Frekuensi hoaks terkait Covid-19 terus meningkat sejak Januari hingga Maret 2020. Pada Januari tercatat 40 kasus hoaks, Februari 98 kasus hoaks, dan Maret melonjak naik menjadi 246 kasus hoaks.
Oleh
Topan Yuniarto
·6 menit baca
Informasi bohong atau hoaks tak hanya deras mengalir saat Pemilu 2019. Kini, hoaks pun meluas di tengah wabah Covid-19. Jika pada Pemilu 2019 sasaran hoaks adalah kontestasi, terutama saat pemilihan presiden, kini sasaran hoaks adalah kepanikan warga akibat pandemi.
Sesuai data yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 29 Maret 2020 pukul 19.00, tercatat 384 informasi hoaks yang beredar melalui media sosial, aplikasi percakapan Whatsapp, dan tautan pada situs internet. Dengan menggunakan pendekatan analisis isi, Litbang Kompas mengklasifikasikan data rekapitulasi hoaks terkait Covid-19 yang dirilis Kemenkominfo tersebut pada dua hal, yakni hoaks berdasarkan permasalahan dan hoaks berdasarkan sasaran.
Hoaks berdasarkan permasalahan Covid-19 dapat dibagi menjadi tujuh kategori: sebaran, penyebab, penularan, penanganan, lockdown, obat, dan dampak Covid-19. Sementara hoaks menurut sasaran dapat dibagi menjadi lima kategori, yakni pasien di rumah sakit, pejabat atau figur publik, korban meninggal, relasi agama, dan kepanikan masyarakat.
Frekuensi hoaks terkait Covid-19 terus meningkat sejak Januari hingga Maret 2020. Pada Januari tercatat 40 kasus hoaks, Februari 98 kasus hoaks, dan Maret melonjak naik menjadi 246 kasus hoaks. Sebaran hoaks di masyarakat juga diperkirakan juga meluas seiring bertambahnya kasus Covid-19 di Tanah Air.
Tema informasi hoaks ataupun disinformasi juga bergeser dari waktu ke waktu. Jika pada awalnya hoaks membicarakan kasak-kusuk terkait ada atau tidaknya pasien masuk sebuah rumah sakit di suatu kota atau kabupaten, konten hoaks berikutnya yang beredar menyasar sejumlah pejabat, tokoh, dan figur publik yang dikabarkan terkena serangan virus ini. Lebih luas lagi, hoaks juga menyoal kebijakan karantina wilayah atau yang biasa disebut lockdown.
Terdapat beragam konten hoaks yang terkait dengan permasalahan Covid-19 yang bisa dikategorikan dalam tujuh hal: sebaran, penyebab, penularan, penanganan, lockdown, obat, dan dampak Covid-19. Konten hoaks terkait masalah Covid-19 tak selamanya membuat pembaca ketakutan, tetapi kadang-kadang justru membuat lucu karena informasi yang tersaji kerap tidak masuk akal.
Terkait sebaran Covid-19, ada sejumlah tema yang berelasi langsung dengan wilayah atau daerah, seperti: ”Virus Korona Diduga Sudah Menyebar dan Masuk ke Indonesia di Gedung BRI 2” (24/1/2020), ”Orang Terinfeksi Virus Korona di Rumah Sakit Wahidin Makassar” (26/1), ”Virus Korona Telah Masuk di Palembang” (29/1), ”Warga Jombang Terkena Virus Korona” (1/2), ”Bali dan Istana Sudah Diserang Virus Korona” (18/2), ”Malioboro dan Tempat Wisata di Yogyakarta Tutup 16-31 Maret 2020” (16/3), ”Warga Klaten Terpapar Virus Korona” (16/3), dan beragam hoaks lain yang juga menyebutkan sebaran Covid-19 di sejumlah wilayah.
Sementara hoaks terkait lockdown yang menyebar di masyarakat di antaranya ”Kokas (Mal Kota Kasablanka) Di-lockdown karena Virus Korona (13/3)”, ”Akhirnya Pemerintah Memutuskan Indonesia Lockdown” (20/3), ”Pasar Ngunut Tulungagunng Di-Lockdown Selama Sepekan” (20/3), ”RS Premier Bintaro Lockdown” (20/3), ”Jakarta Lockdown, Warga di Luar Jakarta Tidak Boleh Masuk kecuali Ada Izin dari Polisi” (21/3), ”Jakarta Lockdown Mulai 28 Maret 2020” (28/3), dan banyak lagi ragam hoaks terkait lockdown yang berseliweran di media sosial.
