Dalam era digital yang serba cepat, di mata wartawan, akurasi tetap merupakan unsur utama dalam berita. Nilai dasar jurnalistik yang mengakar kuat, menyemai produk berita yang berkualitas bagi masyarakat.
Oleh
YOHANES ADVENT KRISDAMARJATI
·4 menit baca
Apa jadinya berita tanpa akurasi? Dari aspek hukum, berita yang tidak akurat dapat menimbulkan tuntutan hukum. Dari sisi kepercayaan publik, media yang tidak akurat akan kehilangan kredibilitas.
Kredibilitas merupakan unsur yang harus menjadi pegangan oleh wartawan. Karena itu, jurnalis dituntut untuk teliti atau accurate. Akurat berarti mendapatkan informasi yang pasti. Akurasi, ditegaskan Luwi Ishwara dalam uraiannya di buku Jurnalisme Dasar, merupakan suatu nilai yang harus selalu diterapkan tanpa syarat, baik oleh wartawan maupun editor.
Akurasi menjadi bermakna di tengah mudahnya berita bohong dibuat dan disebarkan agar masyarakat menjadi panik. Riset Edelman Trust Barometer 2019 memotret kekhawatiran masyarakat terhadap beredarnya berita-berita yang tidak akurat.
Sebanyak 73 persen dari 33.000 responden di 27 negara yang disurvei, mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap berita bohong. Kekhawatiran lain yang diutarakan adalah kemungkinan berita tersebut digunakan sebagai alat untuk menyerang pihak lain.
Cemasnya publik terhadap gencarnya sebaran berita-berita yang tidak akurat tersebut menimbulkan pertanyaan, masih adakah akurasi dalam berita? Pertanyaan tersebut secara tidak langsung juga tertuju kepada pihak yang membuat berita, dalam hal ini adalah jurnalis. Sejauh mana akurasi berita masih menjadi nilai bagi wartawan?
Gambaran masih terjaganya nilai penting akurasi dalam kerja jurnalistik terlihat dari hasil riset Cision’s 2019 State of the Media Report. Survei tersebut menemukan bagian terbesar jurnalis (51 persen) yang menjadi responden survei mengungkapkan aspek akurasi merupakan hal utama dalam bekerja.
Survei ini dilakukan oleh lembaga Cision terhadap 1.999 jurnalis di 10 negara. Riset ini bertujuan memotret pandangan para jurnalis dalam berkarya di era digital.
Penelitian tersebut menanyakan hal apa yang paling penting bagi institusi tempat jurnalis bekerja? Pertanyaan ini dilayangkan kepada wartawan untuk mengetahui nilai-nilai yang menjadi prioritas para jurnalis dalam peliputan sehari-hari.
Selain akurasi berita, pendapatan perusahaan adalah yang terpenting diakui oleh 34 persen jurnalis yang diwawancara. Jawaban lainnya adalah nilai eksklusifitas berita dan kecepatan dalam memberitakan.
Kredibilitas
Temuan riset tersebut memberi gambaran optimisme masih tetap adanya berita berkualitas. Sedikit banyak masyarakat masih dapat berharap ada berita yang membuat jernih dan mendudukkan suatu masalah. Bukan berita yang malah menambah masalah, atau bahkan memicu konflik di masyarakat.
Dalam lanskap jurnalistik, akurasi merupakan salah satu bagian dari obyektivitas berita. Kekuatan sebagai pengonfirmasi fakta ini menjadi nilai tawar media massa. Disiplin verifikasi dan akurasi adalah prinsip jurnalistik yang menjadikan media massa tetap kredibel dan dipilih publik, terlebih di era digital yang serba cepat tuntutannya.
Melihat esensinya, produk jurnalistik yang berkualitas perlu diupayakan terus-menerus. Media massa sebagai penyaring informasi masih dibutuhkan masyarakat di tengah derasnya informasi dari berbagai medium. Era digital menimbulkan kondisi information overloaded yang dialami oleh publik. Di sinilah media massa harus menjaga perannya.
Harapannya kemudian adalah peningkatan kesadaran dan ketertarikan yang lebih besar masyarakat terhadap merek berita tepercaya. Indikasi kepercayaan masyarakat tersebut tergambar dari temuan survei Edelman Trust Barometer 2019 di 27 negara. Riset tersebut menunjukkan, lebih dari seperempat responden (26 persen) mengungkapkan mereka mulai mengandalkan sumber berita yang lebih andal.
Demikian juga dengan interaksi publik. Hasil riset juga menunjukkan pada 2019, pengakses berita juga menunjukkan peningkatan 22 persen dibandingkan tahun 2018. Hal ini menggambarkan adanya peran akurasi berita dalam menumbuhkan kredibilitas media di mata masyarakat.
Akurasi berita juga menjadi peluru untuk melawan informasi yang dapat berdampak buruk bagi publik. Salah satu contohnya adalah pudarnya kepercayaan publik Inggris terhadap media massa saat pemungutan suara umum untuk referendum Brexit pada 2016.
Saat itu media arus utama Inggris dikacaukan oleh fake news serta hoaks yang didistribusikan melalui internet, termasuk media sosial. Masyarakat bingung dalam situasi konflik antara pihak yang mendukung atau menolak Brexit dalam referendum.
Perang opini dan argumentasi dilancarkan untuk tujuan masing-masing, termasuk menggunakan berita bohong agar masyarakat menjadi percaya. Kekacauan informasi tersebut diangkat dalam film produksi Netflix yang berjudul Brexit: The Uncivil War (2019).
Film yang dibintangi aktor Inggris, Benedict Cumberbatch, ini menampilkan intrik dan strategi rekayasa informasi untuk menggiring opini warga Inggris. Digambarkan media massa arus utama mengalami kewalahan dalam menghadapi berita bohong.
Pascareferendum, masyarakat Inggris baru melihat dampak kerusakan yang ditimbulkan dari fabrikasi informasi yang memecah belah publik dan mengaburkan fakta-fakta penting. Publik kemudian mulai mengandalkan sumber-sumber berita terkemuka untuk mencari berita.
Tantangan
Beragam informasi buruk akan terus direproduksi, terutama dalam momen-momen politik. Tujuannya, membuat kekacauan publik.
Hari-hari ini warga dunia mengalami kepanikan akan meluasnya virus korona jenis baru. Namun, di balik kesibukan negara-negara di dunia menangani penyebaran virus korona, berita bohong turut muncul menyebar kepanikan masyarakat.
Di Indonesia, hingga 3 Februari 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat ada 54 hoaks dan berita bohong yang beredar tentang virus korona jenis baru atau 2019-nCoV.
Beberapa informasi hoaks beredar di antaranya adalah pasien korona di sebuah rumah sakit di Indonesia dan merek telepon seluler tertentu yang dapat menularkan virus korona.
Hal ini membuktikan tantangan terhadap nilai akurasi dalam berita masih terjadi hingga saat ini. Terlebih pada era digital, tantangan tersebut juga ditambah dengan aspek teknologi. Ke depan, kecerdasan buatan dan big data bukan tidak mungkin dapat digunakan untuk membantu memproduksi dan menyebarkan berita-berita yang tidak akurat.
Kode etik menuntun wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan obyektif ketika peristiwa terjadi.
Dengan demikian, tugas dan tantangan media massa adalah memperluas kehadiran ke ranah media baru, sambil terus mengawal akurasi dan kredibilitas yang selama ini menjadi ciri khasnya. Selamat Hari Pers Nasional. (LITBANG KOMPAS)