Efek Jokowi, Gibran, dan Pilkada Surakarta
Munculnya nama Gibran Rakabuming Raka dalam bursa calon Wali Kota Surakarta menjelang pilkada serentak tahun 2020 memicu polemik yang cukup panjang terkait motif pencalonan pengusaha muda ini.
Munculnya nama Gibran Rakabuming Raka dalam bursa calon Wali Kota Surakarta atau Solo menjelang pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sempat memicu polemik yang cukup panjang terkait motif pencalonan pengusaha muda ini.
Semua polemik tersebut pada akhirnya bermuara pada posisi dan status Gibran sebagai anak dari Presiden Joko Widodo. Polemik ini hanya menjadi dekorasi yang menghiasi rangkaian proses penyelenggaraan pilkada yang puncaknya akan dilaksanakan pada September mendatang.
Nama Gibran terbilang istimewa dalam persiapan pemilihan wali kota kali ini. Sosoknya terbilang paling muda dari semua kandidat yang pernah bertarung dalam pemilihan semenjak kontestasi ini diselenggarakan secara langsung tahun 2005.
Bahkan, dalam berpolitik, pria kelahiran Surakarta, 1 Oktober 1987, ini benar-benar awam sehingga terlihat polos dan lugu. Gibran secara resmi terjun ke politik tatkala dirinya mendaftarkan diri sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Kota Surakarta akhir tahun lalu.
Artinya, perkenalan Gibran dengan dunia politik masih seumur jagung, jauh lebih muda ketimbang pengalaman dia dalam berbisnis. Meski demikian, keasingan tersebut tidak membuat nama Gibran lantas tenggelam dalam belantara politik di Surakarta, di antara nama-nama tokoh dan politisi senior yang sudah lama malang melintang di kota keraton ini.
Kiprahnya sebagai pengusaha muda yang membawa semangat kaum milenial menjadi salah satu modal yang cukup kuat menopang kemunculan namanya di panggung politik kota kelahirannya ini.
Alhasil, ketika nama Gibran diwacanakan sebagai bakal calon Wali Kota Surakarta, masyarakat kota ini sangat antusias mendukungnya. Meskipun para penentang wacana pencalonan tersebut juga kuat.
Pertarungan wacana pencalonan ini berbuah pada keputusan Gibran untuk mendaftarkan diri sebagai calon wali kota melalui PDI-P pada pertengahan Desember 2019. Di sinilah Gibran Rakabuming Raka menorehkan takdirnya sebagai petugas partai, sama seperti yang dilalui oleh ayahnya, Joko Widodo, ketika hendak menjadi wali kota tahun 2005.
Ambisi politiklah yang membuat takdir Gibran dan ayahnya dipertemukan setelah 15 tahun pilkada langsung. Keduanya sama-sama mendaftarkan diri melalui PDI-P untuk jabatan yang sama.
Jika Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri memberikan rekomendasi kepada Gibran untuk menjadi wali kota, sempurnalah takdir Gibran dalam mengikuti jejak politik ayahnya sebagai pemimpin politik.
Ambisi politiklah yang membuat takdir Gibran dan ayahnya dipertemukan setelah 15 tahun pilkada langsung. Keduanya sama-sama mendaftarkan diri melalui PDI-P untuk jabatan yang sama.
Dewan Pimpinan Pusat PDI-P telah memilih Gibran Rakabuming Raka dan Wakil Wali Kota Surakarta Achmad Purnomo sebagai kandidat yang akan diuji untuk mendapatkan rekomendasi sebagai bakal calon wali kota dari partai moncong putih.
Tanggal 10 Februari, Gibran mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPP PDI-P di Jakarta. Dalam tradisi PDI-P, siapa pun yang ditunjuk Ibu Mega dan DPP untuk menjadi bakal calon, semua kader wajib mendukung dan memenangkannya.
Baik Gibran maupun Purnomo sama-sama berpeluang mendapatkan dukungan dari PDI-P Surakarta sebagai tiket untuk menggapai singgasana kekuasaan tertinggi di kota yang dijuluki sebagai ”The Heart of Java” ini.
Kunci kemenangan
Semua tokoh yang hendak bertarung untuk menjadi Wali Kota Surakarta pasti akan sowan kepada para pengurus partai ini mulai dari tingkat terendah sampai yang tertinggi. Dari pengurus anak ranting di tingkat RW sampai kepada ketua DPC. Silaturahmi ini semata-mata hanya ingin mendapatkan dukungan politik dari partai.
Perlakuan istimewa terhadap PDI-P menjelang hajatan politik seperti pilkada menunjukkan kekuatan pengaruh partai terhadap nasib politik para kandidat. PDI-P sampai saat ini merupakan partai yang paling kuat dalam memengaruhi kontestasi politik di Surakarta. Partai besutan putri proklamator kemerdekaan Indonesia ini masih menguasai mayoritas suara pemilih sampai saat ini.