Hoaks berdasarkan sasaran
Berdasarkan sasaran, ragam informasi hoaks dapat dikategorikan dalam lima hal: pasien di rumah sakit, pejabat atau figur publik, korban meninggal, relasi agama, dan kepanikan masyarakat.
Terpaan hoaks terkait pasien di rumah sakit di antaranya: ”Pasien Terjangkit Virus Korona di RSUD Tarakan” (29/1/2020), ”Pasien Virus Korona Sudah Masuk di RSUD Rabaik Muara Enim” (1/2), ”Informasi Kedatangan Pasien Suspect Korona di RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar” (13/1), ”RS Sanglah Denpasar Menerima Pasien Positif Korona secara Diam-diam” (3/3), ”Mitra Gojek yang Diduga Suspect Korona Melarikan Diri dari Rumah Sakit Persahabatan” (16/3), ”Pasien PDP Covid-19 Kabur dari Ruang Isolasi RSUD Embung Fatimah” (22/3), dan ragam konten hoaks terkait pasien Covid-19 lainnya yang diidentifikasi Kemenkominfo sebagai informasi yang tidak benar.
Selain menyasar kepada pasien, informasi hoaks juga santer beredar dan menyerang sejumlah pejabat negara atau figur publik. Informasi hoaks tersebut antara lain: ”Presiden China Umumkan Virus Korona Sudah Jadi Epidemi dan Memohon Doa Umat Islam” (30/1), ”Menteri Kesehatan Rusia Mengatakan bahwa Korona Virus adalah Buatan Manusia” (3/3), ”Mendagri Tito Karnavian dan Istri Terkena Korona” (15/3), ”Wapres KH Ma’ruf Amin Mengungkapkan bahwa Susu Kuda Liar Dapat Menangkal Virus Korona” (12/3), ”Presiden Jokowi Positif Virus Korona” (16/3), ”Vladimir Putin Menurunkan 800 Harimau dan Singa agar Warga Tinggal di Rumah” (22/3), dan konten hoaks lainnya yang terkait dengan negarawan atau tokoh.
Upaya mengatasi hoaks
Kemenkominfo memberikan cara mengatasi hoaks atau informasi bohong. Pertama, berhati-hatilah dengan judul yang provokatif. Berita hoaks sering kali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan langsung menunjuk kepada pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki pembuat hoaks.
Oleh karena itu, jika menjumpai berita berjudul provokatif, sebaiknya masyarakat mencari referensi berupa berita serupa dari situs daring resmi atau media arus utama, lalu membandingkan isinya, sama atau berbeda. Dengan demikian, setidaknya warga sebagai pembaca bisa memperoleh kesimpulan lebih berimbang.
Jika menjumpai berita berjudul provokatif, sebaiknya masyarakat mencari referensi berupa berita serupa dari situs daring resmi atau media arus utama.
Kedua, cermati alamat situs media daring. Untuk informasi yang diperoleh dari situs web atau mencantumkan tautan, cermatilah alamat URL atau tautan situs yang dimaksud. Apabila berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi, misalnya menggunakan domain blog, informasinya bisa dibilang meragukan.
Ketiga, periksa fakta. Perhatikan dari mana berita berasal dan sumbernya. Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran utuh atas suatu fakta dari sebuah informasi atau peristiwa. Keempat, cek keaslian foto. Di era teknologi digital saat ini, bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video.
Adakalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Cara untuk mengecek keaslian foto bisa juga dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.
Kelima, ikut serta grup diskusi antihoaks. Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi antihoaks, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), fanpage dan grup Indonesian Hoax Buster, dan fanpage Indonesian Hoaxes. Di grup-grup diskusi ini, netizen bisa ikut bertanya apakah suatu informasi termasuk hoaks atau bukan sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain.
Menyaring informasi dari beragam media memang tidak mudah dan membutuhkan sedikit usaha. Adanya kesadaran masyarakat untuk menyaring informasi mana yang sekiranya perlu dibagikan dan mana yang tidak perlu dibagikan menjadi langkah tepat di saat masyarakat dilanda kecemasan dan kepanikan akibat pandemi Covid-19. (LITBANG KOMPAS)