otak. Perbedaan kinerja otak warga rural dan urban diteliti oleh Peneliti di Jerman dan Kanada.

Merujuk dari laman DokterSehat.com, seorang psikiater dari Institut Kesehatan Mental dari Universitas  Heidelberg, Jerman, meneliti kinerja otak 32 partisipan dari kota besar, desa hingga kota kecil. Responden tersebut diminta mengerjakan soal-soal aritmatika.

Hasilnya, mereka yang tinggal di kota besar, melakukan banyak aktivitas lebih besar pada bagian Amigdala, jaringan otak yang aktif jika seseorang mengalami kecemasan berlebihan. Selain itu, partisipan di kota besar cenderung mengalami aktivitas otak di bagian perigenual anterior cingulate cortex yang memiliki kaitan erat dengan skizofrenia.

Cara yang sama dilakukan di Kanada. Para peneliti dari Montreal Imaging Stress melakukan tes penghitungan sejumlah peserta dari perkotaan dan perdesaan. Penelitiannya menunjukkan, 12 persen penduduk kota lebih berisiko terkena gangguan mental dibandingkan dengan penduduk desa. Hidup di perkotaan dikaitkan dengan respons stres yang tinggi di bagian otak, yang memengaruhi emosional dan suasana hati. Juga memengaruhi di daerah otak kedua (cortex cingulate) yang menunjukkan hubungan ke suasana hati yang negatif dan stres.

https://cdn-assetd.kompas.id/WSvo5OugB-dteCaeqxsJHhtv8Bo=/1024x497/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20181221_162458_1545405660-e1545405723539-2.jpg
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS

Ilustrasi cara kerja otak dalam mengatur egoisme dan altruisme dengan gambar sistem olfaktori manusia.

Polusi udara

Polusi udara yang ada di perkotaan juga ikut berperan sebagai pencetus gangguan mental di perkotaan. Indeks polutan di kota yang rata-rata melebihi standar baku mutu ini dapat menimbulkan berbagai gangguan saraf.

Peneliti Andreas Meyer dari Jerman dan koleganya, Matilda dari Columbia, meneliti, zat polutan dapat menimbulkan gangguan saraf pada orang dewasa, seperti gangguan fungsi hormon dan neurotransmitter, induksi stres oksidatif di otak, dan inflamasi di hippocampus, sehingga menurunkan performa kognitif, memori, dan kerja saraf terkait perilaku.

Penelitian yang dimuat di laman Kompas.com, Mei lalu, juga menyebutkan, pada anak dan remaja, paparan polutan tingkat tinggi dapat mengganggu perkembangan sistem saraf pusat serta pembentukan antibodi dan protein lain yang berperan dalam kerja otak. Hal ini juga dapat memicu gejala awal mirip penyakit Alzheimer dan Parkinson.

Di Indonesia, Kirana (2005) melalui jurnal ”Mengendalikan Lingkungan Khususnya Pencemaran Udara dalam Perspektif Psikologi” menyebutkan, polutan timbal Pb berdampak pada perilaku masyarakat. Di antaranya, anak-anak yang memiliki kecerdasan rata-rata mengalami ketidakmampuan belajar (learning disability), kriminalitas pada pria, serta gangguan perilaku iritabilitas, hiperaktivitas, dan agresivitas.

Sementara polutan Dioxin berdampak pada penurunan inteligensi dan keterampilan gerak serta perubahan perilaku feminin dan maskulin. Kemudian kurang mampu berkonsentrasi, hiperaktif dan autisme, serta kecenderungan perilaku menyimpang.

https://kompas.id/wp-content/uploads/2019/09/20190918-H26-BET-Polusi-Udara-mumed_1568831346.gif

Perdesaan

Namun, belum tentu masyarakat desa terbebas dari gangguan jiwa. Sejumlah penelitian juga menyebutkan, masyarakat desa juga berpotensi menderita gangguan jiwa. Penyebabnya lebih kurang sama dengan masyarakat kota, yakni ada pengaruh faktor psikologi, biologi, dan sosial yang melekat pada setiap pribadi.

Angka statistik Riskesdas 2018 juga menyatakan bahwa penderita gangguan jiwa juga ditemukan di masyarakat perdesaan. Prevalensi rumah tangga dengan anggota keluarga penderita skizofrenia lebih tinggi di perdesaan (7 permil) dibandingkan dengan di kota (6,4 permil). Juga dengan penderita gangguan gangguan mental emosional. Prevalensi penderita di desa lebih tinggi (10 persen) dibandingkan perkotaan (9,8 persen).

