Vokasi, Sejak VOC Sampai Jokowi
Pendidikan vokasi didorong memperkuat mutu lulusan agar berdaya saing dan mempunyai kecakapan abad ke-21, inovatif-kreatif, mampu bekerja dalam tren digital dan tren pekerjaan masa depan.
Dirunut dari sejarahnya, masa pemerintahan VOC sudah menyelenggarakan pendidikan kejuruan alias kejuruan.
Pendidikan vokasi atau kejuruan adalah pendidikan yang difokuskan untuk mempersiapkan dan membekali lulusannya agar langsung siap bekerja, sesuai jenis bidang keahlian. Pendidikan yang diberikan adalah pelatihan kompetensi, bersifat praktikal .
Sekolah berorientasi kejuruan yang didirikan pertama kali adalah Akademi Pelayaran (Academie der Marine) pada tahun 1743, menyusul sekolah-sekolah keagamaan yang didirikan sebelumnya. Tetapi sekolah ini ditutup kembali pada tahun 1755.
Baru pada tahun 1853 Belanda mendirikan sekolah kejuruan, yaitu Ambachts School van Soerabaia (Sekolah Pertukangan Surabaya) yang diperuntukan bagi anak-anak Indo dan Belanda, disusul kemudian oleh sekolah serupa di Jakarta pada 1856.
Dari Sekolah Pertukangan, kemudian berkembang lagi Pendidikan Kejuruan Pertanian. Lalu dibangun Pendidikan Kejuruan Teknik, yang mengembangkan keahlian seperti keahlian bangunan, keahlian pertambangan, pendidikan masinis, dan lain-lain.
Juga dibangun Sekolah Keputrian. Pendidikan yang awalnya oleh pemerintah Belanda hanya untuk kebangsaan Eropa dan China, akhirnya dikembangkan juga untuk masyarakat pribumi.
Jadi, hingga saat ini sekolah kejuruan di Indonesia telah berusia lebih dari 1,5 abad. Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda, pada tahun 1940 terdapat sekitar 88 sekolah kejuruan di Indonesia dengan 13.230 siswa, umumnya dalam bidang pertukangan, teknik dan pertanian.
Setelah era kemerdekaan, pendidikan kejuruan berkembang melalui beberapa periode kurikulum hingga dalam pendidikan menengah atas dikenal beberapa sekolah kejuruan seperti STM (Sekolah Tehnik Menengah), SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas), dan SMKK (Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga).
Hingga pada tahun 1997 Mendikbud mengeluarkan Keputusan nomor 036/O/1997 tentang Perubahan Nomenklatur SMKTA menjadi SMK. Sejak itu semua jenis sekolah kejuruan menengah tingkat atas disebut Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Pola Pendidikan Vokasi
Pola pendidikan di Indonesia mengadopsi pendidikan menengah vokasi dan dituangkan dalam 3 program pendidikan lanjutan yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Balai Latihan Kerja (BLK), dan Politeknik.
SMK merupakan lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan di tingkat pendidikan menengah. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 yang menjelaskan bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
Sementara pasal 18 ayat 2 menyebutkan bahwa pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
Sedangkan politeknik sebagai bagian pendidikan vokasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam peraturan tersebut dijelaskan yang termasuk jenis pendidikan tinggi adalah pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi.
Pasal 16 menyebutkan pendidikan vokasi merupakan Pendidikan Tinggi program diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan. Pada tataran Pendidikan Tinggi yang menjalankan pendidikan vokasi secara penuh adalah Politeknik dan Akademi.
Sementara itu BLK adalah tempat diselenggarakannya proses pelatihan kerja bagi peserta pelatihan sehingga mampu dan menguasai suatu jenis dan tingkat kompetensi kerja tertentu untuk membekali dirinya dalam memasuki pasar kerja dan/atau usaha mandiri.
Jenis pendidikan ini juga menjadi tempat pelatihan untuk meningkatkan produktivitas kerjanya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Keberadaan BLK lebih untuk mengupgrade keterampilan atau upskilling.
Profil
Jumlah SMK di Indonesia terus mengalami peningkatan. Tahun ajaran 2016/2017 tercatat 13.236 SMK bertambah menjadi 13.710 di tahun ajaran 2017/2018. Tahun ajaran 2018/2019, jumlah SMK mencapai 14.064 sekolah, sedikit lebih tinggi dari jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 13.692 sekolah. Proporsinya 50,7:49,3 (persen).
Sejak tahun 2012 izin pembukaan SMA diperketat karena pemerintah fokus untuk mengembangkan SMK. Berdasarkan rencana strategis Kementerian Pendidikan proporsi SMK dan SMA direncanakan menjadi 70 : 30. Hal tersebut menggambarkan SMK akan menjadi tulang punggung industri di Indonesia.
Dilihat dari persebarannya, 78 persen SMK ada di Pulau Jawa dan Sumatera. Di Pulau Jawa 57 persen dan Pulau Sumatera 21 persen. Tingginya jumlah SMK di kedua pulau tersebut sebagai akibat tingginya perkembangan lapangan pekerjaan di Indonesia bagian Barat. Sementara di Indonesia bagian Timur (Pulau Maluku dan Papua) jumlah SMK hanya 3 persen.
