Waspadai Kegemukan pada Anak
Tantangan mengatasi malnutrisi pada anak bertambah. Selain tengkes, kini negara-negara di dunia harus menekan angka prevalensi anak dengan berat badan lebih dan obesitas. Kondisi malnutrisi berdampak pada kesehatan anak.
Sepanjang 2000-2016, proporsi anak (usia 5-19) dengan berat badan lebih menunjukkan tren peningkatan. Pada 2000, satu dari sepuluh anak tergolong overweight. Enam tahun kemudian, satu dari lima anak dinyatakan kelebihan berat badan. Artinya, proporsinya meningkat dua kali lipat.
Temuan ini tercatat dalam Laporan Unicef 2019 berjudul ”Children, Food, and Nutrition: Growing Well in Changing World”. Laporan itu merangkum permasalahan malnutrisi pada anak yang disebut the triple burden of malnutrition. Tiga permasalahan ini terdiri dari kekurangan nutrisi (undernutrition), kelaparan tersembunyi (hidden hunger), dan kelebihan berat badan (overweight).
Jumlah anak overweight diperkirakan meningkat dalam sepuluh tahun mendatang. Berdasarkan proyeksi dari kajian Unicef, WHO, dan World Bank, pada 2020 diperkirakan 6 persen anak balita di dunia mengalami berat badan lebih. Adapun pada 2030, angka itu meningkat menjadi 6,7 persen. Proyeksi ini disusun berdasarkan tren peningkatan anak balita dengan berat badan lebih sejak 1990 hingga 2018.
Asupan kalori yang melebihi jumlah kalori yang dikeluarkan menjadi faktor penyebab berat badan lebih. Hal tersebut berkaitan dengan jenis dan kandungan makanan serta minuman yang dikonsumsi anak. Selain itu, anak yang kurang bergerak berpotensi mengalami berat badan lebih.
Situasi Indonesia
Indonesia tak luput dari problem kegemukan pada anak. Sepanjang 2013-2018, prevalensi anak dengan berat badan lebih dan obesitas cenderung meningkat pada usia 5-18 tahun. Hal tersebut terangkum dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan setiap lima tahun sekali.
Untuk menggolongkan anak berdasarkan kategori kurus, normal, dan gemuk, digunakan indikator berat badan (BB)/tinggi badan (TB). Dalam Riskesdas 2013 dan 2018, prevalensi anak usia 13-15 tahun dengan berat badan lebih meningkat dari 8,3 persen menjadi 11,2 persen. Sementara pada usia 16-18 tahun, prevalensinya meningkat dari 5,7 persen menjadi 9,5 persen.
Kategori obesitas ada pada kelompok usia 5-18 tahun. Pada usia 5-12 tahun, prevalensi anak obesitas meningkat dari 8 persen menjadi 9,2 persen. Adapun pada usia 13-15 tahun, angkanya meningkat dari 2,5 persen menjadi 4,8 persen. Pada anak berusia di atas 15 tahun, prevalensinya meningkat dari 1,6 persen menjadi 4 persen.
Melihat data di atas, peningkatan paling tinggi terjadi pada anak remaja usia 13-18 tahun. Pada periode usia tersebut, anak lebih bebas memilih makanan. Di sekolah, anak terbiasa membeli makanan dan minuman di kantin atau pedagang yang berjualan di sekitar sekolah. Di luar kegiatan sekolah, banyak anak membeli makanan dan minuman bersama teman-temannya.
Orangtua pun cenderung lepas kendali atas asupan makanan dan minuman anak. Perilaku orangtua untuk mengawasi makanan dan minuman yang dikonsumsi anak hanya terbatas sampai anak berusia balita. Hasil survei aplikasi kuliner Qraved pada 2016 menyebutkan bahwa 56 persen dari 1.587 orangtua di Jakarta memberi kebebasan anak-anak untuk mengonsumsi jajanan saat berada di luar rumah. Kesibukan orangtua menjadi penyebabnya.
Faktor pendorong
Unicef serta Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) melaporkan hal yang sama. Padatnya kegiatan masyarakat perkotaan menyebabkan kontrol atas konsumsi makanan dan minuman berkurang. Kondisi di perkotaan mengubah pola hidup dan konsumsi penduduknya. Masyarakat perkotaan cenderung lebih banyak terpapar makanan cepat saji dan instan serta jauh dari makanan olahan yang dibuat sendiri.
Pertambahan penduduk kota karena urbanisasi besar-besaran juga berdampak pada bertambahnya warga masyarakat yang memiliki pola konsumsi makanan dan minuman sembarangan. FAO sudah mencermati fenomena tersebut melalui kumpulan makalahnya pada dua dekade lalu. Salah satunya adalah karya Michelle A Mendez dan Barry M Popkin, ”Globalization, Urbanization, and Nutritional Change in the Developing World”.
