Kisah di Balik Defisit Dana Operasional PBB (2-habis)
Perseteruan panjang yang belum mencapai titik temu antara AS dan China agaknya tidak lepas juga dari kepentingan perluasan pasar atas produk-produk mereka.
Perseteruan panjang yang belum mencapai titik temu antara AS dan China agaknya tidak lepas juga dari kepentingan perluasan pasar atas produk-produk mereka. Kedua negara ini dikenal sebagai dua kekuatan terbesar ekonomi di dunia. Tidak sedikit produk yang diciptakan oleh kedua negara ini yang digandrungi oleh warga dunia, khususnya di bidang teknologi.
Menelusuri data yang dihimpun oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), kedua raksasa ekonomi dunia ini memiliki dua mitra dagang yang sama. Dua negara di antaranya adalah Uni Eropa dan Jepang. Uni Eropa dan Jepang adalah dua negara yang masuk dalam lima besar mitra dagang AS dan China, baik negara tujuan ekspor maupun negara asal impor.
Bukan hanya negara tujuan ekspor, produk yang diperdagangkan pun terdapat kemiripan. Teknologi dan elektronik adalah produk unggulan kedua negara ini, di mana teknologi masuk ke dalam lima besar komoditas ekspor utama. Dua produk yang sama adalah alat transmisi radio-telephony dan sirkuit terpadu elektonik.
Perseteruan pasar ini tampak nyata dengan munculnya tuduhan AS terhadap China bahwa ”Negeri Tirai Bambu” melakukan pencurian teknologi dengan cara membajak merek-merek terkenal. Agaknya AS cukup terganggu dengan melejitnya bisnis elektronik di China. Bagaimana tidak? AS yang selama ini mendominasi perkembangan teknologi dunia eksistensinya tergerus oleh serbuan produk teknologi dari China.
Ketegangan semakin memuncak sejak AS memasukkan Huawei, salah satu perusahaan besar bidang teknologi di China, ke dalam blacklist alias daftar hitam. Tindakan AS ini dilakukan sejak Huawei untuk pertama kalinya merilis Huawei Mate 20X 5G. Ini berujung pada kebijakan AS yang melarang perusahaan di negaranya bekerja sama dengan Huawei, Produk Huawei juga dinyatakan terlarang untuk masuk ke pasar AS karena dinilai akan membahayakan keamanan negara ini.
Pada sisi lain, penjualan Huawei disinyalir marak karena dimaksudkan sebagai pesaing utama dari produk Apple dan Samsung. Kekhawatiran ini boleh jadi muncul karena produk buatan ”Negeri Tirai Bambu” selalu berhasil menawarkan harga yang lebih murah dengan spesifikasi yang tidak kalah dengan teknologi buatan AS. Secara tidak langsung, AS menyampaikan keberatan atas kekalahannya karena ketidakmampuannya meluncurkan teknologi berkapasitas 5G.
Negara G-7
Bukan dengan China saja AS pernah mengalami perseteruan dagang. Kompas mencatat setidaknya ada delapan perang dagang yang pernah dialami AS sejak tahun 1930 hingga 2018 dengan negara lainnya. Negara yang pernah berkonflik dengan AS adalah Spanyol, Kanada, Italia, Swiss, Perancis, Jerman, Jepang, Meksiko, Uni Eropa, dan China. Komoditas yang mendapat ancaman dalam perang dagang pun beragam, mulai dari produk pertanian hingga kendaraan dan baja.
Jika ditelusuri lebih dalam, negara-negara yang sering berseteru dan mempunyai dampak penting pada dinamika perekonomian global adalah negara-negara yang tergabung dalam The Group of Seven atau G-7. Anggota G-7 adalah Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS.
Mengutip Council on Foreign Relations, G-7 merupakan blok informal demokrasi industri yang melakukan pertemuan setiap tahun. Hal-hal yang menjadi topik pembahasan dalam pertemuan tersebut adalah tata kelola ekonomi global, keamanan internasional, dan kebijakan energi. Lembaga ini bukanlah lembaga resmi, seperti PBB dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Negara G-7 biasa juga dikategorikan sebagai negara kelompok ekonomi maju di dunia.
Sayangnya, tidak jarang pertemuan yang dilakukan setiap tahun mendapat kritik dari banyak kalangan. Hasil dari pertemuan kurang memberi dampak bagi dunia secara nyata. Bahkan, tahun lalu, pertemuan tahunan yang diadakan di Perancis justru berujung pada berbagai tarikan kepentingan.
