Pola Hidup Masih Tinggi Risiko Kanker
Kanker bukan undian buta yang dapat mampir ke siapa saja. Terdapat sejumlah faktor risiko yang bisa diminimalisasi untuk mencegah kanker, salah satunya mengatur pola hidup.
Kanker bukan undian buta yang dapat mampir ke siapa saja. Terdapat sejumlah faktor risiko yang bisa diminimalisasi untuk mencegah kanker, salah satunya mengatur pola hidup. Sayangnya, masyarakat Indonesia telanjur terbelenggu dengan pola hidup yang justru berisiko tinggi terjangkit kanker.
Satu dari enam kematian di dunia disebabkan oleh kanker. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, terdapat 9,6 juta kasus kematian pada 2018 yang disebabkan oleh kanker. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2008 yang tercatat sebanyak 7,6 juta kasus kematian. Diprediksi, kematian akibat kanker pada tahun 2030 akan mencapai 13 juta kasus (rilis WHO, 12 September 2018).
Kanker menjadi pembunuh teratas sepanjang tahun. Sejak tahun 2000, gabungan dari kanker trakea, bronkus, dan paru-paru masuk dalam 10 besar penyakit paling mematikan. Pada tahun 2015 dan 2016, kanker jenis ini menjadi penyakit paling mematikan keenam yang membunuh 1,7 juta jiwa.
Di Indonesia, kanker menjadi penyebab dari 207.210 kasus kematian sepanjang 2018. Kanker paru-paru, payudara, dan serviks uteri menjadi jenis kanker yang paling banyak diderita. Jumlah kasus baru penderita kanker bahkan menunjukkan angka yang lebih tinggi pada 2018. WHO memublikasikan terdapat 328.809 kasus baru yang di antaranya terdiri dari kasus kanker payudara (16,7 persen), serviks uteri (9,3 persen), dan paru-paru (8,6 persen).
Di atas kertas, kanker sudah menunjukkan diri sebagai penyakit yang mematikan dan dapat diderita oleh siapa saja. Kanker sendiri dapat dipahami secara sederhana sebagai perubahan sel normal tubuh menjadi sel tumor. Sel tumor berkembang tidak terkendali dan akan menyerang sel-sel normal yang lain. Perubahan ini merupakan hasil dari interaksi faktor genetik manusia dengan karsinogen yang berasal dari luar.
Karsinogen sendiri dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu karsinogen fisik, kimia, dan biologi. Karsinogen fisik, misalnya, radiasi ultraviolet dan ionizing. Karsinogen kimia seperti asbes, komponen dalam tembakau, aflatoxin, dan arsenik. Sementara karsinogen biologi seperti infeksi dari virus, bakteri, atau parasit.
Untuk mencegah kanker tumbuh dalam tubuh, langkah yang dapat diambil adalah dengan meminimalisasi diri dari paparan karsinogen. Misalnya dengan menghindari paparan sinar matahari, memperhatikan asal dan pemrosesan bahan makanan, serta melakukan vaksinasi.
Menghindari zat-zat yang bersifat memicu kanker dapat dilakukan dengan berstrategi mengatur gaya hidup. Gaya hidup penting diperhatikan karena gaya hidup yang buruk turut menyumbang risiko kanker. Studi WHO membuktikan, sepertiga kematian karena kanker dilatarbelakangi oleh berat badan berlebih, kurangnya konsumsi sayur dan buah, konsumsi tembakau dan alkohol, serta jarang berolahraga.
Pola hidup
Asupan makanan menjadi salah satu fondasi dalam membahas pola hidup sehat. Dokter spesialis gizi klinik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Fiastuti Witjaksono, menyampaikan, status gizi penting untuk dijaga demi mengurangi faktor risiko kanker.
Ia menganjurkan untuk mengikuti pola ”Tumpeng Gizi Seimbang” dalam mengatur takaran nutrisi yang akan dikonsumsi setiap hari. Memperhatikan asal dan cara memproses bahan makanan mesti diperhatikan di tengah ketersediaan makanan cepat saji belakangan ini.
”Mengonsumsi makanan sehat memang butuh usaha ekstra. Setidaknya penuhi kebutuhan serat minimal lima porsi buah dan sayur dalam sehari,” ungkapnya ketika ditemui Kompas pada Kamis (30/1/2020).
Pemrosesan makanan dengan digoreng atau dibakar membuat makanan terpapar zat karsinogen. Pemrosesan makanan yang terlalu lama juga semakin menghilangkan kandungan gizi dalam makanan.
Riset-riset ilmiah yang dirangkum dalam artikel ”Chemicals in Meat Cooked at High Temperatures and Cancer Risk” yang dipublikasikan National Cancer Institute menjelaskan, bahan kimia yang bersifat mutagenik (dapat mengubah DNA yang meningkatkan risiko kanker) dapat terbentuk ketika daging otot sapi, babi, ikan, atau unggas dimasak pada suhu yang tinggi.
