”Hand Sanitizer”, Pembersih yang Tidak Asal Bersih
Hand sanitizer (HS), yang dikembangkan sejak 86 tahun lalu, hari ini hadir sebagai pembersih tangan yang sangat familiar di tengah merebaknya virus korona.
Oleh
KRISHNA P PANOLIH
·3 menit baca
Hand sanitizer (HS) hadir sebagai hal yang kini sangat familiar saat cuci tangan dengan sabun sulit dilakukan. Pembersih ini pun menjadi bagian dari keseharian, terutama dalam dunia medis. Pembersih ini juga menjadi bisnis yang laris manis meski pemakaiannya juga harus diawasi.
Mencuci tangan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), adalah teknik terbaik untuk kebersihan tangan. Namun, berbagai kondisi kerap menyebabkan orang tidak mencuci tangan. Banyak orang yang hanya cuci tangan seusai buang air kecil atau besar.
Merujuk salah satu penelitian di Amerika Serikat (AS) dari laman Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI Tahun 2014, sejumlah dokter pun sering lupa mencuci tangan setelah kontak dengan para pasien. Alasan para dokter itu, antara lain, tidak sempat, kertas pengering tak nyaman, pemakaian sikat pencuci tangan memakan waktu, hingga lokasi wastafel yang jauh sehingga merepotkan untuk cuci tangan berkali-kali.
Padahal, salah satu rutinitas tenaga kesehatan yang wajib adalah mencuci tangan yang berarti butuh air dan sabun yang banyak. Waktu yang ideal untuk mencuci tangan yang ideal adalah 15-20 detik.
Dalam perjalanannya, HS akhirnya harus diakui menjadi pilihan penting. Empat aspek yang menjadi pertimbangan lembaga yang kini dipimpin Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus itu.
Pertama, respons yang cepat dengan spektrum yang luas, bersifat mikrobisida, dan mampu mengurangi efek resistensi. Kedua, solusi pembersih dalam keadaan terbatas seperti kurangnya air mengalir dan sarana wastafel. Ketiga, memenuhi higienitas tangan dalam waktu singkat dan nyaman. Keempat, menghemat biaya promosi masalah kebersihan tangan.
Bisnis laris manis
Seluk beluk popularitas hand sanitizer tidak lepas dari gagasan Lupe Hernandez. Mahasiswa sekolah perawat di Bakesfield, California, AS, sekitar tahun 1966 ini pernah berpikir akan pembersih berbahan alkohol yang bisa dipakai dalam kondisi tak ada sabun dan air hangat.
Jauh sebelum itu, ternyata ada beberapa temuan mirip dengan ide Hernandez, bahkan sudah dipatenkan di AS. Beberapa dari penemuan itu adalah rapid hand sanitizer dari LL Stevenson (1955), W.W. Nelson (1963), mesin ”pemusnah kuman” (germicides) dari Lucas P Kyrides (1941), atau disinfektan karya Wendell H Tisdale (1934).
Hampir 20 tahun kemudian bisnis pembersih ini menjadi boom bisnis yang terus berkembang. Tahun 2002 saja, penjualan HS di AS mendapat keuntungan sekitar 28 juta dollar AS yang terus menanjak menjadi 80 juta dollar AS (2006), kemudian menjadi sekitar 402 juta dollar AS pada tahun 2015.
Mengutip laporan ”Hand Sanitizer Industry 2019 Market Research Report”, dalam laman Marketwatch.com, dinyatakan bahwa bisnis ini akan terus berkembang. Hal ini mengingat semakin banyaknya kasus penyakit, termasuk flu, yang banyak menyerang warga AS.
Beberapa produk HS yang terkenal, di antaranya dari perusahaan 3M Co, Gojo Industries Inc, Reckitt Benckiser Group Plc, Unilever, dan Vi-Jon Inc. Untuk Indonesia, beberapa yang kini populer adalah Antis, Betadine, Dettol, Carex, Nuvo, Klinsen, dan Body Shop.
Pemakaian pembersih berbahan alkohol ini semakin marak, terutama ketika muncul kasus-kasus penyakit yang sempat mengguncang dunia. Pembersih ini laku keras di pasaran saat merebaknya flu babi (H1N1), sindrom pernapasan akut parah (SARS), dan flu burung (avian flu).
Sekarang, pembersih yang biasanya tampil dalam kemasan botol mungil ini kembali menjadi kebutuhan semua orang di berbagai belahan dunia. Pembersih tangan ini dipakai untuk berbagai keperluan dan nyaris tersedia di mana saja, seiring wabah penyakit seperti Covid-19 saat ini.
Efek Samping
Di balik populernya HS, ternyata ada juga kekhawatiran yang mencemaskan para ahli kesehatan. Menurut Professor Val Curtis, Direktur London School of Hygiene and Tropical Centre, Inggris, ketergantungan (atau kecanduan) pada pembersih ini bisa membuat orang cenderung mudah tersinggung dengan masalah kebersihan.
Dengan kata lain, bisa berlebihan dalam melihat kotoran dan kuman. Kondisi ini bukan tidak mungkin menjadi penyimpangan perilaku obsessive compulsive disorder (OCD) atau gangguan mental yang membuat seseorang melakukan tindakan berulang-ulang.
Dan tidak itu saja. Ada hal lain yang harus diwaspadai, yaitu penyalahgunaan HS untuk mabuk-mabukan. Mengutip laman CNN April 2012, disebutkan sekitar tahun 2012 di AS, sudah ada temuan tentang sejumlah remaja meminum cairan itu untuk mabuk. Tahun 2010, diperkirakan ada sekitar 3.200 remaja kecanduan bahan ini dan pada 2014 naik menjadi sekitar 16.000.
Daya tarik HS juga tak lepas dari aroma memikat, seperti apel, vanila, dan jeruk. Rupanya ini juga bisa berdampak buruk dalam pemakaian jangka lama. Penelitian dari National Poison Data System (NPDS) AS tahun 2011-2014, hampir 90 persen remaja, terutama usia 12 tahun ke bawah, terpapar bahan yang mengandung alkohol, sedangkan yang tidak (beralkohol) hanya 8 persen.
Dari penelitian NPDS tersebut, ditemukan bahwa HS berbahan etanol dan isopropanol yang paling banyak meracuni . Sejumlah HS berbahan etanol diketahui mengandung alkohol lebih dari 60 persen. Beberapa efek samping dari HS itu adalah iritasi mata, muntah-muntah, conjunctivitis (radang mata), iritasi oral, batuk, dan sakit perut.
Hasil penelitian itu menjadi peringatan bagi para pekerja medis, termasuk ahli farmasi, agar selalu menginformasikan pasien, orangtua, dan para sukarelawan yang terbiasa menggunakan HS. Artinya, pemakaian pada anak-anak harus diawasi dengan ketat dan dijauhkan dari tempat-tempat yang mudah terlihat.
Di AS sendiri, United States Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan AS, mengawasi ketat kandungan bahan antiseptik yang ada dalam HS. Antiseptik yang terlalu keras kadarnya tetap berisiko menyebabkan berbagai gangguan, terutama pada kulit, walaupun sudah dicairkan.
Hingga 2018, FDA resmi melarang 24 bahan antiseptik yang dikategorikan berbahaya. Semua ini mengingatkan kita kembali bahwa antiseptik memang efektif untuk mengurangi kuman atau mikroorganisme pada kulit, tetapi bukan untuk jangka waktu lama apalagi menjadikan pemakainya kebal virus. (LITBANG KOMPAS)