Kekuatan ini menjadi petunjuk bahwa dukungan politik PDI-P merupakan kunci utama untuk membuka kemenangan dalam pilkada. Dengan menguasai 70 persen suara dan kursi DPRD, membuat partai ini sangat percaya diri dan memiliki mental juara sebagai pemenang pilkada. Kekuatan tersebut bukanlah isapan jempol semata. Lihat saja hasil tiga kali pemilihan wali kota (pilwalkot) sejak tahun 2005.
Pilwalkot Surakarta 2005 menjadi eksperimen perdana bagi PDI-P untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar berasal dari rakyat. Pasangan Joko Widodo-FX Hadi Rudyatmo yang terbilang baru menjadi representasi semangat kerakyatan yang diusung oleh partai.
Keduanya dijadikan ikon sebagai pemimpin yang benar-benar berasal dari rakyat. Hasilnya, pemilih yang memberikan dukungan mereka kepada pasangan ini berada di peringkat tertinggi dari lima daerah pemilihan.
Kemenangan Jokowi-Hadi dalam pilkada langsung pertama di Kota Surakarta ini bukanlah kemenangan spektakuler. Perolehan suara kandidat pendatang baru ini bahkan tidak mencapai 50 persen suara. Namun, kedua sosok ini mampu membuktikan kedigdayaan partai moncong putih dalam mengubah peta kontestasi di Surakarta saat itu.
Pasalnya, rival utama mereka adalah Slamet Suryanto yang tidak lain adalah mantan Ketua DPC PDI-P Surakarta yang punya pengaruh luas terhadap para kadernya hingga tingkat pengurus anak ranting. Slamet saat itu merupakan satu-satunya tokoh yang memiliki basis dukungan riil dari massa PDI-P.
Cerita tentang pamor PDI-P di Surakarta ini diperkuat dengan dominasi partai ini dalam meraup suara pemilih ketika pemilihan umum. Sejak Pemilu 1999 sampai sekarang, partai nasionalis ini masih mendominasi perolehan kursi DPRD dengan proporsi 60 persen.
Penguasaan kursi ini praktis membuat PDI-P sangat leluasa bermanuver dalam momen kontestasi politik lokal. Terbukti ketika Pilwalkot 2010, pasangan calon petahana Jokowi-Hadi berhasil meraup kemenangan spektakuler dengan perolehan 90 persen lebih dukungan suara.
Kemenangan ini mencerminkan popularitas PDI-P dan sosok Wali Kota Jokowi sudah merasuk ke dalam benak para pemilih. Popularitas ini pula yang membuat partai-partai lain enggan mengajukan jagoan mereka untuk melawan petahana. Pilwalkot Surakarta sepuluh tahun lalu ini menjadi ajang unjuk kekuatan bagi PDI-P dan Jokowi dalam memenangkan hati rakyat.
Pilwalkot 2015 berlangsung tanpa Joko Widodo, sosok yang sangat fenomenal dalam Pilkada 2010. Pilwalkot lima tahun lalu ini menjadi ajang politik yang seru karena pertarungannya masih kental dengan aroma konflik dari sisa-sisa pertarungan pemilihan presiden 2014.
Aroma konflik ini juga memengaruhi strategi PDI-P untuk mempertahankan kemenangannya dalam Pilwalkot Surakarta melalui pasangan FX Hadi Rudyatmo-Achmad Purnomo. PDI-P harus menggandeng partai lain, terutama PKB dan PPP sebagai mitra koalisi Islam untuk mengimbangi dominasi kekuatan Islam yang sudah dikuasai oleh kubu lawan.
Menurut para kader PDI-P Surakarta, Pilwalkot 2015 merupakan pertarungan politik paling berat bagi mereka. Kendala utama adalah menetralisasi isu SARA yang diarahkan kepada calon Wali Kota FX Hadi Rudyatmo. Kendala lainnya adalah menjaga soliditas pemilih Islam yang menjadi simpatisan PDI-P dari bujukan pihak lawan.
Hasilnya, PDI-P tidak mampu menahan kemerosotan suara pemilihnya dalam pilkada. PDI-P memang mampu menjaga kemenangan dalam pilwalkot kali ini, tetapi dukungan pemilih kepada pasangan calon partai ini merosot drastis, hingga di angka 60 persen.
Kunci kedua kemenangan dalam kontestasi politik di Surakarta adalah Ibu Mega, sapaan kehormatan untuk Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Bagi pengurus, kader, dan simpatisan PDI-P Surakarta, sosok Ibu Mega sangat penting dalam menuntun keyakinan politik mereka. Setiap gestur politik Ibu Mega mulai dari sikap diam, pernyataan politik terbuka, hingga putusan politik resmi merupakan arahan politik.
