Percepat Tes Cepat Covid-19 demi Indonesia
Memperluas jangkauan tes cepat Covid-19 telah terbukti efektif di Korea Selatan. Belajar dari negara ini, tes massal yang diperintahkan Presiden Jokowi diharapkan dapat mencegah penularan dan mengurangi angka kematian.
”Kami memiliki pesan sederhana untuk semua negara: tes, tes, tes.”
Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Umum WHO, mengatakannya dalam konferensi pers virtual pada Senin, 16 Maret 2020. Hal tersebut disampaikan agar pencegahan dan penanganan Covid-19 dapat dilakukan dengan lebih cepat dan efektif.
”Semua negara harus melakukan tes kepada semua suspek, mereka tidak dapat melawan pandemi dengan mata tertutup. Tanpa pengetesan, kasus tidak dapat diisolasi dan rantai infeksi tidak terputus,” katanya.
Ia menyebut tindakan ini sebagai backbone” dari bagian respons atas pandemi Covid-19. Tes dalam skala banyak akan mempercepat penemuan kasus. Jika kasus postif telah terdeteksi, kasus akan diisolasi dan itu akan memutus rantai penularan. Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan penelusuran kontak dari kasus postif.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi pada 19 Maret 2020 memerintahkan tes cepat Covid-19 dengan cakupan yang luas (massive rapid test) dilakukan. Perintah tersebut mengikuti langkah sejumlah negara dalam menghadapi Covid-19, seperti China dan Korea Selatan.
Tes cepat digunakan untuk deteksi awal virus penyebab Covid-19 dalam tubuh manusia. Uji ini dilakukan untuk memperoleh indikasi awal warga yang terduga positif Covid-19.
Caranya dengan mendeteksi zat antibodi immunoglobulin M (igM) ataupun immunoglobulin G (igG) dalam darah orang yang diperiksa. Dua antibodi ini merespons virus penyebab Covid-19, yaitu SARS-Cov-2.
Zat antibodi tersebut terbentuk setelah orang terpapar virus. Namun, pembentukannya membutuhkan waktu beberapa hari sehingga bisa jadi ketika orang dites belum terdeteksi adanya antibodi tersebut.
Tes ini hanya membutuhkan waktu 15 sampai 20 menit untuk mendapatkan hasilnya. Jika hasil tes positif, maka akan dilanjutkan dengan tes yang lebih akurat, yaitu pemeriksaan molekular melalui real-time polymerase chain reaction (PCR).
Tes cepat mulai dilakukan pada Jumat, 20 Maret 2020, dengan prioritas orang yang berkontak dengan pasien. Selanjutnya, tes akan dilakukan di wilayah yang dinilai paling rawan menggunakan 1 juta kit pemeriksaan dari pemerintah.
Keberhasilan Korea Selatan
Tes cepat dan luas atau massive rapid test dapat dilihat sebagai pilihan efektif untuk melawan virus korona. Sebab negara yang lebih banyak melakukan tes Covid-19 kepada penduduknya pada umumnya melaporkan angka kematian yang lebih rendah.
Hal ini dapat dilihat dari perbandingan angka kematian dan jumlah orang yang menjalani tes dalam 1 juta penduduk di beberapa negara. Data diambil dari statistik kasus Covid-19 dari negara Amerika Serikat, Italia, Jepang, Hong Kong, Inggris, Korea Selatan, Selandia Baru, Belanda, Swedia, dan Indonesia.
Baca juga: Akan Selalu Terjadi Pandemi
Dari sepuluh negara ini, Korea Selatan-lah yang paling berhasil dengan strateginya memperluas pemeriksaan sekaligus menekan angka kematian. Sampai pada 19 Maret 2020, pemerintah telah melakukan tes terhadap 307.204 penduduknya.
Jika dibandingkan dengan populasi penduduknya, maka telah ada 5.984,9 orang per 1 juta penduduk yang telah dites. Jika dihitung dari kasus pertama yang terkonfirmasi di negara tersebut, yaitu pada 20 Januari 2020, setiap hari telah dilakukan tes sebanyak 5,2 ribu tes.
Hal yang patut diapresiasi adalah angka kematian kasus Korea Selatan lebih rendah dibandingkan angka kematian global dan tujuh negara lainnya. Angka kematian kasus Covid-19 di negara ini adalah 1,06 persen dari 8,6 ribu kasus positif. Sementara angka kematian global per 19 Maret 2020 mencapai 4,18 persen.
Angka kematian kasus Korea Selatan lebih rendah dibandingkan angka kematian global.
Sementara enam negara lain yang memiliki angka kematian lebih tinggi dibandingkan Korea Selatan melakukan tes kepada kurang dari 2.000 orang per satu juta penduduk. Italia tidak dimasukkan dalam analisis karena dianggap outlier. Perhitungan ini berdasarkan data terkini yang disampaikan sumber kementerian atau dinas kesehatan negara masing-masing.
