Solusi Teknis Mengurai Banjir
Jakarta dilahirkan dengan sejumlah kelemahan geografis. Sejauh manakah penanganan banjir warisan kolonial berjalan efektif?
Tak mudah menangani banjir Jakarta yang sudah terjadi sejak pemerintahan Kolonial Belanda hingga sekarang.
Jakarta terletak di topografi dataran rendah yang berbatasan langsung dengan laut, bercurah hujan tinggi, serta mengalami gejala penurunan permukaan tanah. Belum lagi, perubahan iklim telah mengakibatkan kenaikan permukaan laut dan mengancam pesisir utara Jakarta.
Berbagai kelemahan tersebut masih ditambah dengan aktivitas warga Ibu Kota yang memperparah kondisi banjir, di antaranya alih fungsi lahan konservasi di hulu hingga hilir menjadi kawasan terbangun. Kemudian, perilaku membuang sampah sembarangan ke sungai ataupun selokan air serta eksploitasi air tanah yang menyebabkan penurunan muka tanah.
Masa kolonial
Banjir besar di Batavia (Jakarta) bermula dari rekayasa sungai pada abad ke-16. Menurut buku Gagalnya Sistem Kanal (Restu, 2010), meander sungai yang berkelok diluruskan dan sebagian alirannya dialihkan. Tujuannya sebagai alur pelayaran, pembuangan air, serta sarana pertahanan kota. Akibatnya, risiko banjir semakin meningkat karena sedimentasi lumpur dari wilayah hulu. Sementara itu, hutan di wilayah hulu ditebang dan dijadikan perkebunan.
Langkah awal, Pemerintah Hindia Belanda menormalisasi kanal dan menambah saluran pengendali banjir. Upaya lain adalah mengendalikan aliran sungai dengan membangun beberapa pintu air.
Namun, upaya tersebut belum berhasil karena terjadi lagi banjir. Saat itu, banjir dipicu karena curah hujan tinggi, minimnya kapasitas saluran air, dan jebolnya tanggul sungai.
Belajar dari gagalnya sistem pengendalian debit banjir dengan pintu air dan normalisasi saluran, Herman van Breen tahun 1922 membuat rencana besar pengelolaan sistem air Batavia. Rencana Breen ini tidak hanya untuk mengendalikan banjir, tetapi juga untuk pengadaan air, perbaikan sungai, dan sebagai daerah resapan air.
Rencana Breen tersebut adalah Kanal Banjir Barat. Saat itu, Kanal Banjir Barat dibangun dengan menangkap aliran Sungai Ciliwung di Matraman dan membuat terusan melintang timur-barat memotong Sungai Cideng, Krukut, dan Grogol, melalui Karet sampai Muara Angke. Konsep Breen saat itu bagus karena mencoba mengendalikan arus sungai dari selatan dan mengalirkannya ke barat mengelilingi kota sampai ke laut.
Namun, sekitar tahun 1931 dan 1932, tercatat terjadi lagi banjir besar yang melanda Batavia, Tangerang, dan Bekasi karena meluapnya sungai Ciliwung, Angke, Grogol, Cisadane, dan Citarum. Hal ini membuktikan sistem kanal melintang di wilayah barat belum cukup efektif untuk mencegah timbulnya banjir.
Pembangunan Kanal Banjir Barat tersebut tidak diikuti dengan pembangunan drainase di permukiman penduduk. Saluran air hanya ada di perkampungan Eropa, sedangkan di perkampungan Bumiputra tidak tersedia.
Selain itu, pembangunan terusan Breen tersebut hanya direncanakan untuk melindungi daerah Batavia, Menteng, Gambir, Senen, Harmoni, Kota, Pasar Ikan, dan Priok saja. Padahal, masih ada aliran sungai lain yang melintasi Jakarta selain sungai yang dipotong oleh Kanal Banjir Barat tersebut.
Pasca kemerdekaan
Setelah merdeka, tahun 1965, Indonesia mempunyai institusi untuk menangani banjir yang disebut Komando Proyek Penanggulangan (Kopro) Banjir. Proyek yang dikoordinir oleh Departemen Pekerjaan Umum dan Pemprov DKI tersebut juga melakukan tindakan penanganan banjir, seperti normalisasi sungai dan pembuatan saluran baru.
