Jalan Panjang Jalur Gowes
Semua bermula dari munculnya Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara sekitar awal Oktober 2005. Pada 3 Oktober 2005, didukung Dishub DKI Jakarta dan kepolisian, jalur cepat jalan Sudirman-MH Thamrin ditutup mulai pukul 07.00 sampai 17.00.
Saat itu, suasana lengang pada awalnya kemudian menjadi ramai sekitar pukul 10.30 oleh sejumlah panggung hiburan, dan rombongan pesepeda yang bergerak dari sekitar Gelora Bung Karno menuju kawasan Bundaran Hotel Indonesia.
Ketika itulah, komunitas pekerja bersepeda atau Bike to Work (B2W), yang terbentuk Agustus 2005, juga berkampanye tentang bersepeda untuk bekerja. Sejak 2004 komunitas ini rutin menggelar Bike to Work Day sebagai sosialisasi kepada publik untuk mulai melirik sepeda sebagai transportasi ke kantor sekaligus mengurangi polusi di Ibu Kota. Upaya mengurangi polusi, mulai mendapatkan dukungan pemerintah.
Setahun kemudian, sebuah diskusi yang digelar Institut Studi Transportasi Indonesia (Instran) pada 22 Februari 2006, bisa dibilang menjadi salah satu momen penting pencetus ide jalur sepeda. Bertema “Kembali Ke Sepeda sebagai Moda Transportasi yang Ramah Lingkungan, saat itu pemerintah provinsi DKI Jakarta seperti “ditantang” oleh peserta diskusi untuk secepatnya menyediakan jalur khusus sepeda.
Penggagas diskusi, Darmaningtyas, saat itu mengutip pendapat arsitek perkotaan Denmark Jan Ghell. “Kalau mau mengundang pesepeda, bangunlah jalur khusus sepeda. Kalau tersedia, pasti masyarakat memilih bersepeda, seperti di Bogota,” ungkap Darmaningtyas dalam diskusi ini.
Di Bogota, sebelum ada jalur sepeda, jumlah pengendara sepeda hanya empat persen. Setelah jalur itu tersedia, dalam waktu 5 tahun, jumlahnya naik menjadi 14 persen. Jalur ini juga tak lepas dari efektifnya transportasi busway yang memang didesain bersamaan dengan jalur sepeda.
Menanggapi gagasan tersebut, Pemerintah DKI Jakarta kala itu menyatakan belum berani menjanjikan jalur sepeda kalau jumlah pesepeda belum signifikan. Jalur sepeda akan disiapkan, kalau penggunanya sudah mencapai raturan ribu orang.
Baca juga: https://kompas.id/baca/riset/2019/05/05/sepeda-moda-transportasi-aman-dan-ramah-lingkungan/
Desakan Menguat
Desakan agar pemprov DKI Jakarta menyediakan jalur sepeda semakin besar. Menguatnya desakan ini, tidak lepas dari situasi proyek dan pembangunan jalur khusus bus TransJakarta (TJ) tahun 2007, yang berdampak pada kemacetan.
Yayasan Pelangi dan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), mengutip kajian “Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek” (SITRAMP) tahun 2004, kemacetan menyebabkan kerugian multidimensi bagi hampir seluruh warga Jakarta.
Secara hitungan rupiah, total kerugian sekitar Rp 43 triliun, atau dua kali lebih besar dari APBD DKI 2007. Dan angkanya bisa mencapai total sekitar Rp 65 triliun pada 2020 kalau tak ada perubahan kebijakan menyangkut sistem transportasi.
Terhadap masalah (kerugian) itu, bersama Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), mengevaluasi sistem operasi TJ, dengan tujuan apakah pembangunan koridor XI-XIII tahun 2008
akan diteruskan atau dihentikan. Pemprov DKI saat itu menegaskan, TransJakarta tetap diperlukan untuk mendorong pengguna kendaraan pribadi pindah ke angkutan umum.
Sekitar akhir Agustus 2009, sejumlah komunitas pesepeda berharap agar Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat berkomitmen menyediakan jalur khusus sepeda di kawasan Jabodetabek. Foke sendiri mengimbau agar para pengelola gedung di Jakarta menyediakan sarana parkir sepeda mengingat komunitas pesepeda ke kantor terus tumbuh dan berkembang.
Imbauan ini juga didukung oleh Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI). Seriusnya perhatian pemda DKI Jakarta juga terlihat dari rencana penyediaan parkir sepeda di tiap feeder busway. Beberapa lokasi yang sedang disiapkan adalah Kalideres, Lapangan IRTI Monas, Kampung Rambutan, dan Ragunan.
Tahun 2009, pihak B2W bekerjasama dengan Green Map, Dinas Perhubungan DKI Jakarta pernah menyusun master plan jalur sepeda yang lengkap, termasuk bike share dan model-model jalur sepeda. Tahun 2010, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Nirwono Joga juga pernah mengusulkan agar memanfaatkan enam jalur sepeda yang biasa dipakai komunitas pesepeda. Untuk tahap awal, keenam jalur itu dijadikan jalur tipe bike route (dipandu rambu) atau bike lane (campur dengan kendaraan lain) sambil menunggu pertambahan pengguna sepeda aktif.
