Dilema Anggaran Berujung Kerugian Besar
Beberapa kali banjir skala besar di DKI Jakarta selalu tidak terlepas dari persoalan keterbatasan anggaran pengendalian banjir. Padahal, banjir pada akhirnya juga melahirkan kerugian ekonomi yang tinggi.
Tepat pada hari pertama dan bulan pertama 2020, banjir besar kembali melanda Ibu Kota. Tak bisa dimungkiri, terjadinya banjir di DKI Jakarta bisa dipengaruhi berbagai hal.
Wilayah DKI Jakarta, merujuk pada Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur DKI Jakarta Tahun 2018, berpeluang mengalami siklus banjir besar setiap 5-6 tahun sekali. Paling tidak tercatat, banjir besar di DKI Jakarta terjadi tahun 2002, kemudian 2007, dan terakhir tahun 2013.
Sejak awal, DKI Jakarta sudah banyak dilalui sungai. Ada 13 kali di seluruh wilayah Jakarta. Di sisi barat terdapat Kali Mookervart, Kali Angke, Pesanggrahan, dan Kali Grogol. Adapun sisi tengah Jakarta mengalir Kali Krukut, Kali Baru Barat, Kali Ciliwung dan Kali Baru Timur, serta Kali Cipinang.
Pada sisi timur Jakarta, mengalir Kali Cakung, Kali Jati Kramat, Kali Buaran, dan Kali Sunter. Selain sungai-sungai tersebut, Jakarta juga memiliki 2 banjir kanal yang telah dibangun sejak pemerintah Batavia tahun 1670-an.
Merujuk pada Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta 2013-2017, yang dipublikasikan Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta, 40 persen kondisi geografis DKI Jakarta juga lebih rendah dari permukaan laut.
Publikasi BPBD DKI Jakarta tersebut juga menyebutkan, kerusakan lingkungan daerah tangkapan air di daerah hulu di luar wilayah Ibu Kota menjadi faktor lain penyebab banjir. Walaupun demikian, banjir juga disebabkan kelemahan pengelolaan lingkungan di wilayah DKI Jakarta. Pengelolaan lingkungan ini mencakup, antara lain, perawatan saluran drainase, pengelolaan sampah, dan pemeliharaan sungai yang juga berkontribusi penting dalam pengendalian banjir.
Dalam konteks pengendalian banjir di Ibu Kota, alokasi anggaran pemerintah provinsi menjadi persoalan krusial. Setiap tahun, DKI Jakarta harus memastikan bahwa 13 sungai di wilayahnya bebas dari endapan dan banjir kanal dapat berfungsi optimal.
Dinamika anggaran
Pada saat banjir melanda DKI Jakarta di pembuka tahun 2013, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dihadapkan pada ketiadaan anggaran untuk mengatasi banjir. Saat itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengucurkan bantuan Rp 15,4 miliar untuk penanggulangan bencana di Jakarta (Kompas, 18/1/2013). Dalam APBD 2013 DKI Jakarta saat itu telah ditetapkan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun untuk penanggulangan banjir, tetapi tidak memadai untuk menghadapi banjir. Secara persentase, anggaran Rp 1,5 triliun itu hanya 3 persen dari total APBD DKI senilai Rp 49,98 triliun.
Kondisi serupa juga melatarbelakangi banjir besar tahun 2007. Tahun 2007, alokasi anggaran pengendalian banjir terbilang lebih baik ketimbang tahun 2013. Nilainya mencapai Rp 1,2 triliun, atau 5,8 persen dari total APBD DKI tahun 2007, Rp 20,68 triliun.
Persoalannya, saat itu alokasi dana Rp 1,2 triliun itu juga masih harus dibagi untuk kebutuhan selain penanggulangan banjir. Alokasi dana untuk penanggulangan banjir saat itu hanya Rp 255 miliar, kurang dari 24 persen kebutuhan biaya tahunan, Rp 1,25 triliun. Menurut perhitungan, anggaran terbesar penanggulangan banjir (Rp 1,2 triliun) adalah untuk pengerukan 13 sungai (Kompas, 4 Desember 2006).
