Transformasi Identitas Perempuan Tionghoa
Perempuan Tionghoa di Indonesia seiring waktu mengalami transformasi identitas. Pergulatan menghadapi budaya patriarki dan represi politik dijawab melalui karya di ranah publik. Tepat di situlah pendidikan jadi kunci.
Keberadaan perempuan Tionghoa di Indonesia meninggalkan catatan kontribusi di berbagai bidang pengabdian di Nusantara. Yang paling awal tercatat ialah Liem Titie Nio, seorang perempuan Tionghoa yang mencatatkan namanya sebagai redaktur di surat kabar Melayu, Tiong Hwa Wi Sien Po (1905).
Selain Liem Titie Nio, Indonesian Cross Cultural Society juga merekam nama-nama lainnya dalam karya Indonesia Chinese Peranakan (2012). Pada 1930-an ada dua perempuan yang memiliki majalah sendiri. Pertama ialah Tjoa Hin Hoey dengan majalahnya bernama Istri dan kedua adalah Ong Pik Hwa yang mendirikan majalah Fu Len. Sayang, keduanya tidak muncul lagi sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada era yang sama, hadirlah Lie Tjian Tjoen atau dikenal juga Auw Tjoei Lan (1889-1965) yang berjuang melawan perdagangan perempuan. Ia menjalani misi kemanusiaan tersebut setelah menikah dengan Lie Tjian Tjoen, anak Mayor Tionghoa Lie Tjoe Hong, dan pindah ke Batavia. Kala itu, para perempuan dijual untuk dipekerjakan sebagai pembantu dan kemudian lama-lama dijadikan pelacur.
Kegelisahan ini mengantar Lie Tjian Tjoen mengikuti pertemuan Liga Bangsa-Bangsa di Bandung pada Februari 1937. Di sana, ia membawakan pidato sekaligus usulan agar para perempuan diberikan beragam pendidikan khusus agar terampil dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
Ia juga peduli pada anak-anak. Sebelumnya, Lie Tjian Tjoen mendirikan rumah piatu ”Hati Suci” guna menampung anak-anak yang telantar di Hindia Belanda akibat Perang Dunia I.
Dua tahun setelah pertemuan Liga Bangsa-Bangsa, Lie Tjian Tjoen mewujudkan aksinya dengan mendirikan rumah ”Tjie Liang Soh” di bilangan Kemayoran, Jakarta. Rumah itu menjadi penampungan para perempuan yang terjebak dalam jaringan prostitusi. Sepak terjang Lie Tjian Tjoen merupakan sejarah perjuangan perempuan Tionghoa Indonesia yang patut dikenang hingga saat ini.
Diskriminasi
Dilihat dari aspek budaya, munculnya perempuan Tionghoa dalam berbagai peran di masyarakat menggambarkan transformasi identitas perempuan Tionghoa. Di masa lalu, sulit ditemukan keterlibatan perempuan dalam kegiatan publik.
Struktur budaya patriarkis masyarakat Tionghoa menempatkan perempuan dalam posisi terpinggirkan. Dalam tradisi kuno China dikenal istilah foot binding yang menjadi mekanisme pengawasan laki-laki terhadap seksualitas perempuan.
Caranya, kaki perempuan diikat sejak dini dan tradisi ini sudah berjalan sejak Dinasti Han. Praktik budaya ini menjadi salah satu bukti kuatnya budaya patriarki di China dan diskriminatif terhadap perempuan.
Merujuk konteks Indonesia, para perempuan keturunan Tionghoa, besar kemungkinan lolos dari praktik diskriminatif foot binding. Akan tetapi, bentuk diskriminasi lainnya justru datang dari akses pendidikan formal yang menyempit. Sebabnya, tak lain dari kebijakan negara pada masa Orde Baru.
Struktur budaya patriarkis dan kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap masyarakat Tionghoa menempatkan perempuan Tionghoa di Indonesia mengalami diskriminasi ganda, yakni oleh negara dan budaya.
Melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, pemerintahan Orde Baru memutus paksa ikatan sosial antarmasyarakat, khususnya bagi penduduk etnis Tionghoa. Pemerintah melarang segala macam bentuk ekspresi budaya dan tradisi Tionghoa di ruang publik. Melalui surat putusan itu pula, sebutan bagi penduduk etnis Tionghoa berganti menjadi China.
Kebijakan ini lantas mendiskriminasi warga Tionghoa di ranah publik. Pemerintah telah menutup sekolah-sekolah Tionghoa, melarang terbitnya media yang menggunakan huruf dan bahasa Tionghoa, dan melarang penggunaan bahasa Tionghoa di muka umum. Bahkan, identitas nama penduduk Tionghoa pun terpaksa diganti menjadi yang ”lebih terdengar Indonesia”.