Di Indonesia, paparan zat pemicu kanker dapat ditemukan pada proses pembakaran daging yang langsung di atas bara api, penggorengan makanan dengan minyak yang terlalu lama, dan kebiasaan menghangatkan makanan berulang-ulang.
Asupan gizi yang tidak seimbang dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon dan obesitas yang keduanya merupakan faktor risiko kanker. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2018, hampir separuh masyarakat berusia di atas 18 tahun berstatus gizi tidak normal.
Melalui pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT), sebanyak 9,3 persen responden dinyatakan kurus, 13,6 persen responden berstatus kelebihan berat badan, dan 21,8 persen responden berstatus obesitas. Hanya separuh responden (55,3 persen) di kelompok ini yang berstatus gizi normal. Status gizi yang lebih baik ditemukan pada kelompok usia yang lebih muda. Lebih dari 70 persen responden di kelompok usia 5-18 tahun berstatus gizi baik.
Fiastuti menjelaskan, asupan nutrisi yang melebihi kebutuhan tubuh akan menumpuk menjadi lemak dan dapat memicu obesitas. Selain itu, konsumsi karbohidrat simpleks yang mudah diserap dapat menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat yang dapat menimbulkan gangguan resistensi insulin.
”Jika diperhatikan, komponen gizi dalam makanan orang Indonesia masih kurang. Konsumsi makanan yang mudah dicerna (rendah serat) serta kebiasaan menggoreng dan membakar makanan juga makin meningkatkan risiko. Padahal, kita bisa mulai dengan proses pengolahan yang lebih sehat, seperti mengukus dan merebus,” katanya.
Belum hidup sehat
Anggapan masih rendahnya kesadaran publik pada komponen gizi pada makanan selaras dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada 567 responden di perkotaan.
Meskipun sebagian besar responden (74,1 persen) meyakini faktor utama penyebab kanker adalah pola hidup yang tidak sehat, publik belum mempraktikkan gaya hidup sehat dalam keseharian. Hanya separuh publik yang mengatur pola hidup dengan baik, bahkan untuk aspek tertentu, publik cenderung abai.
Meskipun sebagian besar responden (74,1 persen) meyakini faktor utama penyebab kanker adalah pola hidup yang tidak sehat, publik belum mempraktikkan gaya hidup sehat dalam keseharian.
Separuh responden (53,1 persen) mengatur proporsi gizi pada makanannya setiap hari. Sebanyak 39,2 persen dari responden kadang-kadang memperhatikan hal tersebut dan 7,2 persen tidak memperhatikan sama sekali. Sementara itu, responden cenderung abai untuk pola hidup yang lain, seperti tidur dan olahraga.
Separuh responden (51,1 persen) menyatakan hanya kadang-kadang saja memperhatikan kecukupan tidurnya pada malam hari. Hanya 35,6 persen yang betul-betul memikirkan hal itu setiap harinya. Sisanya (13,1 persen) mengaku tidak mempedulikan kecukupan tidur.
Aspek aktivitas fisik masih lebih mendapatkan perhatian dengan 60,2 persen responden yang kadang-kadang berolahraga. Namun, jumlah yang bersungguh-sungguh olahraga lebih kecil dibandingkan yang bersungguh-sungguh memikirkan waktu tidur, yaitu sebesar 28 persen. Sisanya (11,8 persen) abai dengan aktivitas fisik.
Jenis aktivitas fisik bisa sangat beragam. Durasi ideal dalam berolahraga juga disesuaikan dengan ringan atau beratnya jenis latihan yang dipilih. Departemen Kesehatan Amerika Serikat menyarankan untuk berolahraga 150-300 menit latihan sedang per minggu untuk orang dewasa. Durasi tersebut setara dengan aktivitas fisik selama 40 menit dalam sehari.
Selain memperhatikan asupan makanan, waktu istirahat, dan aktivitas fisik, ada satu kebiasaan yang justru harus dihindari. Asap menjadi salah satu karsinogen terburuk yang memengaruhi mutasi sel. Asap kendaraan, asap dari aktivitas rumah tangga, dan tidak terkecuali asap rokok.
Sayangnya, masih ada kelompok publik yang aktif merokok. Separuh responden (51,3 persen) teridentifikasi bukan perokok, tetapi separuh lainnya merupakan perokok. Sebanyak 12,7 persen mengaku sesekali merokok dan 35,6 persen merokok secara aktif.
Meski menjadi kebiasaan individu, perokok aktif berpotensi memberikan dampak negatif bagi orang lain yang tidak merokok. Tak pelak, kesadaran pada risiko kanker harus diserukan secara komunal. Perubahan gaya hidup dari satu orang saja masih belum cukup untuk menekan risiko terjangkit kanker. (Arita Nugraheni/Litbang Kompas)