Dunia Usaha dan Pekerja Dibayangi Korona
Merebaknya pandemi Covid-19 tak hanya menghambat laju investasi, tetapi juga berdampak pada dunia usaha dan pekerja. Kesigapan pemerintah diperlukan untuk mencegah penyebaran virus dan menahan laju perlambatan ekonomi.
Merebaknya virus korona di Tanah Air menambah tantangan sekaligus kegelisahan baru bagi pelaku usaha ataupun kalangan pekerja. Tak hanya menghambat laju investasi, masa depan dunia usaha dan pekerja bisa terpukul akibat dampak pandemi Covid-19 tersebut. Kesigapan pemerintah diperlukan untuk mencegah penyebaran virus dan menahan laju perlambatan ekonomi.
Dampak wabah virus korona (Covid-19) tidak hanya merugikan dari sisi kesehatan. Virus yang bermula dari Kota Wuhan, China, ini bahkan turut memengaruhi perekonomian negara-negara di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Ekonomi global dipastikan melambat, menyusul penetapan dari WHO yang menyebutkan bahwa wabah korona sebagai pandemi yang memengaruhi dunia usaha.
Dampak terhadap Industri
Kemunculan pandemi Covid-19 sejak akhir Desember tahun lalu kian menambah sulit berbagai sektor industri nasional. Mulai dari sektor pariwisata, manufaktur, perdagangan, hingga sektor berorientasi ekspor, seperti komoditas dan tambang dengan efek berantai ke sektor lain terdampak.
Sektor pariwisata adalah industri pertama yang merasakan dampaknya. Banyak perusahaan biro perjalanan dan penerbangan yang mengalami kerugian akibat pemerintah menghentikan penerbangan dari dan ke China per 5 Februari 2020 lalu.
Sejak pemberlakuan tersebut, jumlah kunjungan wisatawan China ke Bali mengalami penurunan. Pada tahun 2019, dari 6,3 juta wisatawan mancanegara (wisman), sebanyak 1.185.519 wisatawan atau 18,2 persen berasal dari China. Namun, pada Januari sampai pertengahan Februari 2020 tercatat 22.000 wisatawan China batal berwisata ke Bali, Senin (14/2/2020). Hal itu tentu sangat memengaruhi perekonomian Provinsi Bali yang selama ini bergantung pada pariwisata.
Turunnya wisman tersebut berdampak pada penurunan okupansi atau tingkat hunian hotel. Jika kondisi ini terus berlangsung, industri pariwisata bersiap menghadapi situasi terburuk.
Untuk menyiasati kondisi tersebut, tidak sedikit pelaku usaha yang kemudian memotong biaya operasional. Salah satunya dengan memotong biaya karyawan. Cara itu dapat ditempuh bertahap, mulai dari merumahkan sebagian karyawan, memberlakukan jam kerja bergiliran, hingga melakukan PHK.
Di sektor manufaktur, pasokan bahan baku yang terbatas dari China berimbas pada produksi yang tersendat. Data Kementerian Perindustrian mencatat 30 persen bahan baku yang dibutuhkan industri dalam negeri berasal dari ”Negeri Tirai Bambu” tersebut.
Kendati China kini mulai bangkit dari keterpurukan akibat penyebaran virus korona, belum pulihnya rantai dagang antara Indonesia dan China membuat industri pengolahan Indonesia turut terpukul. Impor asal China utamanya berupa bahan baku industri ataupun barang jadi.
Terhambatnya pasokan bahan baku industri dari China itu memengaruhi produksi dalam negeri. Imbasnya, kapasitas produksi bisa berkurang dan kenaikan harga akibat kurangnya bahan baku. Dampak lanjutan pengurangan kapasitas produksi bisa membuat perusahaan melakukan efisensi dengan pengurangan karyawan.
Baca juga: Bola Panas Pesangon Pekerja
Kondisi tersebut semakin sulit dengan kenaikan harga komponen akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang terus melemah hingga menembus 15.224 per dollar AS, Selasa (17/3/2020), berpotensi menaikkan harga barang.
Selain itu, kenaikan harga bahan baku juga dipicu karena ongkos logistik yang meningkat lantaran sejumlah akses pelabuhan tertutup. Perusahaan bisa saja membeli pasokan, tetapi ketersediaannya terbatas. Perusahaan juga tidak bisa menaikkan harga karena rentan kehilangan daya beli masyarakat.
Di sektor perdagangan, China tercatat sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia serta negara asal impor dan tujuan ekspor nonmigas terbesar Indonesia. Besarnya impor nonmigas dari China ke Indonesia pada Januari 2020 tercatat sebesar 3,9 miliar dollar AS. Tahun 2019, besaran impor nonmigas dari China tercatat 44,58 miliar dollar AS atau sekitar 26,11 persen dari total impor Indonesia.
Namun menurut BPS, ekspor nonmigas pada Januari 2020 mengalami penurunan jika dibandingkan Desember 2019. Penurunan ini terjadi pada sebagian besar negara tujuan utama, salah satunya China yang mencapai 211,9 juta dollar AS atau turun 9,15 persen, sedangkan nilai impor nonmigas pada Januari 2020 juga ikut menurun. Total nilai impor nonmigas selama Januari 2020 sebesar 9,67 miliar dollar AS atau turun 313,5 juta dollar AS atau turun 3,14 persen dibandingkan Desember 2019.
Dampak terhadap pekerja
Suramnya berbagai sektor industri tersebut bisa berujung pada nasib pekerja atau buruh. Seretnya produksi, lesunya perdagangan, dan minimnya wisatawan asing ke Indonesia bisa memengaruhi masa depan pekerja di sejumlah sektor industri, mulai dari sebagian pekerja dirumahkan hingga PHK. Bahkan, menurut penelusuran berita, PHK sudah terjadi di sejumlah sektor. Ratusan ribu pekerja dirumahkan pada awal 2020.