Jepang dengan angka kematian 3,4 persen per 18 Maret 2020 baru menguji 14,5 ribu penduduknya atau 114,7 per satu juta penduduk. Sementara jumlah kasus positif mencapai 853 sejak 62 hari pandemi menjangkit Jepang.
Di Amerika Serikat, tes baru dilakukan kepada 73,96 ribu orang atau 271,2 jiwa per sejuta penduduknya selama 58 hari sejak kasus pertama terkonfirmasi. Angka kematian di negara ini mencapai 1,45 persen dari 7,7 ribu kasus positif.
Negara dengan angka kematian tinggi lainnya adalah Inggris dengan tingkat kematian 3,9 persen. Sejak kasus pertama diumumkan pada 31 Januari 2020, jumlah orang yang dites hanya 56,22 ribu jiwa atau 829,22 orang dari 1 juta penduduk.
Di Indonesia sampai 20 Maret 2020, terdapat 1.900 orang yang telah menerima tes Covid-19. Artinya, hanya 7,2 orang dari 1 juta penduduk Indonesia yang telah dites. Sementara angka kematian Indonesia cukup tinggi, yaitu 8,67 persen dari 369 kasus positif.
Tes cepat dan luas
Perluasan tes Covid-19 dianggap akan berhasil karena tes dilakukan pula pada orang yang tidak memiliki gejala. Orang yang telah terinfeksi tetapi tidak memiliki gejala justru lebih berbahaya. Sebab ia tidak menyadari akan adanya virus itu dan malah menulari orang-orang di sekitarnya.
Selain itu, semakin cepat orang yang terinfeksi terdeteksi, penanganannya juga semakin cepat. Isolasi dan perawatan akan diberikan sebelum penyakit bertambah parah. Dengan demikian, dengan catatan khusus, potensi kematian minim.
Korea Selatan mengonfirmasi kasus Covid-19 pertamanya pada 20 Januari 2020. Virus ini awalnya menyebar dari kelompok religi di Kota Daegu. Saat itu, pemerintah langsung mengidentifikasi dan menguji sekitar 10.000 anggota gereja di Daegu. Pengetesan tidak dilakukan hanya pada orang yang memiliki gejala saja, tetapi juga orang-orang yang tampak sehat.
Setelah itu pemerintah langsung memperluas jangkauan tes Covid-19 dengan membuka klinik layanan tanpa turun (drive through) pengetesan. Layanan ini termasuk 96 laboratorium privat dan publik yang dibangun baru untuk uji Covid-19.
Ini dilakukan untuk mempercepat dan memperbanyak jumlah orang yang dicek. Jika masyarakat yang terbukti positif menolak dirawat di rumah sakit, mereka akan didenda 8.300 dollar AS.
Dalam sehari, pemerintah dapat menyediakan 12.000 hingga 15.000 tes dengan kapasitas maksimal 20.000 tes. Tidak heran jika hingga saat ini 307.000 orang telah dites.
Namun, semua ini juga terwujud atas partisipasi masyarakat. Lee Sung-yoon, profesor hubungan internasional di Universitas Tufts, mengatakan, masyarakat Korea Selatan secara kultural cenderung patuh kepada otoritas dan sedikit mengeluh.
Masyarakat Korea Selatan secara kultural cenderung patuh kepada otoritas dan sedikit mengeluh.
Ketika virus merebak dan pemerintah melakukan pembatasan sosial, masyarakat menuruti. Warga tetap diam di rumah dan menghindari acara perkumpulan besar. Sehari-hari mereka juga terbiasa menggunakan masker sekaligus sebagai antisipasi polusi udara.
Indonesia
Keberhasilan yang diraih Korea Selatan saat ini adalah buah dari pembelajaran pengalaman masa lalu. Dari pengalaman buruk pada kasus MERS tahun 2015, negara ini bangkit dengan mengevaluasi kebijakannya terhadap kasus penyakit menular.
Akhirnya negara memulai kebijakan deteksi dini dengan tes akurat diikuti dengan isolasi dan perawatan intensif terhadap individu terjangkit atau kelompok beresiko. Pemerintah juga membatasi perjalanan dan memberlakukan karantina dalam skala yang belum dilihat sebelumnya.
Hal ini dapat menjadi pengalaman bagi Indonesia untuk merespons kejadian yang sama di masa depan. Belajar dari pandemi Covid-19, Indonesia diharapkan mampu memperbaiki sistem penanganan penyakit menular.
Hal yang telah dilakukan saat ini, seperti pembatasan sosial dan memperluas jangkauan tes, kiranya dapat menjadi awal bagi penanganan penyakit menular yang lebih baik di kemudian hari.
Ini juga tidak lepas dari partisipasi masyarakat. Masyarakat dapat belajar memulai pola hidup bersih dan sehat dengan rajin mencuci tangan, dan meningkatkan imunitas tubuh untuk mencegah infeksi penyakit menular.
Disiplin membatasi aktivitas juga menjadi partipasi nyata mencegah penularan korona. Mencegah lebih baik daripada mengobati sebab kita tidak tahu kapan pandemi akan terjadi lagi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?