Mewahnya Makanan Rakyat
Siapa yang tidak mengenal tahu atau tempe? Makanan rumahan yang merakyat ini pengadaan bahan bakunya, yaitu kedelai, tidak sesederhana bentuk fisiknya.
Kedelai harus didatangkan dari sejumlah negara di benua Amerika dan Asia. Pasokannya di pasar domestik harus dijaga, agar tidak terjadi kelangkaan yang dapat menimbulkan gejolak.
Tahu dan tempe merupakan jenis makanan tradisional yang menyerap bahan baku kedelai terbesar di Indonesia. Berdasarkan data asupan makanan yang mengandung kedelai di Indonesia, tahu (tofu) dan tempe adalah makanan yang paling tinggi angka konsumsinya.
Selama periode 2014-2018, konsumsi makanan mengandung kedelai masyarakat Indonesia rata-rata per tahun sebanyak 7,33 kilogram (kg)/kapita. Konsumsi terbagi ke sejumlah jenis makanan seperti kedelai segar, tahu, tempe, tauco, oncom, dan kecap.
Dari berbagai jenis makanan olahan kedelai itu, konsumsi tahu dan tempe paling mendominasi, rata-rata sekitar 87 persen atau sebanyak 6,24 kg/kapita/tahun. Sisanya, sekitar 7 persen dalam bentuk kecap, 5 persen oncom, dan masing-masing kisaran kurang dari satu persen dalam bentuk kedelai segar dan tauco.
Gambaran konsumsi tersebut menunjukkan tingginya serapan kedelai pada produk tahu dan tempe. Setiap tahun diperkirakan sekitar 1,6 juta ton kedelai dibutuhkan untuk diolah menjadi makanan rakyat itu. Sebagian besar, sekitar 58 persen atau 935.000 ton digunakan untuk olahan tempe dan sisanya sekitar 42 persen atau 681.000 ton untuk memproduksi tahu.
Kebutuhan kedelai untuk produksi kedua jenis makanan ini tergolong sangat besar dan tidak sebanding dengan produksi kedelai dalam negeri. Pada kurun 2014-2018, produksi kedelai nasional hanya sekitar 859.000 ton per tahun, sangat jauh dari angka kebutuhan riilnya.
Dengan estimasi jumlah penduduk Indonesia yang dikalikan dengan rata-rata konsumsi kedelai untuk komoditas tahu dan tempe, diperlukan pasokan bahan baku kedelai sekitar 1,6 juta ton per tahun. Angka suplai ini kian membesar lagi jika varian konsumsi kedelai diperbanyak lagi tidak hanya sebatas tahu dan tempe.
Dengan menambahkan varian konsumsi kedelai segar, tauco, oncom, dan kecap, besaran konsumsi kedelai nasional mencapai 1,9 juta ton. Dengan demikian, berarti neraca produksi-konsumsi kedelai nasional defisit.
Dengan mengacu pada konsumsi tersebut, diperkirakan terjadi defisit kebutuhan kedelai sekitar 1 juta ton setiap tahun. Defisit ini akan meningkat lagi apabila ditambahkan varian konsumsi lainnya. Misalnya saja, industri yang mengolah kedelai menjadi berbagai makanan ringan dan minuman olahan.
Rutinitas Impor
Defisit kedelai Indonesia ditutup dengan mengimpor dari luar negeri. Berdasarkan Statistik Makro Kementerian Pertanian pada tahun 2014-2018, impor kedelai Indonesia per tahun rata-rata mencapai 6,1 juta ton. Terdiri atas 35 persen atau sebanyak 2,17 juta ton berbentuk kedelai segar dan 65 persen atau sekitar 4 juta ton berupa produk kedelai olahan.
Angka ini menunjukkan impor kedelai lebih banyak dalam bentuk olahan siap saji. Bukan tidak mungkin sebagian produk olahan itu juga berupa tahu (tofu) dan tempe siap konsumsi.
Ada sejumlah negara yang selalu menjadi langganan rutin Indonesia dalam impor kedelai. Selama kurun 2015-2018, setidaknya ada 11 negara yang beberapa kali melakukan pengiriman kedelai ke Indonesia. Dari 11 negara itu, terdapat 3 negara yang menjadi langganan tetap impor kedelai skala besar, yakni Amerika Serikat, Argentina, dan Brazil. Ketiga negara ini mendominasi impor kedelai ke Indonesia.
Setiap tahun, sekitar 96 persen atau 5,5 juta ton kedelai didatangkan dari negara di benua Amerika itu. Negara lainnya yang juga relatif rutin mengirimkan kedelai ke Indonesia adalah Paraguy dan Malaysia. Namun, jumlahnya jauh lebih kecil, yakni sekitar 120 ton per tahun.
Tingginya impor kedelai berdampak pada minusnya neraca perdagangan kedelai Indonesia. Dengan produksi rata-rata yang kurang dari 1 juta ton per tahun menyebabkan Indonesia harus mendatangkan kedelai kisaran 6 juta ton per tahun.
Jumlah ini menyebabkan Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan hampir 3 miliar dollar AS per tahun. Angka defisit ini merupakan penyumbang terbesar dalam subsektor tanaman pangan.
Setiap tahun, seluruh produksi tanaman pangan di Indonesia mengalami defisit sekitar 6,5 miliar dollar AS. Defisit ini disumbang oleh transaksi ekspor dan impor sejumlah komoditas pangan seperti beras-berasan, gandum, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi kayu.