Kopro Banjir meneruskan Rencana Breen memasang pompa untuk menghilangkan genangan pada wilayah bertopografi datar. Selanjutnya, melalui Pola Induk Tata Pengairan Jakarta 1965, dimulailah pembuatan Waduk Tebet, Melati, dan Surabaya untuk menampung air hujan sebelum masuk ke sungai.
Namun, upaya tersebut tetap tidak bisa mencegah datangnya luapan air sungai. Periode 1970-1980, genangan banjir makin meluas, bahkan frekuensi terjadinya banjir semakin pendek, menjadi setahun sekali.
Saluran pengendali banjir yang melintang serta aliran sungai alami dan buatan tetap tidak bisa menampung limpahan air dari hilir. Waduk (polder) yang dilengkapi pompa pun belum berfungsi sepenuhnya sebagai tempat penampungan air karena masih banyak daerah yang bertopografi datar.
Berbekal dari kelemahan rencana sebelumnya, Master Plan Pengendalian Banjir Jakarta (1973) membuat strategi baru. Strategi itu di antaranya adalah memperluas Kanal Banjir Barat hingga bisa menampung banjir dari Sungai Grogol dan Sekretaris. Selain itu, meneruskan pembangunan polder, serta memfungsikan kembali sungai lama sebagai aliran utama untuk mengalirkan air dari dalam kota.
Upaya selanjutnya hanya membangun sarana fisik terlokalisasi pada wilayah yang terkena banjir saja. Contohnya pembangunan saluran Cengkareng di luar sistem terusan Kanal Banjir Barat karena peristiwa luapan Kali Angke. Juga pembangunan saluran Cakung untuk meminimalkan dampak banjir di timur Jakarta.
Penanganan banjir secara fisik tersebut tetap tidak bisa menghilangkan ancaman banjir di Jakarta. Pada 1996, terjadi banjir besar di Jabodetabek. Catatan Kompas, terdapat 90 titik genangan. Ketinggian maksimal banjir mencapai 7 meter dan melimpas tanggul sepanjang 2,5 km. Sebanyak 529 rumah hanyut dan 398 lainnya rusak. Korban jiwa 20 orang dan 30.000 orang mengungsi.
Kanal banjir
Setelah banjir besar tersebut, Pemprov DKI Jakarta masih mengedepankan usaha teknis dengan pembangunan Kanal Banjir Timur yang menjadi bagian Rencana Breen. Kanal Banjir Timur dibangun dari 2004 hingga 2011. Saluran yang melintang sepanjang 39,5 kilometer ini ditargetkan bisa melindungi banjir bagi wilayah timur Jakarta.
Kanal Banjir Timur Bersama Cakung Drain serta Kanal Banjir Barat dan Cengkareng Drain diharapkan menjadi saluran utama untuk mengalirkan air sungai yang masuk ke Jakarta melalui pinggir kota dan langsung ke laut.
Dalam buku Mengapa Jakarta Banjir? (Team Mirah Sakethi, Jakarta, 2010)”, prinsip pengendalian banjir yang diterapkan sampai saat ini mengadopsi Rencana Breen untuk menghambat air yang datang dari hulu supaya tidak memasuki wilayah tengah Jakarta. Sementara di kawasan selatan Jakarta yang permukaan tanahnya relatif tinggi dibuatkan drainase yang akan menyalurkan air secara alamiah dengan memanfaatkan gaya gravitasi.
Di daerah yang lebih rendah, pada genangan air yang tidak dapat mengalir ke mana pun, digunakan sistem polder. Cara kerjanya, mesin pompa akan memompa keluar air yang menggenangi daerah-daerah yang rendah dan mengeringkan daerah rendah ini dari genangan air.
Kunci utama sistem polder adalah tanggul atau waduk. Tanggul berfungsi untuk menahan air dari luar area, sedangkan waduk berfungsi untuk menampung air baik dari dalam maupun luar area. Pompa-pompa air berfungsi untuk membuang air dari dalam waduk. Setiap saat air meninggi, pompa dengan cepat akan mengalirkan air ke laut.