Donald Trump saat itu menyatakan kepada Perancis bahwa AS akan menaikkan pajak minuman anggur karena Perancis menaikkan pajak digital di negaranya. Trump juga menyatakan hal serupa berlaku untuk Eropa, Kanada, dan Jepang jika ketiga negara tersebut tidak membuka pasar untuk produk manufaktur AS.
Situasi menjadi semakin menegangkan ketika Trump mengusulkan agar Rusia kembali bergabung dengan G-7. Sebelumnya kelompok negara ini mencakup delapan anggota bernama G-8 dengan Rusia sebagai salah satu negara anggota. Namun, pimpinan negara lainnya menolak usulan Trump tersebut.
Dinamika lain yang terjadi, enam pimpinan negara anggota G-7, kecuali AS, berpendapat mengenai pentingnya Iran mengendurkan ketegangan. Namun, Trump menyatakan bahwa AS mampu menyelesaikan masalah Iran dengan caranya sendiri.
Berbagai kontroversi ini membangkitkan amarah Trump. Trump memutuskan untuk meninggalkan acara sebelum sepenuhnya berakhir. Alhasil, mereka bersepakat untuk tidak sepakat.
Fonomena tersebut berujung pada terancamnya pertemuan tahunan pada 2020 nanti. Enam pemimpin negara anggota G-7 merasa bahwa Trump adalah hambatan bagi G-7.
Kekeruhan situasi kian bertambah ketika belum lama ramai diperbincangkan bahwa Trump berencana untuk mengadakan pertemuan tahunan 2020 di salah satu properti mewah miliknya. Hal ini pun berujung pada kontroversi bahwa Trump memiliki motif memperkaya dirinya sendiri kendati akhirnya hal itu tidak terjadi.
Dampak bagi Indonesia
Konflik tingkat dunia yang semakin rumit ini bukan tidak mungkin akan mengusik kedamaian dan perekonomian dunia, tak terkecuali Indonesia. Kondisi perekonomian global yang masih belum stabil boleh jadi berdampak pada stabilitas ekonomi Indonesia. Data WTO menunjukkan bahwa lima mitra dagang utama bagi Indonesia tidak lain adalah negara-negara besar yang tidak jarang berkonflik dengan AS, termasuk AS itu sendiri.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa kinerja perdagangan internasional Indonesia sangat mengkhawatirkan. Neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit pada tahun 2018, yakni 8,6 miliar dollar AS. Jika dilihat neraca perdagangan dengan masing-masing mitra dagangnya, Indonesia masih mengalami surplus dibandingkan dengan negara lainnya.
Sayangnya, besaran surplusnya pun kian menurun dari tahun 2015. Data terakhir pada tahun 2017 menunjukkan bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan China hanya tersisa 12,6 miliar dollar AS, sebelumnya 14,3 miliar dollar AS pada tahun 2015.
Berbeda dengan China, neraca perdagangan Indonesia dengan AS, Jepang, dan Uni Eropa justru defisit enam tahun terakhir. Nilai defisit yang semakin curam tampak dari neraca perdagangan Indonesia dengan AS. Tahun 2012, defisit neraca perdagangan masih 3,2 miliar dollar AS. Angka defisit kian melebar di tahun 2017 hingga menembus angka 9,6 miliar dollar AS.
Dampak perang dagang bagi Indonesia menambah panjang rentetan cerita di balik kesulitan likuiditas dana operasional yang terjadi di tubuh PBB. Ada cerita di baliknya, yang boleh jadi bermula dari krisis di AS, dinamika krisis global, perang dagang, dan dampak dari berbagai tarikan kepentingan negara-negara kelompok G-7.
Seharusnya dunia bekerja sama untuk tetap bertahan dan sangat tepat jika dimulai dari negara-negara besar dunia. Kendati belum lama berselang terdengar kabar adanya kesepakatan antara dua raksasa ekonomi AS dan China, bukan tidak mungkin AS dan China sebenarnya memilih ”sepakat untuk tidak bersepakat”.
Harapan akan pulihnya perekonomian dunia dari keterpurukan masih harus menempuh perjalanan panjang jika para raksasa ekonomi dunia tak kunjung bersepakat. (Agustina Purwanti/Litbang Kompas)