Lika-liku Perayaan Imlek
Nuansa keceriaan dan kebebasan menyambut perayaan Imlek selama hampir dua dekade tak lepas dari pasang surutnya dari masa ke masa.
Jika menengok sejarahnya, kebijakan melarang atau mengizinkan Imlek pernah terjadi pada masa silam dan tak lepas dari pengaruh sosial politik pada zamannya.
Pada masa penjajahan Belanda, peringatan Imlek waktu itu dilarang untuk dirayakan. Pelarangan itu tidak lepas dari politik diskriminasi yang dikukuhkan oleh VOC pada tahun 1717 dan 1766 lewat peraturan pemilahan ruang hidup dan budaya orang Tionghoa yang terus-menerus diperkuat oleh bermacam aturan. Kelompok etnik Tionghoa waktu itu seakan diasingkan dari kelompok etnik Indonesia lainnya.
Masa pendudukan Jepang diwarnai dengan berbagai usaha ”resinifikasi” (penchinaan kembali) peranakan Tionghoa yang dianggap sudah terlalu banyak dipengaruhi kebudayaan Barat. Pada masa itu, Jepang bahkan mendorong kaum peranakan Tionghoa belajar bahasa Tionghoa dan menghidupkan kembali berbagai bentuk budaya Tionghoa.
Pemerintah pendudukan Jepang kemudian menjadikan Imlek sebagai hari libur resmi berdasarkan keputusan Osamu Seiri nomor 26 tanggal 1 Agustus 1942. Itulah pertama kali dalam sejarah Tionghoa di Indonesia Imlek menjadi hari libur.
Pada tahun 1946, ketika Republik Indonesia baru berdiri, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang Hari-hari Raya Umat Beragama No.2/OEM-1946. Pada Pasal 4 disebutkan penetapan empat hari raya orang Tionghoa, yaitu tahun baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu (tanggal 18 bulan 2 Imlek), Ceng Beng, dan hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27 bulan 2 Imlek). Hari raya Imlek Kongzili merupakan hari raya agama Tionghoa.
Waktu itu, Presiden Soekarno juga mengeluarkan maklumat agar kantor pemerintah mengibarkan bendera nasional Republik China di samping sang Merah Putih setiap perayaan hari lahirnya Republik China. Demikian juga orang Tionghoa boleh mengibarkan bendera kebangsaan China dalam setiap hari raya bangsa Tionghoa.
Namun, kondisi itu berubah pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Saat itu, pemerintah Orde Baru meragukan nasionalisme keturunan Tionghoa.
Melansir harian Kompas, 8 Februari 2005, setidaknya ada 21 peraturan perundang-undangan yang diterapkan Presiden Soeharto terkait warga keturunan Tionghoa tidak lama setelah ia memperoleh Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret.
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 membatasi warga keturunan Tionghoa dalam merayakan ritual-ritual Khonghucu, kepercayaan asli mereka. Termasuk di dalamnya keterbatasan merayakan Imlek dengan menggelar pertunjukan barongsai dan mengarak patung dewa-dewa alias toapekong di tempat umum.
Koran-koran beraksara China ditutup. Sekolah-sekolah China yang mengajarkan bahasa dan kebudayaan China mengalami akhir yang sama. Lagu bahasa Mandarin tidak boleh diputar di radio.
Sejak itu, kaum keturunan Tionghoa ”bergerilya” dalam berkebudayaan. Ritual-ritual dan perayaan-perayaan yang berhubungan dengan agama, kepercayaan, dan tradisi asli China dilakukan secara tertutup. Ritual Imlek, misalnya, dilakukan komunitas Tionghoa hanya dalam lingkungan kelenteng.
Tak hanya itu. Sikap diskriminatif yang mereka terima baik secara politik maupun sosial akibat sinofobia, membuat sebagian warga keturunan Tionghoa sampai merasa perlu menyamarkan identitas etnik dan kebudayaan mereka, menyesuaikan kondisi masyarakat Indonesia.