Meningkatnya jumlah SMK juga diikuti dengan meningkatnya jumlah siswa. Dalam tiga tahun terakhir jumlah siswa bertumbuh dari 4,7 juta pada 2017 menjadi 4,9 juta di tahun 2018, dan mencapai 5 juta di tahun 2019. Hal ini juga menunjukkan minat masyarakat menempuh pendidikan di sekolah kejuruan meningkat. Kebutuhan tenaga kerja yang kompeten yang dibutuhkan industri dapat dipenuhi dari lulusan SMK ini.
Dilihat dari kompetensinya, SMK di Indonesia memiliki 144 kompetensi, masih jauh dibandingkan kompetensi vokasi di Jerman yang mencapai 349 kompetensi. Dari 144 kompetensi, sekitar 60 persen hanya diisi oleh 10 kompetensi utama.
Kompetensi itu adalah teknik komputer dan jaringan, akuntansi, administrasi perkantoran, teknik kendaraan ringan, teknik kendaraan motor, teknik pemesinan. Selain itu ada juga kompetensi pemeliharaan dan perbaikan motor dan rangka pesawat udara, multi media, pemasaran, serta teknik pendingin dan tata udara.
Kompetensi-kompetensi tersebut dimiliki oleh mayoritas SMK karena permintaan industri akan SMK tersebut cukup tinggi. Kondisi ini bisa menjadi pisau bermata dua.
Di satu sisi dapat memenuhi permintaan industri, namun di sisi lain banyaknya lulusan pada kompetensi tersebut bisa mengakibatkan tidak semuanya bisa terserap oleh industri. Apalagi persebaran kompetensi di pulau-pulau besar juga hampir sama.
Untuk meningkatkan keahliannya, lulusan SMK dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi vokasi yaitu politeknik atau akademi dalam program diploma. Pendidikan tinggi vokasi ini akan mencetak tenaga kerja yang memiliki keterampilan khusus.
Politeknik sebagai lembaga pendidikan tinggi yang khusus menjalankan pendidikan vokasi mulai dikenal oleh masyarakat pada awal tahun 1970-an. Diawali dengan kerjasama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Konfederasi Swiss, pada tahun 1975 diselenggarakan pendidikan ahli teknik untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja terampil pada industri logam dan permesinan.
Nama sekolah yang dibangun adalah Politeknik Mekanik Swiss-ITB disingkat PMS-ITB, yang sejak tahun 1987 berganti nama menjadi Politeknik Manufaktur Negeri Bandung disingkat Polman Bandung. PMS-ITB dikenal sebagai pionir pendidikan politeknik di Indonesia.
Berdasarkan data PDDIKTI tahun 2017, jumlah politeknik di Indonesia sebanyak 258 atau 6 persen dari total jenis perguruan tinggi sebanyak 4.573 PT. Berada di urutan keempat setelah universitas dan mayoritas adalah politeknik swasta. Dari sisi kuantitas jika fokus pemerintah ingin menjadikan pendidikan vokasi sebagai tulang punggung industri tentu jumlahnya perlu ditambah diselaraskan dengan perkembangan dunia usaha dunia industri (DUDI).
Sementara jika dilihat dari sisi kualitas, potret politeknik di Indonesia masih jauh dari yang diinginkan. Dari seluruh program studi yang ada, 57 persen terakreditasi C. Sebanyak 36 persen terakreditasi B dan hanya 4 persen yang berstatus terakreditasi A. Hal ini akan berimbas pada lulusan yang diminta oleh industri yang mensyaratkan paling tidak dibutuhkan dari Program Studi yang terakreditasi B.
Dari distribusi persebaran per provinsi, dominasi keberadaan politeknik masih di pulau Jawa, hampir separuh politeknik tersebar di Jawa. Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah paling banyak. Sementara jumlah politeknik di Sumatera sekitar 23 persen, didominasi Provinsi Sumatera Utara dan Aceh. Sisanya tersebar di pulau lain berkisar antara 3 sampai 9 persen.
Selain program Diploma (DI – DIV), politeknik juga membuka program jenjang Magister dan Doktoral terapan untuk menciptakan kualifikasi tenaga kerja yang lebih tinggi di bidang ilmu terapan. Titik berat program magister dan doktoral terapan adalah pada praktik dan menghasilkan produk yang bernilai inovasi.
Bagi lulusan SMK yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan lebih tinggi dan ingin menambah keterampilan, pemerintah mendirikan Balai Latihan Kerja (BLK). Selain lulusan SMK, BLK juga menampung tenaga kerja yang terkena PHK karena kondisi ekonomi maupun tergerus akibat disrupsi teknologi untuk meningkatkan skillnya (UpSkilling).
Saat ini di Indonesia tersebar 303 BLK di 34 Provinsi, 277 berkategori baik. Sebanyak 64 persen BLK masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki jumlah BLK terbanyak, masing-masing 33 dan 25 BLK yang masih beroperasi. Sedangkan di Sumatera, Provinsi Aceh memiliki 14 BLK dan di Provinsi Sumatera Utara terdapat 13 BLK.
Jika dibandingkan Indonesia bagian Barat dengan Indonesia bagian Timur, terlihat sekali proporsi BLK yang tidak seimbang. Sebanyak 96 persen di Indonesia bagian Barat sementara di Indonesia bagian Timur hanya 4 persen.
BLK sangat dibutuhkan dengan keterampilan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah. Pelatihan tenaga kerja yang sudah dirintis sejak 50 tahun yang lalu ini bisa menjadi solusi untuk menjawab permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan yang dibutuhkan dunia industri. (Litbang Kompas)