Penyumbang defisit terbesar berasal dari komoditas kedelai dengan besaran kontribusi defisit hingga kisaran 40-an persen. Defisit terbesar selanjutnya disumbang oleh produk gandum sekitar 2,5 miliar dollar AS per tahun.
Tingginya defisit tersebut menandakan produksi dari dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan domestik. Ironisnya, yang kewalahan memenuhi permintaan itu salah satunya adalah komoditas kedelai, yang identik dengan produk tahu dan tempe, makanan khas rakyat.
Dalam neraca perdagangan, produk kedelai justru memberi tekanan yang besar bagi perekonomian nasional. Neraca perdagangan kedelai yang selalu menunjukkan notasi negatif memberikan dampak yang besar bagi defisitnya subsektor tanaman pangan secara keseluruhan. Di atas kertas, setidaknya hampir 3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 42 triliun (kurs Rp 14.000/dolar AS) mengalir ke luar negeri setiap tahun demi mendatangkan komoditas kedelai ke Indonesia.
Produksi Kedelai Nasional
Salah satu penyebab tingginya impor adalah rendahnya produksi kedelai di Indonesia. Pada tahun 2014-2018, produksi kedelai nasional rata-rata hanya sekitar 860.000 dan hanya memenuhi kurang dari separuh kebutuhan atau konsumsi kedelai domestik. Ada defisit sekitar 1 juta ton.
Berdasarkan analisis regional dari sejumlah data seperti angka konsumsi per kapita, produksi kedelai, dan jumlah penduduk terlihat bahwa hampir semua provinsi di Indonesia mengalami defisit kedelai. Hanya satu provinsi saja yang mengalami surplus, yakni Nusa Tenggara Barat (NTB).
Hal ini dikarenakan produksi kedelai di NTB melimpah dan melebihi rata-rata konsumsi masyarakatnya. Setiap tahun produksi kedelai di NTB rata-rata mencapai 95.000 ton dengan estimasi angka konsumsi kedelai masyarakatnya sekitar 36.000 ton. Dengan demikian, NTB suplus produksi kedelai hampir 60.000 ton setiap tahun.
Dari 34 provinsi di Indonesia, setidaknya ada 4 provinsi yang menjadi produsen kedelai utama di Indonesia. Daerah tersebut adalah Jawa Barat dengan produksi rata-rata sekitar 97.000 ton, Jawa Tengah kisaran 120.000 ton, Jawa Timur 284.000 ton, dan NTB sekitar 95.000 ton per tahun. Hanya saja, dari ke-4 provinsi ini, hanya NTB saja yang surplus.
Bahkan, Jabar dan Jateng justru menjadi penyumbang defisit kedelai terbesar di Indonesia. Banyaknya jumlah penduduk di kedua provinsi ini menyebabkan kebutuhan kedelai di daerah bersangkutan sangat tinggi, melebihi produksi sehingga berdampak pada defisit yang besar. Defisit di Jabar rata-rata mencapai 250.000 ton dan di Jateng berkisar 128.000 ton per tahun.
Khusus untuk provinsi Jatim, meskipun terjadi defisit kedelai, nilainya relatif kecil yakni rata-rata minus 2.600 ton per tahun. Angka ini bisa saja berbalik menjadi positif atau surplus di masa mendatang. Hal ini disebabkan pada tahun 2014-2016, produksi kedelai di Jatim selalu surplus.
Baru pada tahun 2017-2018 menjadi defisit karena produksi kedelai susut dan di saat bersamaan jumlah penduduk Jatim bertambah. Dampaknya, konsumsi kedelai masyarakat Jatim pada tahun-tahun itu meningkat.
Meningkatkan produksi kedelai tidak mudah. Tanaman kedelai yang tergolong dalam kelompok palawija merupakan tanaman yang dibudidayakan pada musim kemarau. Juga merupakan tanaman tumpangsari yang sifatnya hanya sebagai tanaman tambahan di sela-sela tanaman yang prioritas dibudidayakan. Sehingga, produksinya relatif sulit dioptimalkan dan fluktuatif.
Misalnya saja, pada tahun 2016 produksi kedelai nasional mampu terkumpul 859.000 ton, tetapi pada tahun 2017 anjlok drastis menjadi kisaran 538.000 ton. Pada tahun 2018, meningkat lagi hingga kisaran 982.000 ton.
Kondisi ini menyebabkan produksi kedelai relatif sulit dikendalikan. Berbeda dengan tanaman padi yang umumnya menjadi prioritas utama para petani sehingga lebih mudah bagi pemerintah untuk mengontrol dan mengakselerasinya.
Faktor lain yang turut menghambat produksi kedelai dalam negeri adalah harga komoditas impor yang relatif lebih murah dari harga lokal. Pada tahun 2014-2018, harga rata-rata per tahun kedelai lokal sekitar Rp 10.917 per kg, sedangkan harga impor lebih murah Rp 100, yaitu sekitar Rp 10.805 per kg. Perbedaan ini menjadi ceruk bagi para spekulan untuk mendapat keuntungan dari impor kedelai.
Oleh sebab itu, perlu peran pemerintah untuk mengontrol penyaluran kedelai impor di lapangan agar para petani kedelai tidak dirugikan. Sebisa mungkin kesenjangan antara suplai dan kebutuhan domestik diatasi dengan kebijakan yang tidak merugikan petani.
Harus ada insentif agar petani semangat untuk memproduksi kedelai. Bukan sebaliknya, menjadi malas menanam karena hasil produksinya selalu dihadapkan pada komoditas impor yang berharga lebih murah. (Litbang Kompas)