Posisi ketua umum partai ini tidak saja berada di tempat tertinggi dalam struktur partai, tetapi juga berada di pusat keyakinan politik para kadernya. Karena itulah, persaingan ataupun konflik terkait pilihan politik di Surakarta akan reda dengan cepat ketika Ibu Mega sudah terlibat.
Kepatuhan kepada perintah Ibu Mega ini juga merefleksikan keyakinan individual para kader bahwa perintah merupakan bentuk restu Ibu Mega. Kepatuhan untuk menjaga restu ini menjadi legitimasi kedekatan kader dengan ketua umum mereka. Hubungan seperti inilah yang menjadikan Megawati sebagai sosok yang dominan dalam memengaruhi keputusan strategis terkait kepentingan PDI-P di Surakarta.
Efek Jokowi
Jokowi effect atau efek Jokowi sudah menjadi istilah umum dalam politik Indonesia semenjak sosok mantan Wali Kota Surakarta ini sukses mendulang popularitas dari masyarakat Indonesia.
Efek Jokowi mengacu kepada pengaruh positif yang ditimbulkan sosok Presiden ke-7 Indonesia ini terhadap popularitas dan elektabilitas seseorang dalam kontestasi politik. Bahkan, beberapa partai politik juga memanfaatkan efek Jokowi untuk menambah elektabilitas caleg dan partai dalam pemilu.
Pertanyaannya, apakah efek Jokowi ini masih signifikan dalam pilkada serentak 2020 dan Pemilu 2024? Untuk pilkada, efek Jokowi masih signifikan dan banyak dimanfaatkan oleh para kandidat. Setidaknya, para calon yang menggandeng nama Jokowi ini berasumsi, jika mereka menang nanti, status mereka adalah bawahan Presiden yang ada di daerah.
Dengan menggandeng nama Jokowi, para kandidat hendak mengampanyekan kesamaan visi mereka sebagai calon kepala daerah dengan visi Jokowi sebagai presiden. Tentu cara yang digunakan berbeda-beda antara satu calon dengan calon lainnya. Strategi ini terbilang instan tetapi efektif dalam menggaet dukungan, terutama dari para simpatisan Jokowi.
Efek Jokowi dalam Pilwalkot Surakarta 2020 terbilang unik. Pasalnya, nama Jokowi dalam momen ini sangat dekat dan nyata bagi masyarakat Surakarta. Jokowi adalah satu-satunya wali kota yang dianggap sukses dalam membangun kota dan meningkatkan harkat kehidupan warganya. Gaya kepemimpinan Jokowi yang merakyat menjadi acuan masyarakat dalam memilih pemimpin.
Pilwalkot Surakarta kali ini, salah satu kandidat yang potensial adalah Gibran Rakabuming Raka, yang tidak lain adalah putra sulung sang Presiden. Hubungan keluarga dalam kontestasi politik seperti inilah yang kemudian memicu perdebatan bahwa munculnya nama Gibran adalah bentuk dinasti politik Jokowi. Mantan Wali Kota Surakarta ini dituduh hendak membentuk dinasti politik melalui anaknya, pada saat pengaruh dan kekuasaannya mulai pudar secara perlahan-lahan.
Efek Jokowi memang tidak bisa dihindarkan dalam Pilwalkot Surakarta meskipun nama Gibran tidak tercantum dalam bursa calon. Nama Jokowi sudah terlalu besar dan kuat dalam benak dan memori publik orang-orang Surakarta. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Jokowi harus dikawal dan disukseskan dalam pentas politik.
Nama Jokowi harus tetap berkibar di Surakarta meskipun sosoknya tidak hadir secara riil. Pokoknya, Jokowi tidak boleh kalah di kota kelahirannya yang pernah dia pimpin. Bukti dari semangat tersebut adalah totalitas warga Surakarta untuk memenangkan Jokowi dalam berbagai momen politik pasca-Pemilu 2014.
Nama Jokowi harus tetap berkibar di Surakarta meskipun sosoknya tidak hadir secara riil.
Efek Jokowi bukanlah fenomena baru, yang muncul bersamaan dengan masuknya nama Gibran dalam bursa calon Wali Kota Surakarta. Nama Jokowi, Ibu Mega, dan PDI-P akan muncul dalam satu garis linier ketika kota ini menghadapi kontestasi politik. Hingga saat ini, ketiganya selalu saling menopang sehingga menghasilkan kekuatan yang masih sulit untuk dikalahkan.
Dalam kerangka ini, efek Jokowi bisa dilihat juga sebagai salah satu kunci untuk membuka kemenangan dalam kontestasi politik di Surakarta, di luar PDI-P dan Ibu Mega. Keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan wali kota tahun 2020 bukan semata karena posisi bapaknya sekarang.
Kemunculan Gibran ini menggambarkan fenomena saat ini, hanya Gibran yang memiliki akses paling dekat dengan tiga kunci penentu kemenangan dalam kontestasi politik di Surakarta. (LITBANG KOMPAS)