Sampai sekarang sudah dibangun 40 sistem polder di wilayah Jakarta dan pemerintah sedang menyiapkan untuk membangun 15 sistem polder lagi. Salah satunya adalah Polder Rawa Terate, Jakarta Timur, untuk pembuangan air langsung ke Cakung Drain.
Normalisasi
Namun, prinsip pengendalian banjir ala Breen belum sepenuhnya efektif mengatasi banjir. Pada 2007, Jakarta kebanjiran lagi. Curah hujan saat itu cukup tinggi hingga mencapai 340 mm per hari. Akibatnya, 70 persen wilayah Jakarta tergenang. Tak hanya itu, 17 persen wilayah Tangerang serta 6,5 persen wilayah Bogor, Bekasi, dan Depok juga ikut tergenang.
Setelah banjir besar itu, Komisi V DPR mengadakan rapat kerja bersama dengan Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Pekerjaan Umum, Kepala Bappenas, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten. Hasilnya adalah kesepakatan pengalokasian dana untuk antisipasi banjir di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten (Kompas, 08/11/2007).
Dibuatlah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penanganan Masalah Banjir di Wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi serta kawasan Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). Isinya, penanganan masalah banjir akan dilakukan dengan upaya struktural dan nonstruktural.
Upaya struktural antara lain adalah dengan percepatan pembangunan Kanal Banjir Timur, penanganan sungai (normalisasi, pengerjaan pintu air, pengerukan muara) di wilayah Jabodetabek, rehabilitasi situ, perbaikan drainase, pengerukan waduk, dan pembuatan polder baru. Adapun upaya nonstruktural dilakukan dengan penataan ruang.
Bahkan, Bank Dunia sempat turun tangan memberikan bantuan untuk mengeruk sedimentasi dan akumulasi limbah padat di 10 sungai dan empat waduk di Jakarta. Bantuan tersebut merupakan Proyek Darurat Penanggulangan Banjir Jakarta/Jakarta Emergency Dredging Initiative. Proyek JEDI tersebut tak sekadar mengeruk sedimentasi, tetapi juga memberikan keahlian teknis melalui pelatihan untuk memperkuat kapasitas pemda DKI untuk mengoperasikan dan memelihara sistem pengendalian banjir, sesuai dengan standar operasional.
Namun, proyek yang terbagi atas tujuh paket tersebut hingga 2016 pada pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama belum juga terlaksana. Aturan hukum hingga penyediaan permukiman sebagai relokasi warga di bantaran kali menjadi kendala pelaksanaan program tersebut.
Polemik soal proyek JEDI membuat kondisi sungai, saluran, ataupun situ di Jakarta makin buruk karena sedimentasi dan sampah. Akhirnya, pada 2012 dan 2013, Jakarta kembali kebanjiran meski tidak separah banjir 2007.
Namun, pada 2011, akhirnya pemerintah pusat turun tangan melakukan normalisasi di Sungai Pesanggarahan, Angke, dan Sunter. Proyek normalisasi di tiga sungai tersebut hingga tahun 2015. Pembebasan lahan menjadi kendala proyek tersebut meski akhirnya selesai juga.
Normalisasi Sungai Ciliwung juga dilakukan pada 2012-2016 melalui proyek Total Solution for Ciliwung. Namun, dari rencana normalisasi 33,69 kilometer baru dikerjakan 16,9 kilometer karena kendala pembebasan lahan permukiman penduduk.
Pada masa pemerintahan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, pemindahan penduduk di bantaran sungai berhasil dilakukan. Sebanyak 300 orang di Kawasan Kampung Pulo dipindahkan ke Rusunawa Jatinegara Barat, Cipinang Besar Selatan, dan Pulo Gebang. Dalam perkembangannya, proyek normalisasi sungai dihentikan. Alasannya, Pemerintah Provinsi DKI tidak menyediakan anggaran untuk pembebasan lahan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sekarang lebih memilih naturalisasi. Naturalisasi yang dimaksud adalah pembangunan fisik yang menggunakan material bersifat alami dan ramah lingkungan, serta prosesnya dilaksanakan secara manusiawi. Penanganan banjir melalui naturalisasi memang tidak ada proses pemindahan manusia dari bantaran sungai.
Polemik tersebut belumlah berakhir. Hingga akhirnya terjadi banjir besar di pembuka tahun 2020. Banjir tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. (LITBANG KOMPAS)