KPK tetap menjadi lembaga yang diharapkan mampu menangani korupsi yang masih menjadi problem bangsa ini. Pemberlakuan undang-undang baru menjadi tantangan untuk membuktikan bahwa KPK tetap bisa diandalkan.
Oleh
Yohan Wahyu/ Litbang Kompas
·5 menit baca
Harapan masyarakat terhadap kemampuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi tertuang dari hasil jajak pendapat Kompas, pekan lalu. KPK dilihat sebagai lembaga yang lebih diandalkan menangani korupsi. Sejak berdiri pada 2002, lembaga ini relatif mendapat kepercayaan dan dukungan besar dari publik. Hal ini terekam dari catatan citra positif dan kepuasan kinerja sepanjang perjalanan KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi.
Setelah revisi Undang-Undang (UU) KPK, pada awal 2020, dalam rentang waktu yang berdekatan, KPK menangkap Bupati Sidoarjo, Jawa Timur, Saiful Ilah dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. Saiful Ilah ditangkap karena dugaan suap terkait pengadaan proyek infrastruktur di Sidoarjo. Sementara Wahyu ditangkap terkait dugaan suap proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR yang melibatkan calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Dua penangkapan pejabat publik ini merupakan yang pertama dilakukan KPK di era pemberlakuan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK sekaligus yang perdana pada masa kepemimpinan KPK periode 2019-2023. Meski Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan, kedua kasus ini merupakan kelanjutan dari penyelidikan sejak masa kepemimpinan KPK periode 2015-2019, hal itu tidak mengurangi atensi publik terhadap keseriusan KPK di bawah UU yang baru dalam melawan tindakan rasuah.
Peristiwa penangkapan pada awal tahun ini terjadi di tengah sorotan publik terhadap masa depan pemberantasan korupsi setelah sejumlah kewenangan KPK diberi kontrol tambahan. Hiruk pikuk revisi UU KPK yang kemudian mendapat reaksi luas berupa aksi mahasiswa di sejumlah daerah menunjukkan, betapa publik masih berharap lembaga ini tetap terjaga taringnya dalam memberantas korupsi.
Hampir semua responden jajak pendapat Kompas (97,6 persen) memandang korupsi adalah kejahatan luar biasa sehingga juga harus diberantas dengan cara luar biasa. Meski demikian, publik juga menekankan bahwa KPK harus tetap mengedepankan proses birokrasi dan menjalankan aturan demi menghindari penyalahgunaan kewenangan.
Sejak lahir sampai sebelum UU KPK No 30/2002 direvisi menjadi UU No 19/2019, lembaga ini lebih menonjol dalam penindakan kasus korupsi. Penyadapan dan operasi tangkap tangan dipandang publik sebagai salah satu taring KPK dalam mengungkap kasus korupsi dan menjerat pelakunya. Kini, sejumlah kewenangan itu dihadapkan pada pembatasan, salah satunya adanya Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Organ baru inilah yang berwenang memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh KPK. Artinya, birokrasi penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan menjadi lebih panjang dibandingkan dengan sebelum UU KPK direvisi.
Terbelah
Keberadaan Dewan Pengawas KPK menjadi salah satu yang dinilai responden dalam jajak pendapat kali ini sebagai hal yang berpotensi menghambat kinerja KPK. Setidaknya jajak pendapat menangkap terbelahnya sikap publik pada efektivitas kehadiran Dewan Pengawas. Sebanyak 50,6 persen responden meyakini Dewan Pengawas berpotensi menghambat kerja pemberantasan korupsi, sedangkan 49,4 persen responden melihatnya sebagai upaya mencegah penyalahgunaan kewenangan penyadapan oleh KPK.
Saat menangani kasus dugaan suap terhadap Wahyu, penggeledahan sejumlah tempat dilakukan selang empat hari setelah penangkapan. Sejumlah publik mempersalahkan Dewan Pengawas yang baru memberikan izin penggeledahan pada Jumat (10/1/2020) malam, sedangkan penangkapan Wahyu dilakukan Rabu (8/1/2020). Anggota Dewan Pengawas, Syamsuddin Haris, mengatakan, pihaknya sebenarnya menunggu pengajuan izin penggeledahan dari pimpinan KPK sejak Kamis (9/1/2020), tetapi izin baru diajukan Jumat (Kompas, 12/1/2020).
Ada kekhawatiran terjadinya penghilangan barang bukti jika upaya penggeledahan dilakukan setelah beberapa hari sejak kasus ini diungkap lewat penetapan tersangka. Bagaimanapun, keberadaan Dewan Pengawas berimbas pada birokrasi penggeledahan yang semakin panjang. Sejumlah elemen masyarakat sipil menilai hal ini sebagai salah satu faktor penghambat penggeledahan terkait kasus dugaan suap terhadap anggota KPU.
Meski demikian, soal keberadaan Dewan Pengawas ini cenderung diberi tempat oleh publik dengan harapan para ahli hukum yang ada di dalamnya memiliki independensi dan komitmen kuat pemberantasan korupsi. Separuh lebih responden meyakini keberadaan Dewan Pengawas akan mampu membuat kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK menjadi lebih baik.
Independensi
Independensi penting dijaga karena selama ini independensi dan komitmen pemberantasan korupsi dipandang publik merupakan kekuatan utama dalam diri KPK. Dalam memori publik, KPK juga dipandang sebagai lembaga yang paling ditakuti oleh para pelaku korupsi. Dari 2004 hingga 2019, KPK sudah mengusut kasus korupsi yang melibatkan 15 gubernur, 77 bupati, 3 wakil bupati, 25 wali kota, dan 1 wakil wali kota. Total ada 121 kepala daerah yang ditangani KPK. Data ini belum termasuk anggota legislatif, baik daerah maupun nasional, yang menjadi daftar panjang pelaku korupsi yang ditangani KPK.
Dengan pemberlakuan UU KPK yang baru, independensi lembaga ini akan diuji. Apalagi, di UU yang baru ini KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif dan pegawai lembaga ini merupakan aparatur sipil negara (ASN) yang harus terikat dengan perundang-undangan mengenai ASN. Tentu hal ini berpengaruh pada independensi KPK dalam melakukan pengangkatan, pergeseran, dan mutasi pegawai saat menjalankan tugas.
Sorotan publik pada KPK setelah pemberlakuan UU No 19/2019 tentang KPK ini harus bisa dijawab oleh lembaga tersebut. Setidaknya publik harus diyakinkan bahwa KPK masih memiliki taring yang tajam dalam menangkap para koruptor kakap.
Sejauh ini, merujuk hasil jajak pendapat Kompas, sejak awal tahun pendirian KPK, citra KPK relatif meningkat dari masa awal pendirian dan terjaga baik di mata publik. Kepercayaan publik yang relatif masih terjaga tersebut menjadi modal sosial bagi KPK untuk membuktikan bahwa lembaga ini tetap dalam koridor untuk bisa memenuhi harapan publik.
Selain itu, tingkat kepuasan publik terhadap lembaga ini juga relatif stabil. Sejauh ini, hampir 60 persen responden menyatakan puas dengan kinerja KPK. Kepuasan ini juga dibarengi sebuah keyakinan bahwa ke depan kinerja KPK akan lebih baik lagi. Akhirnya, modal sosial inilah yang harus terus dijaga KPK.