Dokter Lahargo Kembaren, SpKJ, menyebutkan, preferensi masyarakat desa dan kota dalam hal gangguan jiwa adalah sama. Dalam wawancara di Bogor, psikiater di RS Marzoeki Mahdi tersebut memberikan contoh daerah binaannya di Kecamatan Kebon Pedes, Sukabumi, yang mayoritas masyarakatnya adalah penderita gangguan jiwa. Sebagian besar warga kecamatan tersebut adalah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.

Salah satu penyebab munculnya gangguan jiwa adalah faktor keputusasaan dan kekecewaan. Sejumlah uang yang dikirim ke desa untuk membangun rumah atau meningkatkan ekonomi keluarga tak berwujud. Ketika balik dari luar negeri, TKI yang mayoritas wanita tersebut mendapati fisik rumahnya tak ada perubahan. Ataupun pasangannya sudah menikah dengan wanita lain.

Menurut dr Lahargo, rata-rata para TKW tersebut mendapatkan perlakuan yang sama. Rasa kekecewaan yang menumpuk tersebut membuat para TKW itu menderita gangguan mental skizofrenia saat kembali ke desa. Selain itu, pencetus lainnya adalah faktor psikologi karena sudah mendapatkan perlakuan buruk selama kerja di luar negeri.

https://cdn-assetd.kompas.id/pCWp1sIrBLIg1Wunx0DGfr8zPxA=/1024x575/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2F20190728-ANU-Tematis-TKIPerbedaan-pekerja-migran-mumed_1564317614.jpg

Akses pengobatan

Faktor kemiskinan di desa juga memicu munculnya gangguan mental. Seperti yang terjadi di Australia. Penelitian Lembaga Kesehatan dan Kesejahteraan Australia (2006) menyatakan, depresi berpotensi terjadi di perdesaan karena isolasi dan kemiskinan. Seperti kemiskinan di kota, dampak ikutan kemiskinan, seperti tingkat pendidikan yang rendah, pengalaman insecurity dan keputusasaan, serta kurang gizi semakin menambah risiko gangguan mental.

Kurangnya literasi informasi dan pembiayaan pengobatan gangguan mental ikut memperburuk kondisi penderita gangguan mental di perdesaan. Hal ini yang tercatat terjadi di India dan Malaysia. Mengutip dari laman Huffingtonpost 2017 yang melaporkan, sekitar 13,7 persen dari populasi orang dewasa di India menderita gangguan mental. Gangguan mental ini bukan hanya fenomena perkotaan, tetapi juga perdesaan. Di desa, situasinya semakin buruk karena kurangnya pengetahuan mengenai gangguan jiwa dan fasilitas untuk mendiagnosis dan merawat gangguan jiwa.

Hal yang sama terjadi di Malaysia. National Health and Morbidity Survey Malaysia (2015) mendata prevalensi gangguan mental orang dewasa di desa (30,3 persen) lebih tinggi dibandingkan dengan di kota (27,6 persen). Begitu juga dengan anak-anak (5-15 tahun). Prevalensinya lebih tinggi di desa (13 persen) daripada kota (11,8 persen). Hal ini karena kurangnya fasilitas dasar di perdesaan.

Di Indonesia, kurangnya informasi dan akses pengobatan membuat penderita gangguan jiwa skizofrenia/psikosis di desa lebih banyak yang dipasung dibandingkan dengan di kota. Riskesdas 2018 mencatat, 17,7 persen warga gangguan jiwa di perdesaan dipasung. Adapun di kota hanya sekitar 10,7 persen ODGJ yang mengalami pemasungan.

Risiko gangguan jiwa ini sama besarnya di kota ataupun desa. Kehidupan perkotaan dengan keterbatasan ruang gerak, tekanan ekonomi dan sosial, pencemaran tinggi, serta perubahan yang sangat cepat menjadi faktor risiko untuk menderita gangguan mental. Namun, kehidupan perdesaan juga mempunyai risiko gangguan jiwa. Faktor seperti kemiskinan dan rendahnya literasi mengenai gangguan jiwa serta terbatasnya akses pengobatan ikut berperan serta meningkatnya risiko gangguan jiwa. (Litbang Kompas)

https://cdn-assetd.kompas.id/zC5Ux1UZ2hrebslwH3PyQVf3Kck=/1024x304/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191007-ARJ-gangguan-jiwa-04-mumed_1570454823.jpg
Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000