Pertengahan Juni 2010, Komunitas B2W menyatakan jumlah anggotanya sudah mencapai sekitar 6 ribu orang, dan peningkatan ini sudah seharusnya difasilitasi dengan penyediaan jalur tersebut. Bertambahnya pesepeda jelas akan berdampak positif bagi keuangan daerah, pengurangan polusi udara, dan kemacetan.
Jalur Pertama
Bersama dengan desakan pengadaan jalur khusus oleh pengguna sepeda, pengamat perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga pada tahun 2010 ikut angkat bicara. Ia menyatakan, kebutuhan itu tak perlu dana besar dan kajian mendalam. Cukup manfaatkan jalur sepeda di lima wilayah yang rutin dipakai anggota komunitas pesepeda seperti B2W, baik bike route maupun bike lane, sambil menunggu penambahan pengguna sepeda aktif.
Pihak DPRD DKI juga sepakat dengan usulan ini, setidaknya bisa dijadikan program rintisan. Jika nantinya semakin banyak (yang melintasi) pemprov bisa menambah panjang dan meningkatkan kualitas jalur sepeda.
Minggu 30 Januari 2011, Foke akhirnya menyatakan setuju adanya jalur sepeda pertama di Jakarta. Panjangnya sekitar 1,5 km, menghubungkan Taman Ayodya (Jalan Melawai Raya) dan sekitar Kantor Walikota Jakarta Selatan (Jalan Prapanca Raya).
Baca juga: https://kompas.id/baca/riset/2019/11/23/jalur-baru-pengguna-sepeda-di-ibu-kota/
Pemprov DKI menilai jumlah pesepeda aktif ke tempat bekerja masih belum banyak, sehingga belum bisa menyediakan jalur khusus yang panjang. Realisasinya baru terlihat pada tanggal 5 Mei 2011 ketika meresmikan jalur ini. Gubernur pun berjanji akan ada empat wilayah lain yang memilikinya.
Setahun kemudian, Desember 2012, jalur sepanjang bantaran Banjir Kanal Timur (BKT) yaitu Cipinang-Pondok Kopi dan Pondok Kopi-Marunda, dengan total 23,5 Km, menjadi jalur kedua. Berikutnya adalah Jalan Imam Bonjol-Diponegoro (2 Km).
Tahun 2015, pada masa kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, muncul pula rencana pembangunan beberapa jalur sepeda. Beberapa jalur itu adalah Taman Surapati-Balaikota, Kelapa Gading - Mall Of Indonesia - Mall Kelapa Gading - Gading Nias, Jalan Salemba Raya, Pasar Jumat, Jalan Pemuda, Ancol, dan Jalan Benyamin Sueb. Namun, jalur tersebut belum terwujud.
Masa Depan Sepeda
Kehadiran jalur sepeda semakin disadari berbagai pihak sebagai sebuah hal bermanfaat. Keberadaan jalur sepeda kini ini juga didukung perangkat hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam pasal 106 aturan ini, dijelaskan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda. Sanksi bagi pengendara motor atau mobil yang melintas di jalur sepeda, yaitu tilang atau denda yang mencapai Rp 500 ribu.
Namun, ada beberapa hal yang bisa jadi pertimbangan untuk kelanjutan jalur (baru) yang ada sekarang. Menurut Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas, ada lima hal yang harus diperhatikan. Pertama, pilihan jalur harus tepat agar keberadaannya optimal.
Jangan sampai sudah dibangun dengan dana mahal, tapi setelah itu tidak dimanfaatkan optimal. Argumen muncul karena tak lepas dari kenyataan bahwa pemprov DKI Jakarta menilai jalur sepeda lama tidak efektif karena lemahnya integrasi dengan moda transportasi massal.
Kedua, pertimbangkan kondisi jalan. Bila demand tinggi tetapi kondisi jalan sempit, bisa memicu konflik dengan kendaraan lain. Ketiga, jalur sepeda juga bisa memanfaatkan jalan kampung sebagai bagian dari akses sehingga memudahkan warga menjangkau ke jalan raya.
Keempat, pentingnya pemasangan rambu yang tepat bagi jalur sepeda agar membantu pengguna jalan lain tidak melintas di jalur sepeda. Kelima, penerangan yang cukup di jalur khusus sepeda untuk meminimalkan risiko penggunanya dari kecelakaan lalu lintas.
Di luar lima hal itu, Darmaningtyas juga mengingatkan, sudah saatnya pemerintah dan pemerintah daerah mulai menjadikan angkutan tidak bermotor, khususnya sepeda, sebagai bagian integral dari sistem transportasi nasional dan daerah.
“Pada saat akan membangun infrastruktur jalan, jalur sepeda itu seharusnya secara otomatis masuk ke dalam perencanaan yang harus diwujudkan. Tidak seperti sekarang yang hanya berupa tempelan-tempelan,” tambahnya.
Ada political will, seharusnya juga ada political action. Kalau memang mau membuat Jakarta lebih nyaman, diperlukan perubahan besar-besaran dalam penataan ruang jalan. (Litbang Kompas)