Lesunya ekonomi Indonesia akibat penyebaran virus korona tersebut juga dinyatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurut Menkeu, virus korona bisa memengaruhi laju aktivitas sehari-hari masyarakat, termasuk di sektor ekonomi. Korona menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat dan memengaruhi kegiatan sehari-hari. Ujung-ujungnya, sektor riil yang terhantam langsung dan bisa berakhir pada PHK bagi pekerja.
Bahkan, Sri Mulyani mengatakan, persoalan virus korona jauh lebih rumit dan dalam ketimbang krisis ekonomi 2008. Jika krisis keuangan 2008 lebih menyasar ke sektor keuangan dan korporasi, wabah virus korona justru langsung berdampak pada psikologis dan kesehatan manusia.
Di sektor manufaktur, delapan perusahaan di tiga kabupaten di Jawa Tengah terancam tutup karena pasokan bahan baku dari China berkurang. Perusahaan tersebut bergerak di bidang perkayuan dan vulkanisir ban.
Di sektor pariwisata, ancaman PHK mulai menghantui karyawan agen perjalanan dan pegawai hotel. Menurut data Asosiasi Perusahan Penjual Tiket Penerbangan (Astindo), ada 8.000 perusahaan biro perjalanan di Indonesia yang mempekerjakan 1,4 juta orang, termasuk sopir dan pemandu wisata yang bisa terimbas dampak merebaknya virus korona.
Salah satunya adalah perusahaan biro perjalanan Star Jet di Plaza Lagoi Bintan, Kepulauan Riau. Perusahaan tersebut memutuskan PHK terhadap 150 karyawannya pada akhir Februari. Langkah PHK itu ditempuh lantaran bisnis perusahaan lesu sejalan dengan wabah virus korona di berbagai negara.
Untuk perhotelan, menurut Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono, seperti dikutip dari media, Rabu (18/3/2020), menyebutkan, berdasarkan perhitungan Apindo, PHK dari sektor usaha perhotelan sudah terjadi 20-35 persen.
Virus korona juga berdampak kepada para pedagang, terutama sejak imbauan pembatasan mobilitas dikeluarkan pemerintah. Pusat-pusat perbelanjaan mulai sepi pengunjung akibat kekhawatiran tertular virus korona. Pedagang mulai mengeluhkan penjualan mereka turun sejak kasus korona merebak di Indonesia.
Ancaman bagi buruh tak hanya soal kegiatan produksi perusahaan yang mulai terganggu. Pekerja pabrik juga rentan tertular virus korona baru Covid-19. Kebijakan bekerja dari rumah untuk mencegah penyebaran virus korona tampaknya sulit diterapkan bagi pekerja pabrik karena melibatkan produksi dengan mesin dan tak mungkin dikerjakan dari rumah.
Stimulus
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah mencoba melakukan berbagai upaya untuk menekan dampak virus korona terhadap sejumlah sektor industri dan pekerja. Presiden Joko Widodo juga meminta seluruh pihak melakukan social distancing, termasuk bekerja di rumah (WFH), untuk mengurangi penyebaran virus korona. Beberapa kepala daerah memutuskan meliburkan kegiatan belajar mengajar.
Presiden Jokowi juga meminta Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto serta Menteri Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Teten Masduki agar memberitahukan kepada perusahaan-perusahaan agar tidak melakukan PHK.
Beberapa stimulus ekonomi diluncurkan pemerintah agar perlambatan ekonomi bisa ditekan. Pemerintah menekan disrupsi terhadap proses produksi, distribusi, dan rantai pasok pada sektor industri manufaktur, antara lain dengan menjaga ketersediaan bahan baku.
Pemerintah juga memberikan pembebasan PPh Pasal 22 Impor kepada 19 sektor tertentu, wajib pajak kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), dan wajib pajak KITE IKM. Relaksasi tersebut berlaku selama enam bulan terhitung mulai April sampai September 2020. Total pembebasan diperkirakan Rp 8,15 triliun.
Kebijakan tersebut diambil sebagai upaya memberikan ruang cashflow bagi industri sebagai kompensasi switching cost atau biaya sehubungan perubahan negara asal impor.
Di sektor pariwisata, sejumlah langkah disiapkan untuk mengantisipasi dampak korona. Beberapa sektor didorong pemerintah untuk membantu meningkatkan pariwisata. Mulai dari promosi, diskon tiket pesawat, diskon avtur, hingga pembebasan pajak daerah hotel dan restoran dengan total anggaran hingga lebih dari Rp 10 triliun.
Pemerintah juga sedang menyiapkan stimulus ketiga untuk bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan menjaga kinerja pelaku usaha terkait pandemi Covid-19.
Di sisi pekerja, pemerintah melakukan relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang akan ditanggung pemerintah 100 persen bagi pekerja sektor industri pengolahan dengan besaran penghasilan sampai dengan Rp 200 juta. Nilai yang ditanggung pemerintah mencapai Rp 8,6 triliun. Stimulus itu diberikan pemerintah pusat dengan tujuan memperkuat daya beli dan mendorong sisi suplai dan permintaan.
Penerapan kartu prakerja untuk semua sektor juga dipercepat. Program yang semula dijadwalkan berlaku pada Agustus 2020 ini akan dirilis pada akhir Maret 2020. Anggaran yang disiapkan sebesar Rp 10 triliun untuk 2 juta peserta kartu prakerja pada tahun ini. (LITBANG KOMPAS)