Bagaimana Penanggulangan Banjir di Batavia?
Posisi Batavia yang terletak di dataran rendah telah disadari sejak lama oleh para pimpinan VOC dan pemerintah Hindia Belanda. Sejumlah kebijakan pun diterapkan untuk mengantisipasi banjir, baik di bagian hulu maupun hilir Kali Ciliwung.
Tak lama setelah VOC menguasai Jayakarta dan mengganti nama wilayah ini menjadi Batavia, banjir melanda pada tahun 1621. Kejadian ini membuka mata para petinggi VOC untuk membangun kota yang dilengkapi dengan sistem mitigasi banjir.
Langkah mitigasi dilakukan pada tahun 1622 atau sekitar satu tahun setelah banjir melanda Batavia. Di bawah komando Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen, dibangunlah tiga kanal atau parit dengan posisi tegak lurus dengan Kali Ciliwung. Kanal digali secara sejajar dari arah timur ke barat dan bermuara di Kali Ciliwung.
Ketiga kanal ini dikenal dengan nama Tijgersgrach (Kanal Macan), Amsterdamgracht (Paris Amsterdam) dan Oude Kerkgracht (Kanal Gereja Lama). Salah satu jejak kanal-kanal yang dibangun pada era Hindia Belanda kini menjadi Jalan Pos Kota yang terletak di kawasan Kota Tua, Jakarta Utara. (Ma’mun, 2012)
Penggalian kanal terus dilakukan pada masa VOC. Saat itu, Batavia mulai menyerupai konsep kota di Amsterdam, Belanda, yang terkenal dengan kanal-kanalnya yang bersih. Selain untuk mencegah banjir, kanal ini juga dimaksudkan untuk melindungi Batavia dari serangan luar.
Kanal-kanal lainnya banyak di bangun, baik di tembok kota maupun luar tembok kota Batavia. Pada tahun 1647, misalnya, digali kanal pada bagian timur Batavia yang disebut Kanal Ancol. Sementara pada sisi selatan, juga digali kanal yang dikenal sebagai Kanal Sunter. Kedua kanal tersebut hingga kini masih dapat dinikmati sebagai saksi sejarah perjalanan panjang pembangunan parit di Jakarta.
Kanal lainnya juga digali pada tahun 1648 pada sisi selatan Batavia yang dikenal dengan nama Molenvliet. Dahulu, kanal ini juga digunakan untuk lalu lintas perahu dan menggerakkan molen atau kincir di sekitar Batavia. Kanal ini adalah saksi bisu keelokan Batavia tiga abad silam. Kini, kanal yang terletak di tengah-tengah Jalan Gadjah Mada dan Hayam Wuruk tersebut masih berfungsi.
Hingga pertengahan abad ke-17, daerah sekitar Batavia telah memiliki kanal-kanal yang dapat menampung debit air. Sejumlah kanal atau parit lainnya yang digali di antaranya adalah Garnalengracht (Parit Udang), Spinhuisgracht (parit jaring laba-laba), dan Groningergracht (Parit Groningen). Pembangunan parit ini juga bermanfaat bagi sawah dan perkebunan tebu di sekitar daerah Batavia.
Sayangnya, beberapa kanal-kanal yang dibangun sepanjang era VOC mengalami kerusakan saat letusan Gunung Salak pada tahun 1699. Lahar dingin yang mengalir hingga ke Batavia turut merusak sistem pengairan yang telah dibangun kala itu.
Kanal ini adalah saksi bisu keelokan Batavia tiga abad silam
Selain itu, hilangnya sebagian kanal juga tak dapat dipisahkan dari kebijakan Gubernur Jenderal Herman Daendels. Saat menjabat tahun 1808-1811, Daendels memindahkan pusat kota dari kawasan yang kini dikenal sebagai Kota Tua ke Weltevreden atau yang kini berada di sekitar kawasan Monas dan Lapangan Banteng. Pemindahan pusat kota ini turut merusak kanal-kanal yang telah dibangun di sekitar tembok kota Batavia.
Upaya lain
Selain kanal, upaya lainnya untuk mencegah banjir dilakukan pada tahun 1634. Saat itu, Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer membangun gerbang Rotterdam dan tembok laut pemecah gelombang di Muara Ciliwung. Tujuannya adalah untuk mencegah adanya pengendapan lumpur di muara Ciliwung.
Upaya pengembalian fungsi rawa-rawa di sekitar Batavia juga sempat tercetus pada tahun 1822. Namun, besarnya biaya yang diperlukan menyebabkan wacana ini urung dilaksanakan. Upaya pencegahan banjir kemudian dilakukan pada tahun 1854 saat pemerintah Hindia Belanda membentuk Departemen Tata Air dan Bangunan. Departemen ini salah satunya bertugas untuk mengantisipasi banjir dengan berbagai cara seperti memasang pintu air dan memantau arus Kali Ciliwung. (Sawarendro, 2012)
Upaya pencegahan banjir lainnya dilakukan dengan cara membangun pintu air. Langkah ini salah satunya dilakukan usai banjir besar pada tahun 1918. Saat itu, pemerintah Hindia Belanda mengutus H. van Breen dari Burgerlijke Openbare Werken atau yang kini dikenal sebagai Kementerian Pekerjaan Umum untuk menyusun strategi penanggulangan banjir.
Saat itu, kawasan Batavia hanya seluas 2.500 hektar atau 3,8 persen dibandingkan luas wilayah Jakarta saat ini. Banjir dikhawatirkan kembali terjadi akibat pembukaan sebagian lahan untuk perkebunan teh di sekitar wilayah hulu Kali Ciliwung. (Soehoed, 2002)
Konsep yang ditawarkan saat itu adalah dengan membatasi aliran air yang masuk ke kawasan Batavia dan sekitarnya. Untuk itu, dibangunlah saluran yang dikenal dengan Banjir Kanal Barat pada tahun 1920. Banjir kanal ini ditujukan untuk memecah aliran sungai hingga menuju ke laut.
Beberapa pintu air juga turut dibangun seperti Pintu Air Manggarai hingga Pintu Air Karet. Hingga kini, kedua pintu air tersebut masih memegang peranan dalam pengendalian arus sungai di Jakarta.
Bagian hulu
Upaya pengendalian debit air juga dilakukan pada bagian hulu Kali Ciliwung. Pada tahun 1749, Gubernur Van Imhoff telah memerintahkan untuk membangun Bendung Katulampa di sekitar Buitenzorg (Bogor). Tujuan pembangunan bendungan ini di antaranya adalah sebagai bangunan peninggi air untuk keperluan irigasi dan pengendalian air bagi daerah sekitar Bogor hingga Batavia.
Namun, karena dibangun secara nonpermanen, bendungan ini beberapa kali mengalami kerusakan. Untuk itu, dilakukan perawatan bendungan dengan biaya yang tak sedikit. Setelah mengalami beberapa kali perbaikan, pada 3 April 1911 pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun bendungan secara permanen. (Gunawan, 2010)
Hingga kini, Bendung Katulampa masih memegang peranan penting bagi Jakarta. Ketinggian muka air di bendungan menjadi peringatan bagi Jakarta untuk bersiap menghadapi luapan Kali Ciliwung pada sejumlah lokasi.
Rangkaian upaya penanggulangan banjir pada era Batavia ini menggambarkan bahwa daerah Jakarta tak terlepas dari persoalan banjir sejak lebih dari tiga abad silam. Ini tentu menjadi pelajaran berharga bagi penanggulangan banjir di Jakarta saat ini dan di masa yang akan datang. (Dedy Afrianto/Litbang Kompas)