Pariwisata Banyuwangi (2): Fokus pada Satu Fondasi
Lewat pemrioritasan pengembangan pariwisata, Banyuwangi mampu menghimpun berbagai potensi daerah untuk membangun fondasi kesejahteraan berbalut budaya yang kokoh.
Kekuatan industri pariwisata yang tumbuh di Banyuwangi bisa dibilang sukses karena pemerintah daerah menjadikan pariwisata sebagai fokus pengembangan daerah. Lewat pemrioritasan pada pengembangan pariwisata, Banyuwangi mampu menghimpun berbagai potensi yang ada untuk sama-sama membangun satu fondasi yang cukup kokoh.
Menurut Asisten Administrasi Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Banyuwangi Suyanto Waspo Tondo Wicaksono atau akrab dipanggil Yayan, pilihan pemerintah daerah untuk memilih pariwisata sebagai basis penggerak ekonomi tak bisa dipisahkan dari peran Bupati Abdullah Azwar Anas pada saat pertama kali memangku jabatan sebagai Bupati Banyuwangi.
”Awalnya, ketika pertama kali menjabat, Bapak Bupati mengajak berdiskusi tujuh-sembilan orang, kepala bagian, sekda, asisten, dan lain-lain. Kami berdiskusi dalam waktu yang cukup intens. Dari situ Pak Bupati menyimpulkan, ini kalau mau cepat harus mengambil pilihan, enggak bisa semua sektor mau dikerjakan. Tidak akan cukup energinya untuk mengembangkan sektor yang banyak. Maka, waktu itu dipilihlah pariwisata sebagai core penggerak ekonomi Banyuwangi,” ungkap Yayan, 16 Februari 2019.
Pariwisata dipilih, selain karena Banyuwangi dikelilingi oleh sumber daya alam yang cukup potensial berupa pantai, gunung, lembah, hutan lindung, dan taman nasional, juga karena paling cepat dalam mendorong perputaran uang, kata mantan Kepala Bappeda Banyuwangi tersebut.
Dengan keputusan mengambil pariwisata sebagai penggerak ekonomi Banyuwangi, pembangunan sektor-sektor lain diarahkan untuk menunjang pariwisata. Kolaborasi antardinas, antarsatuan kerja perangkat daerah (SKPD) didorong untuk fokus pada program-program yang memiliki nilai pengembangan pariwisata. Semua potensi dan keunggulan daerah kemudian diarahkan untuk mendukung pariwisata. Sejumlah keunggulan itu kemudian disinkronisasikan.
Pariwisata dipilih, selain karena Banyuwangi dikelilingi sumber daya alam yang cukup potensial berupa pantai, gunung, lembah, hutan lindung, dan taman nasional, juga karena paling cepat dalam mendorong perputaran uang.
Banyuwangi merupakan wilayah pertanian yang potensial, bahkan menjadi lumbung beras Jawa Timur di samping Jember. Selain beras, area di bagian selatan juga terkenal sebagai penghasil buang-buahan dan sayuran yang menyuplai tidak hanya kebutuhan Banyuwangi, tetapi juga penduduk di Pulau Bali. Akan tetapi, sebelumnya sentuhan dari pemerintah hanya pada upaya produksi dan pemasaran hasil petani.
Pengembangan pertanian dalam konsep baru diarahkan untuk menjadi agrowisata sehingga menjadi destinasi yang dapat dinikmati wisatawan. Destinasi-destinasi dalam kemasan agrowisata yang kemudian muncul misalnya Agrowisata Naga Svarna, Agrowisata Petik Buah, Perkebunan Kali Klatak, Taman Suruh, Durian Merah Banyuwangi, dan Perkebunan Bayu Kidul.
Bersamaan dengan pengembangan pertanian, desa-desa pun dikemas menjadi desa wisata sehingga muncul Desa Wisata Kemiren, Desa Wisata Agrikultur Tamansari, Desa Wisata Agrikultur Kampung Kopi, dan lain-lain.
Sentuhan pariwisata terhadap industri kreatif juga menjadi agenda pemerintah daerah. Di Banyuwangi sebelumnya telah tumbuh berbagai industri kreatif berupa aneka kerajinan. ”Industri kreatif di Banyuwangi juga menopang Bali. Ternyata banyak kegiatan industri kreatif Bali yang mereka garap di sini. Pasar industri kreatif Banyuwangi sebagian berada di Bali,” tutur Kepala Bidang Perindustrian Kabupaten Banyuwangi I Komang Dedi Budi Setyadi. Wilayah-wilayah penghasil barang-barang hasil industri kreatif misalnya Glagah, Kalipuro, Tegaldlimo, dan Rogojampi.