Banjir yang terjadi lima tahun sebelumnya, yakni tahun 2002, juga diwarnai dinamika anggaran. Alokasi dana penanggulangan banjir 2002 tercatat Rp 294,7 miliar atau sekitar 3 persen dari total Rp 9,4 triliun APBD DKI Jakarta 2002.
Tahun 2020, alokasi APBD untuk penanggulangan banjir juga berhadapan dengan dinamika keterbatasan. Persoalan defisit pada sisi realisasi pendapatan di APBD DKI Jakarta 2019 memaksa pengurangan anggaran untuk program antisipasi banjir.
Sebagai gambaran, anggaran normalisasi kali Ciliwung dikurangi dari semula Rp 850 miliar menjadi Rp 350 miliar (Kompas, 11/11/2019). Secara keseluruhan, alokasi APBD untuk penanggulangan banjir di DKI Jakarta tahun ini hanya berkisar 1,1 persen dari total APBD DKI Jakarta tahun 2020, yang senilai Rp 87,9 triliun.
Nilai kerugian
Kendala yang selalu muncul pada penanggulangan banjir pada akhirnya berbanding lurus juga dengan kerugian ekonomi yang terjadi. Hal tersebut paling tidak tergambarkan dari pengalaman banjir skala besar di Ibu Kota dalam siklus 5-6 tahun sekali sejak tahun 2002.
Pada tahun 2002, tercatat kerugian akibat banjir mencapai Rp 5,4 triliun, atau sekitar 57 persen dari total APBD DKI Jakarta pada tahun yang sama. Lima tahun berikutnya, yakni tahun 2007, banjir tercatat menimbulkan kerugian di DKI Jakarta senilai Rp 5,2 triliun, lebih kurang seperempat dari total APBD DKI Jakarta tahun 2007.
Pada 2013, proporsi kerugian akibat banjir terhadap APBD DKI lebih rendah ketimbang dua periode banjir besar sebelumnya, yakni lebih kurang 15 persen. Hanya saja, besaran kerugian secara nominal meningkat signifikan, mencapai Rp 7,5 triliun.
Kerugian di tiga banjir besar terakhir jika dikalkulasikan mencapai Rp 18,1 triliun. Seberapa besarkah makna kerugian tiga banjir tersebut? Sebagai gambaran, angka kerugian akibat banjir itu setara lebih dari seperempat (25,8 persen) dari total alokasi dana desa 2019, senilai Rp 70 triliun. Nilai kerugian dari tiga bencana banjir besar Jakarta ini bisa dialokasikan untuk membangun 19.381 desa.
Makna kerugian banjir tak hanya sebatas ekonomi, tetapi juga dari sisi sosial. Hal yang penting dicatat, banjir lebih banyak berdampak langsung terhadap warga daripada pemerintah.
Detail kerugian banjir 2007 yang dirilis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan salah satu gambaran hal tersebut. Kerugian di sektor perumahan akibat banjir Ibu Kota 2007 tercatat mencapai 25,1 persen dari total seluruh kerugian akibat banjir di DKI Jakarta. Sektor perumahan yang dimaksud adalah kerugian akibat kerusakan rumah warga.
Kerugian lain yang harus ditanggung warga adalah kerugian dari sisi kegiatan ekonomi. Proporsi kerugian ekonomi karena terhentinya aktivitas warga mencapai separuh lebih dari seluruh nilai kerugian banjir 2007. Kerugian yang berdampak pada swasta ataupun masyarakat akibat banjir Ibu Kota tahun 2007, mencapai 87 persen dari total kerugian banjir.
Melihat perbandingan antara upaya penanggulangan dan dampaknya, persoalan banjir di Ibu Kota selayaknya mendapat perhatian sangat serius, khususnya pemerintah, baik di tingkat pusat maupun Pemprov DKI Jakarta.
Bagaimanapun, pengalaman banjir di DKI Jakarta pada skala besar membuktikan, akan lebih baik jika pemerintah mengeluarkan anggaran dengan proporsi yang terukur untuk mencegah banjir ketimbang mengobati kejadian banjir yang menimbulkan kerugian tak terukur dan tak berujung.
(Litbang Kompas)