Dalam karya penelitiannya, Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa (2009), Lim Sing Meij menuliskan bahwa kebijakan tersebut berpengaruh besar dalam akses pendidikan masyarakat Tionghoa. Bagi mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas, beberapa mengirimkan anak mereka untuk mengenyam pendidikan di luar negeri. Sedangkan mereka yang tidak sanggup, ada yang melanjutkan pendidikan mereka di sekolah-sekolah swasta ataupun terpaksa berhenti sekolah.
Lanjutnya, dalam situasi seperti itu, perempuan Tionghoa yang dianggap nomor dua menurut tradisi, memiliki peluang lebih kecil dibandingkan dengan saudara laki-laki mereka. Bagi yang tidak memiliki kesempatan bersekolah akhirnya disiapkan untuk menikah dan mengurus rumah tangga. Situasi ini menuju titik suramnya pada pertengahan 1998.
Peristiwa kelam kerusuhan Mei 1998 secara jelas menyisakan cerita pahit bagi bangsa. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat, setidaknya terdapat 168 perempuan dari Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, dan Palembang yang mengalami pelecehan seksual hingga pemerkosaan massal. Sebagian besar korban adalah perempuan Tionghoa.
Catatan hitam yang sudah terjadi 21 tahun silam bukan tetaplah meninggalkan jejaknya. Ketakutan dan trauma mendalam masih dialami oleh para korban. Tak dapat dimungkiri, kaum perempuan Tionghoa memperjuangkan masa depannya sekaligus menanggung kesejarahan kaumnya yang tidak dapat ditolak.
Pendidikan
Paksaan asimilasi yang dialami oleh penduduk Tionghoa di Indonesia selama Orde Baru akhirnya terhenti setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Keputusan presiden tersebut telah menganulir Inpres RI Nomor 14 Tahun 1967 pada era Soeharto. Peluang penduduk Tionghoa di Indonesia untuk berekspresi di ruang publik pun menjadi terbuka lebar.
Penemuan kembali identitas perempuan Tionghoa tergambar dari riset Lim Sing Meij. Penelitian Lim Sing Meij memuat hasil wawancara dengan para perempuan Tionghoa yang akhirnya mengenyam pendidikan dan menempuh karier profesional. Lim Sing Meij menemukan bahwa para perempuan Tionghoa yang ia temui merumuskan kembali identitas ke-Indonesia-annya melalui pengalaman hidup keseharian masing-masing.
Lie Tjian Tjoen mewujudkan aksinya dengan mendirikan rumah ”Tjie Liang Soh” di bilangan Kemayoran, Jakarta. Rumah itu menjadi penampungan para perempuan yang terjebak dalam jaringan prostitusi.
Misalnya, seorang perempuan yang kini menjalani profesi menjadi dokter anak. Sewaktu menempuh pendidikan kedokteran, ia diharuskan untuk terjun praktik ke sekolah-sekolah yang jauh dari kota. Dalam pengalaman itulah, ia melihat keragaman penduduk Indonesia secara lebih luas dan belajar mengolah diri ketika mengalami penolakan dari warga sekitar.
Kebangkitan perempuan Tionghoa atas peristiwa kelam Mei 1998 diwakili oleh sosok Rani Pramesti. Melalui novel grafis daring berjudul Chinese Whispers, ia menceritakan kembali kisah Mei 1998 dari sudut pandangnya sebagai seorang penyintas. Langkah Rani turut diikuti oleh Dewi Anggraeni dengan karyanya, My Pain, My Country. Pesan mereka sama, yakni menolak diam atas kejadian kekerasan terhadap perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia.
Baik Lie Tjian Tjoen, Rani, Dewi, maupun para perempuan Tionghoa profesional lainnya membuktikan bahwa melalui pendidikan, mereka membuka ruang sosial baru untuk ditapaki. Meminjam istilah Lim Sing Meij, pendidikan menjadi jembatan mereka untuk menjalani transformasi identitas. Dari kaum subordinat, kini bertransformasi dengan mengambil peran dalam masyarakat Indonesia.
Bagaikan obat penawar, pendidikan menjadi jalan paling terang bagi siapa pun yang ingin memperoleh kehidupan yang lebih baik. Jalan pembebasan ini sudah lama ditempuh, bahkan dilanjutkan melalui karya nyata perempuan di berbagai bidang pengabdian masyarakat.
Baca juga: Menikmati Akulturasi di Meja Makan
Maka, bertepatan dengan Tahun Baru Imlek 2020 inilah, perjalanan identitas perempuan Tionghoa patut direfleksikan kembali. Proses ini tentu tidak dapat dilepaskan dari perjalanan identitas penduduk Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan.
Indonesia telah menjadi ruang imajinatif (menemukan masa depan) dan ruang politis (memaknai identitas) bagi penduduk Tionghoa Indonesia, khususnya kaum perempuan. Kedua ruang ini terus berdampingan dan turut berlaku bagi etnis mana pun yang kini mendiami bumi pertiwi. Bersamaan dengan Tahun Baru Imlek 2020, hidup berdampingan sebagai masyarakat Indonesia patut dirayakan dan disyukuri kembali. (Litbang Kompas)