”Di Rogojampi ada pusat kerajinan seni lukis yang dijualnya ke pedagang di Sukowati, Bali. Itu cash flow-nya paling cepat karena pagi dikirim, sorenya sudah pulang bawa uang,” ucap Yayan. Di Bali, pada umumnya produk kerajinan dari Banyuwangi kemudian dikemas ulang dengan nama Bali.
Produk industri kreatif juga mulai di-branding dengan nama Banyuwangi tanpa menghilangkan pangsa pasar Bali yang sudah terbentuk. Penataan-penataan sektor lain, seperti pasar tradisional, juga diarahkan untuk mendukung pariwisata.
Segmentasi dan promosi berdasarkan keunggulan destinasi kemudian dilakukan. Pantai Bangsring lebih dikhususkan pada wisatawan yang suka konservasi. Di sini dibangun ”apartemen ikan” yang menjadikan wisatawan dapat menikmati pemandangan biota laut tanpa perlu pergi jauh-jauh dari pusat kota. Pantai lainnya, Watu Dodol, lebih dikhususkan untuk mereka yang akan menyeberang ke Bali, sebagai tempat wisata transit.
Pantai Sukamade untuk wisatawan yang menaruh minat pada konservasi penyu. Pantai Muncar dikhususkan sebagai pelabuhan rakyat dan wisatawan dapat berinteraksi langsung dengan nelayan. Pantai Plengkung untuk wisatawan yang suka surfing, umumnya turis mancanegara. Di sana, tiap bulan Juni dilaksanakan agenda surfing internasional.
”Intinya, semua pantai kita setting untuk dijual,” kata Yayan yang pernah menjabat sebagai Kepala Bappeda Banyuwangi dan banyak terlibat dalam perancangan kepariwisataan di wilayah yang berjuluk ”The Sunrise of Jawa” itu.
Berkat upayanya yang maksimal dalam mengembangkan destinasi pariwisata Banyuwangi, kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, meningkat pesat. Kalau pada 2013 Banyuwangi hanya dikunjungi 1 juta wisatawan domestik, tahun 2015 sudah menjadi 1,9 juta, dan pada 2018 menjadi 5 juta wisatawan domestik. Demikian juga jumlah kunjungan wisatawan asing, pada 2013 hanya tercatat 10.462 wisatawan, pada 2015 menjadi 46.214, dan pada 2018 sudah mencapai 127.420 wisatawan mancanegara.
Destinasi antara
Selain membenahi destinasi unggulan, Pemda Banyuwangi juga membangun kerja sama dengan masyarakat untuk menciptakan destinasi antara. Dengan demikian, orang yang berkunjung ke Gunung Ijen, misalnya, tidak langsung pulang ke kota, tetapi bisa mampir dulu ke lokasi-lokasi wisata yang berdekatan. Dengan begitu, waktu tinggal wisatawan dapat ditahan lebih lama dan membelanjakan uangnya lebih banyak.
”Turun dari Ijen ada Desa Tamansari, Desa Kampung Anyar, Kemiren, dan Olehsari. Itu kita tumbuhkan. Air terjunnya kita hidupkan, pasar-pasar kita hidupkan, budaya-budaya setempat kita hidupkan, agrowisata pertanian, tempat selfie-selfie, sehingga orang turun sampai hotel sudah siang atau sore. Mau tidak mau, nambah lagi nginep-nya. Jadi, strateginya ada destinasi utama, ada destinasi antara, dan koordinasi dengan travel-travel,” tutur Kepala Dinas Pariwisata M Yanuar Bramuda.
Berkat strategi tersebut, lama kunjungan wisatawan pun meningkat dan berdampak pada membesarnya uang yang dibelanjakan selama kunjungan. Selama satu tahun saja, 2017 ke 2018, terjadi peningkatan rata-rata spending of money sebesar 37 persen, dari rata-rata Rp 2,7 juta menjadi Rp 3,7 juta per wisatawan asing.
Saat ini dapat dikatakan daya saing pariwisata Banyuwangi sudah sejajar dengan beberapa kabupaten di Pulau Bali yang telah lama bertengger di papan atas.
Dalam pemeringkatan Daya Saing Pariwisata 2019 yang dibuat oleh Litbang Kompas, aspek pemrioritasan pariwisata Banyuwangi mendapat skor 5, nilai paling tinggi dalam rentang penilaian 1-5. Nilai itu tampaknya memang layak diberikan mengingat komitmen yang begitu tinggi dari pemerintah kabupaten di ujung timur Pulau Jawa itu untuk fokus pada pengembangan pariwisata.
Upaya tersebut memang membuahkan hasil maksimal sehingga saat ini dapat dikatakan bahwa daya saing pariwisata Banyuwangi sudah sejajar dengan beberapa kabupaten di Pulau Bali yang telah lama bertengger di papan atas, seperti Kabupaten Gianyar, Buleleng, dan Badung. (LITBANG KOMPAS)