Mereka menyebutkan, urbanisasi membawa masyarakat mengubah pola makannya. Namun, hal ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena globalisasi. Hasil penelitian Michelle dan Barry menyebutkan, urbanisasi dan globalisasi berdampak pada peningkatan konsumsi makanan berkecukupan energi dan buah-buahan. Namun, konsumsi makanan berminyak, hewani, dan mengandung pemanis ikut meningkat.
Urbanisasi membawa masyarakat mengubah pola makannya.
Unicef berpendapat sama. Globalisasi memudahkan orang untuk menikmati makanan dan minuman yang lebih beragam. Namun, di sisi lain, tumbuhnya perusahaan multinasional dan supermarket di setiap negara mendorong perluasan pasar makanan dan minuman rendah gizi.
Unicef mencatat, perubahan itu terjadi sejak seperempat abad lalu. Saat itu, persediaan makanan masih berada di bawah kontrol pemerintah, terutama pada keamanan makanan. Namun, pada pertengahan 1990, makanan masuk ke dalam bagian perjanjian perdagangan dunia. Akibatnya, sistem pangan menjadi bisnis yang mengatur ketersediaan, harga, dan pemasaran.
Selain itu, perubahan iklim berdampak pada masyarakat perdesaan yang selama ini mengandalkan hasil panen lahannya sebagai sumber bahan makanan. Kekeringan telah menyebabkan 80 persen kerusakan dan gagal panen di sektor pertanian. Masyarakat kemudian mengandalkan sumber pangan lain, yaitu penganan instan.
Fenomena-fenomena tersebut menciptakan dua kondisi yang disebut Unicef sebagai food desert dan food swamp. Kondisi ini sangat berkaitan dengan peningkatan overweight dan obesitas pada anak. Food desert adalah kondisi ketika masyarakat tidak memiliki akses untuk mendapatkan makanan bergizi. Yang tersedia ialah makanan cepat dan instan yang dapat dibeli di mana saja.
Hal ini mendorong kondisi masyarakat pada apa yang disebut food swamp. Pada kondisi ini, lingkungan masyarakat berlimpah akan makanan dan minuman tinggi kalori, rendah nutrisi, makanan terproses ultra (ultra-processed), berlemak, dan tinggi gula yang memicu kegemukan.
Usaha bersama
Kini, situasi tersebut menjadi tantangan global yang harus segera ditangani. Kondisi overweight berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental anak. Jika dibiarkan, anak dapat menjadi obesitas. Hampir 80 persen anak berusia 10 tahun yang mengalami obesitas akan tetap mengalami kelebihan berat badan hingga dewasa.
Pada kondisi berat badan lebih dan obesitas, pertumbuhan anak secara fisik dan mental menjadi terganggu. Dalam jangka pendek, yaitu pada usia 5-19 tahun, anak dapat mengalami disfungsi kognitif lebih awal. Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi menimbulkan penyakit diabetes melitus, jantung koroner, kanker, osteoartritis, dan beberapa penyakit lain.
Kunci penanganannya adalah kontrol terhadap makanan dan minuman yang dikonsumsi anak. Perlu kerja bersama dari keluarga, sekolah, dan dukungan pemerintah. Dari lingkungan keluarga, orangtua harus mencukupi kebutuhan gizi anak dengan benar.
Setidaknya orangtua mau menyediakan makanan olahan sendiri tanpa harus menggunakan bahan-bahan instan atau cepat saji. Anak juga perlu diajak sering bergerak, apalagi saat ini banyak anak yang nyaman bermain gim pada telepon pintar mereka. Pihak sekolah pun perlu mengajak siswa untuk memulai hidup sehat melalui kebiasaan makan dan olahraga.
Investasi hidup sehat suatu bangsa harus dimulai dari masa anak-anak.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Felicia Kurniawan, pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Dalam disertasinya, Felicia mencermati bahwa program Sehat (Smart Eating and Healthy Activity) yang bertujuan mencegah obesitas di sekolah dapat berhasil dengan melibatkan orangtua, guru, dan murid.
Pemerintah juga perlu meningkatkan implementasi program pencegahan anak berberat badan lebih dan obesitas. Pencapaian program Gerakan Nusantara Tekan Angka Obesitas (Gentas) belum maksimal. Hal ini dapat dijalankan bersama program peningkatan gizi anak, termasuk untuk mengurangi stunting.
Belum terlambat untuk mencegah kegemukan dan obesitas pada anak. Pada umumnya, hal itu lebih mudah dilakukan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Investasi hidup sehat suatu bangsa harus dimulai dari masa anak-anak.
(Litbang Kompas)