Upaya yang dilakukan antara lain mengganti nama China mereka dengan nama yang lebih Indonesia. Untuk tujuan sama, sebagian secara resmi juga meninggalkan ajaran Khonghucu warisan orangtua dan memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah.
Masa reformasi
Keterbatasan merayakan Imlek selama 32 tahun berakhir saat reformasi 1998 bergulir. Gerakan reformasi juga membuka keran kebebasan warga negara keturunan Tionghoa. Dalam hal adat istiadat, praktik Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang penyelenggaraan upacara adat dan ibadat di depan umum mulai longgar.
Presiden BJ Habibie dalam masa baktinya yang singkat menerbitkan Inpres Nomor 26 Tahun 1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa. Dalam inpres tersebut, penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan dihentikan.
Semua serba terbuka sejak Presiden ke-4 (1999-2001) Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menetapkan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2000 dan mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Sejak itulah, warga keturunan Tionghoa tak lagi memerlukan izin khusus untuk mengekspresikan secara publik berbagai aspek dari kepercayaan, kebudayaan, dan tradisi asli mereka.
Inpres yang terbit pada 17 Januari tersebut membawa sukacita yang telah lama surut. Tahun baru Imlek tahun itu, yang jatuh pada 5 Januari, dirayakan dengan cukup megah di kompleks Museum Fatahillah, Jakarta.
Baca juga: Pesta Diskon di 25 Pusat Belanja
Setahun kemudian, Pada 19 Januari 2001, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Waktu itu, hari libur hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya. Penetapan itu seolah melengkapi penganugerahan identitas yang selama ini digenggam oleh penguasa.
Di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Artinya, hari libur bukan hanya untuk warga etnis Tionghoa yang merayakan Imlek.
Saat menghadiri perayaan Imlek 2553 Kongzili yang diselenggarakan Matakin, Megawati mengumumkan bahwa Imlek sebagai hari libur nasional dimulai sejak 2003. Pengumuman ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek, tertanggal 9 April.
Sejak saat itu, warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika merayakan Imlek. Kebudayaan Tionghoa pun kembali menggeliat. Atraksi khas liong dan barongsai, yang ditiadakan sejak akhir dekade ’60-an, dapat digelar lagi, bahkan di tempat terbuka dan di permukiman penduduk.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dikeluarkan Keppres Nomor 12 Tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Keppres itu berisi tentang menghapus istilah China dan kembali ke istilah etnis Tionghoa.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpandangan, tidak adil apabila mereka yang sudah lahir, besar, dan bekerja serta mengabdi di Indonesia masih mendapatkan stereotip dengan penyebutan istilah etnis China. Keppres Nomor 12 Tahun 2014 tersebut merupakan sebuah terobosan penting dalam upaya menciptakan suasana kehidupan yang bebas diskriminasi ras dan golongan.
Saat ini, di era pemerintahan Joko Widodo, perayaan seni dan tradisi budaya Tionghoa sudah makin semarak. Ucapan ”Gong Xi Fat Chai” makin bertebaran di ruang-ruang publik, seperti televisi, media cetak, dan media sosial, serta semakin terbuka.
Kini, warga keturunan Tionghoa di Indonesia yang berjumlah 2,83 juta jiwa atau 1,2 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 236,73 juta jiwa (Sensus Penduduk 2010) bebas merayakan Imlek dengan gembira. Imlek sebagai hari libur nasional tidak hanya dirasakan oleh warga keturunan China semata, tetapi juga dirasakan oleh seluruh umat beragama di Indonesia.
Nuansa merah yang hampir menyelimuti seluruh penjuru kota di Tanah Air menjadi pertanda semakin diterimanya Imlek sebagai salah satu kekayaan budaya yang tumbuh bersemi di Indonesia yang majemuk, rukun, bersatu, dan menghargai keanekaragaman. (Litbang Kompas)